Indeks Negara Hukum Meningkat, Tapi Ada yang Nilainya Turun
Utama

Indeks Negara Hukum Meningkat, Tapi Ada yang Nilainya Turun

Kebijakan pemerintah selama 2015 dinilai fokus pada perkembangan ekonomi. Isu HAM kurang diperhatikan.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Tim Gabungan Pencari Fakta sehubungan dengan testimoni Freddy Budiman.  Salah satu potret penegakan hukum. Foto: RES
Tim Gabungan Pencari Fakta sehubungan dengan testimoni Freddy Budiman. Salah satu potret penegakan hukum. Foto: RES
Hasil survei yang dilakukan Indonesian Legal Rountable (ILR) tahun 2015 menunjukan Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 meningkat menjadi 5,32 dari tahun sebelumnya 5,18. Sudah beberapa tahun terakhir ILR melansir Indeks Negara Hukum Indonesia dengan berbagai indikator.

Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis, menjelaskan untuk Indeks Negara Hukum Tahun 2015, ada 5 prinsip yang digunakan dalam survei tersebut yakni Pemerintahan Berdasarkan Hukum, Legalitas Formal, Kekuasaan Hakim yang Merdeka, Akses Terhadap Keadilan dan HAM. Penelitian itu menggunakan metode survei ahli dan pengumpulan dokumen di 20 provinsi.

Walau secara umum hasil survei menunjukkan tren positif bukan berarti tak ada kemunduran. Dijelaskan Todung, isu HAM justru mengalami kemunduran. Dari 5 prinsip yang disurvei, bidang HAM mendapat nilai terendah 3,82. Ada 6 indikator yang digunakan untuk menilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 untuk bidang HAM yaitu jaminan hak atas hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kontraktual, hak untuk tidak dihukum atas tindakan yang bukan kejahatan dan hak atas kebebasan untuk berpikir, beragama dan berkeyakinan.

“Dalam penelitian ini paling memprihatinakan prinsip HAM. Ini menunjukan isu HAM tidak dianggap penting pemerintah, sehingga mengalami kemunduran (setback),” kata Mulya dalam peluncuran buku Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 di Jakarta, Kamis (22/09).

Mulya melihat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla fokus pada isu pembangunan ekonomi. Tapi agenda lain seperti pemenuhan prinsip-prinsip Indonesia sebagai negara hukum tidak ditempatkan pada posisi yang layak. Padahal, konstitusi dan berbagai kovenan internasional yang telah diratifikasi mengamanatkan HAM dan keadilan sebagai bagian yang penting.

Menurut Mulya, pemerintah perlu merevisi kebijakannya agar tidak melulu fokus urusan ekonomi, tapi juga menjadikan HAM sebagai arus utama. Survei Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 menunjukkan berbagai indikator yang ada dalam prinsip HAM nilainya anjlok. Dari 6 indikator pada prinsip HAM, ada 3 yang nilainya terendah yaitu jaminan atas hak untuk bebas dari penyiksaan (2,99), jaminan hak untuk hidup (3,51) dan jaminan atas hak untuk tidak dipenjara berdasarkan kewajiban kotraktual (3,75).

Merosotnya prinsip HAM menurut Todung disebabkan sejumlah kebijakan Pemerintah yang tidak selaras dengan HAM seperti eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika. Kemudian terkait hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti kasus GKI Yasmin yang tak kunjung tuntas, Ahmadiyah, pengungsi Syiah dan lainnya. Serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini belum diselesaikan.

Kepala Badan Pembinaan Hukum nasional (BPHN), Enny Nurbaningsih, menyoroti indikator Stabilitas Peraturan. Dalam Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 tertulis ada 4 UU yang diubah dalam jangka waktu kurang dari setahun semisal UU Pemerintah Daerah dan UU Pilkada.

Menurut Enny perubahan beberapa UU itu tergolong cepat karena terkait dinamika politik. Misalnya, salah satu ketentuan yang dihilangkan dalam UU Pemda yakni kewenangan DPRD memilih Kepala Daerah. “Substansi yang diubah dalam UU tersebut berkaitan dengan elit, bukan kepentingan publik secara langsung,” katanya.

Regulasi yang konsisten dan tidak saling bertentangan menurut Enny memperkuat Indonesia sebagai negara hukum. Sayangnya, hal itu belum bisa dilakukan secara optimal. Banyak ditemukan regulasi yang tidak selaras, seperti peraturan yang terkait dengan tata ruang, tidak sedikit yang tumpang tindih. Misalnya, pemerintah provinsi atau pusat menetapkan sebuah wilayah sebagai kawasan pemukiman, tapi pemerintah daerah kabupaten/kota menjadikannya sebagai kawasan pertambangan.

Selain itu, lemahnya Indonesia sebagai negara hukum dari segi regulasi yaitu absennya evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan lama, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Diantaranya UU No.1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU No.2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Enny menilai kedua regulasi itu sudah tidak efektif.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ninik Rahayu, menyoroti kinerja lembaga peradilan. Dari pengaduan yang diterima ORI terkait lembaga peradilan, paling banyak mengenai berlarutnya pengiriman berkas perkara, keterlambatan pengiriman salinan putusan dan jadwal persidangan. Berbagai persoalan itu memunculkan praktik percaloan. Misalnya, menawarkan jasa untuk mengatur komposisi majelis hakim yang menyidangkan perkara.

Kemudian, pengaduan masyarakat ke Ombudsman ada juga yang berkaitan dengan kinerja Kejaksaan. Diantaranya pengaduan tentang penundaan berlarut oleh Kejaksaan karena belum menindaklanjuti laporan mengenai dugaan pelanggaran kode etik atau perilaku jaksa penuntut umum dalam proses pemeriksaan. “Untuk kinerja Kejaksaan, paling banyak diadukan ke Ombudsman itu terkait dugaan penyalahgunaan wewenang jaksa,” urai Ninik.

Anggota Komisi III DPR, Benny Kabur Harman, berpendapat Indeks Negara Hukum Indonesia 2015 yang hasilnya memberikan nilai 5,32 dinilai tidak obyektif. Pasalnya, banyak regulasi dan aspek hukum yang diabaikan Pemerintah. “Jadi sangat sederhana menilai apakah Pemerintah patuh pada prinsip negara hukum atau tidak,” imbuhnya.

Benny melihat dalam survei itu sinkronisasi peraturan perundang-undangan tidak menjadi indikator dalam menilai Indeks Negara Hukum Indonesia 2015. Padahal, indikator itu penting karena sebuah negara hukum harus memiliki kesatuan hukum, peraturan yang hirarki dari tingkat atas sampai bawah.

Mengenai prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, Benny mengatakan salah satu persoalan yang marak terjadi di lapangan yakni eksekusi putusan berkekuatan hukum tetap. Eksekusi itu dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. “Praktiknya, banyak putusan berkekuatan hukum tetap tapi belum dilakukan eksekusi,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait