Pro Kontra ‘Motif’ dalam Kasus Pembunuhan Berencana
Berita

Pro Kontra ‘Motif’ dalam Kasus Pembunuhan Berencana

‘Pembuat KUHP Belanda menempatkan motif pelaku sejauh mungkin di luar perumusan delik’.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan berencana, di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan berencana, di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Salah satu yang menarik disimak dalam sidang pembunuhan berencana (moord, premeditated murder)Wayan Mirna Salihin di PN Jakarta Pusat adalah perbedaan pandangan para ahli. Mengenai penting tidaknya motif pelaku dalam kasus pembunuhan, yang diatur dalam Pasal 338 dan 340 KUHP. Apakah motif itu harus dicantumkan jaksa dalam surat dakwaan?

Masrukin Ruba’i, unsur ‘dengan sengaja’ yang ada dalam Pasal 340 KUHP berangkat dari motif, niat, dan adanya perbuatan. Pembunuhan berencana, kata dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang itu, Kamis (22/9) kemarin, membutuhkan waktu, yakni waktu dari niat hingga perbuatan pidana itu dilakukan. Jadi, ada tahapan-tahapan perencanaan untuk melakukan tindak pidana.

Masrukin berpendapat pembunuhan berencana didasarkan pada motif. Motif bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membuktikan pembunuhan berencana telah terjadi. Namun ia sepakat penuntut umum tak perlu mengungkapkan dan menggambarkan motif itu. Yang harus dibuktikan penuntut umum adalah unsur dengan sengaja dan unsur-unsur lain dalam Pasal 340 KUHP. Kalaupun motif tak diuraikan, ada banyak data eksternal lain yang bisa digunakan untuk menggambarkan unsur ‘dengan sengaja’.

“Tetapi untuk melihat unsur sengaja itu, bisa dilihat dari motif. Niatan untuk perbuatan membunuh harus ada ‘apa-apa’-nya (motif). Kalau tidak ada (motif), maka tidak berbuat sesuatu,” tegas Masrukin.

Dalam Pasal 340 KUHP, jelas Masrukin, motif menjadi instrumen untuk membuktikan perbuatan yang disengaja. Untuk membuktikan Pasal 340 KUHP, unsur motif tidak harus dibuktikan. Motif bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menunjukkan unsur sengaja, karena data eksternal untuk menunjukkan unsur sengaja bisa diperoleh dari banyak hal.

Hakim anggota yang menyidangkan perkara ini, Binsar Gultom, bertanya apakah petunjuk untuk membuktikan suatu tindak pidana haruslah ada saksi yang melihat langsung. Masrukin berpendapat agar ada petunjuk  tidak mutlak harus ada saksi yang melihat. Jika ada keterangan saksi yang saling berhubungan dan memberi petunjuk atas kejahatan, maka petunjuk tersebut bisa digunakan sebagai bagian dari bukti adanya tindak kejahatan. Jika keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, maka harus didukung alat bukti lain.

Motif tak perlu
Pandangan sebaliknya dikemukakan Eddy O.S Hiariej pada persidangan sebelumnya. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menegaskan motif tak perlu ada dalam pembuktian Pasal 340 KUHP.

Dengan menilik sejarah pembentukan lahirnya Pasal 340 KUHP, Prof. Eddy mengutip pandangan Jan Remmelink, guru besar dan mantan Jaksa Agung Belanda—bahwa motif justru dijauhkan dari rumusan delik. Remmelink menulis pembuat Pasal 340 KUHP Belanda ‘menempatkan motif pelaku sejauh mungkin di luar perumusan delik’.

Ada tiga hal penting dalam pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan dalam keadaan tenang. Kedua,  ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan. Ketiga, ketiga adalah pelaksanaan perbuatan dilakukan dalam keadaan tenang. “Pasal 340 KUHP memberikan batas dengan Pasal 338 yang pembunuhan biasa,” kata Edward.

Menjawab konfirmasi ulang dari penuntut umum, Prof. Eddy menegaskan jawabannya sudah jelas dan tegas. Motif tak perlu. Ia justru meminta ahli pidana yang menyebut motif harus dibuktikan dalam perkara pembunuhan berencana untuk kembali belajar sejarah pembentukan KUHP Belanda. “Kalau ada ahli pidana yang mengatakan (pembunuhan berencana) harus ada motif, suruh baca ulang sejarah pembentukan KUHP Belanda,” ujarnya di depan majelis hakim pimpinan Kisworo.

Namun, kata Prof. Eddy,  bukan berarti tak ada rumusan yang menghendaki motif. Anasir motif penting dalam pembuktian 378 KUHP. Pasal ini menyebutkan barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Tags:

Berita Terkait