Begini Lho Prosedur yang Benar Periksa Racun Pada Tubuh Korban
Utama

Begini Lho Prosedur yang Benar Periksa Racun Pada Tubuh Korban

Perkap Nomor 12 Tahun 2011 mengatur detil teknis dan formalitas pemeriksaan korban yang terkena racun.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Sidang lanjutan pembunuhan Wayan Mirna Salihin atas Terdakwa Jesicca Kumala Wongso terus bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pekan depan, agenda sidang memasuki babak baru, yakni mendengarkan keterangan dari Terdakwa.

Bila kembali dirunut, dua babak persidangan sebelumnya mengemuka fakta menarik dari masing-masing ahli yang dihadirkan baik oleh penuntut umum ataupun penasehat hukum terdakwa. Puluhan ahli yang dihadirkan kedua kubu, seakan memberikan keterangan yang berlawanan terhadap kasus yang mereka analisa. Satu hal yang menarik adalah kehadiran ahli Toksikolog dalam sidang beberapa waktu kemarin.

Ahli Toksikolog yang dihadirkan penuntut umum, Nursamran Subandi (3/8) yang lalu dalam keterangannya memastikan bahwa korban Mirna dipastikan meninggal karena racun sianida yang terdapat dalam es kopi Vietnam yang diminum dari café Olivier. Sebaliknya, ahli Toksikologi yang dihadirkan penasehat hukum Jessica, Michael David Robertson kemarin (21/9), dalam keterangannya meragukan bahwa kematian korban Mirna karena racun sianida. (Baca Juga: Toksikolog Pertegas Kematian Korban karena Sianida)

Terlepas dari keterangan yang saling ‘beradu’ antar ahli yang dihadirkan masing-masing kubu. Mesti diingat bahwa kunci utama dalam pembuktian suatu tindak pidana yang didakwakan dengan Pasal 340 KUHP adalah prosedur pemeriksaan yang sah terhadap tubuh korban.  Menurut pengelola rubrik Klinik Hukumonline, Tri Jata Ayu, pemeriksaan keracunan pada tubuh mayat merupakan salah satu cara mengungkap peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Lazimnya, dikenal dengan istilah Toksikologi Forensik. (Baca Juga: Ada Racun Lain Penyebab Kematian Mirna?)

Biasanya, pemeriksaan tersebut dilakukan di Laboratorium Forensik Polri (Labfor) atau bisa juga di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sementara, ruang lingkup pemeriksaannya sendiri terdiri dua hal, yakni pemeriksaan ‘jenis racun’ dan pemeriksaan ‘kadar racun’ dalam tubuh atau bagian tubuh manusia. “Pemeriksaan keracunan pada mayat dapat dilakukan, yang mana pemeriksaan tersebut harus memenuhi syarat formal dan teknis,” katanya

Mengenai syarat formal dan teknisnya, diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian. Untuk syarat formalnya, Pasal 59 ayat (1) aturan tersebut mensyaratkan lima hal seperti permintaan tertulis dari kepala satuan kewilayahan atau kepala pimpinan instansi, laporan polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi atau tersangka, Visum et Repertum atau surat pengantar dokter forensik bila korban meninggal atau riwayat kesehatan (medical record) apabila korban masih hidup.

Selain itu, satu syarat formal lainnya adalah Berita Acara pengambilan, penyitaan, dan pembungkusan barang bukti. Yang mesti diperhatikan, selain syarat formal tersebut, pemeriksaan racun pada tubuh korban juga  diatur secara rigid dan detil dalam Pasal 59 ayat (2) aturan yang sama. Misalnya jumlah barang bukti untuk korban mati terkategorisasi dalam empat jenis, seperti jumlah barang bukti, pengambilan barang bukti, pengumpulan barang bukti, dan pembungkusan dan penyegelan barang bukti.
a.       Jumlah barang bukti
Untuk korban mati/meninggal:
1)    organ/jaringan tubuh:
a)    lambung beserta isi (100 gr);
b)    hati (100 gr);
c)    ginjal (100 gr);
d)    jantung (100 gr);
e)    tissue adipose (jaringan lemak bawah perut) (100 gr); dan
f)    otak (100 gr).
2)    cairan tubuh
a)    urine (25 ml);
b)    darah (10 ml); dan
3)    sisa makanan, minuman, obat-obatan, alat/peralatan/wadah antara lain piring, gelas, sendok/garpu, alat suntik, dan barang-barang lain yang diduga ada kaitannya dengan kasus; dan
4)    barang bukti pembanding bila diduga sebagai penyebab kematian korban.

Untuk korban mati yang telah dikubur:
1)    apabila mayat korban belum rusak, maka barang bukti yang diperlukan sama dengan barang bukti sebagaimana dimaksud pada korban mati/meninggal;
2)    apabila mayat korban sudah rusak/hancur maka barang bukti yang diperlukan adalah:
a)    tanah bagian bawah lambung/perut korban;
b)    tanah bagian bawah kepala korban;
c)    rambut korban; dan
d)    kuku jari tangan dan jari kaki korban.
 
Selanjutnya, untuk pengambilan barang bukti juga diatur secara jelas seperti pengambilan barang bukti organ tubuh atau jaringan tubuh dan cairan tubuh untuk korban mati yang dilakukan oleh dokter saat otopsi. Untuk korban yang hidup, pengambilan barang bukti darah dan cairan lambung cukup dilakukan oleh dokter atau para medis. Yang mesti dicatat, ketika penyidik tidak dapat mengambil barang bukti di TKP, penyidik tersebut mesti menghubungi petugas Labfor untuk mengambil sendiri barang bukti tersebut.

Tak sampai pengambilan barang bukti, agaknya pengumpulang barang bukti juga secara jelas diatur, mulai dari wadah penyimpanan dan teknik penyimpanan. Dalam aturan tersebut, setiap jenis barang bukti ditempatkan dalam wadah yang terpisah. Wadah untuk organ tubuh, diatur menggunakan wadah botol mulut lebar (toples) dari gelas atau plastik yang bersih dan harus baru. Dan yang mesti dicatat, barang bukti tidak diawetkan dengan formalin. Penggunaan formaslin hanya dikecualikan untuk pemeriksaan patologi anatomi dengan pengawet formalin 10%.

Namun, apabila barang bukti mudah membusuk, seperti halnya organ tubuh, muntahan, dan sisa makanan cukup diawetkan dengan alkohol 96% hingga terendam. Sebaliknya, jika ternyata kasus dengan dugaan keracunan alcohol, maka barang bukti tidak diawetkan dengan alkohol namun cukup ditempatkan dalam ice box yang diisi es batu. Kemudian, untuk kasus keracunan gas CO, alkohol dan obat-obatan, barang bukti darah diawetkan dengan antikoagulan heparin.

“Setiap wadah barang bukti ditutup serapat mungkin, gunakan cellotape atau yang sejenis untuk menghindari kebocoran,” tutup Ayu.  
Tags:

Berita Terkait