Penting! Inilah Arah Revisi PP Cost Recovery
Utama

Penting! Inilah Arah Revisi PP Cost Recovery

Demi kebijakan ramah investasi, Pemerintah sedang menyusun revisi PP Cost Recovery. Berkaitan dengan penerimaan pajak.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Sri Mulyani ungkapkan rencana Pemerintah merevisi PP Cost Recovery. Foto: RES
Menteri Keuangan Sri Mulyani ungkapkan rencana Pemerintah merevisi PP Cost Recovery. Foto: RES
Pemerintah diketahui sedang menyusun perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah menganggap beleid yang dikenal sebagai PP Cost Recovery ini bisa menghambat minat investor untuk menanamkan modal di sektor hulu migas di Indonesia.

Berlaku sejak 20 Desember 2010, PP Cost Recovery awalnya dianggap lebih menjamin penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak bagi hasil atau penghasilan lain lebih optimal. Antara lain melalui biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dan kewajiban kontraktor membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama (KKS).

Kini, Pemerintah merasa PP tersebut kurang ramah investasi. Karena itu, Kementerian Keuangan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan revisi. Revisi PP No. 79 Tahun 2010 juga akan disesuaikan dengan perundang-undangan di bawah kendali kedua kementerian seperti UU Migas dan undang-undang di bidang perpajakan. (Baca juga: Revisi UU Migas Perlu Atur Mekanisme Komplain)

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan revisi dilakukan karena industri hulu migas dalam negeri mengalami trend penurunan dalam periode 2009-2015. Bahkan dalam periode 2011-2014, terjadi tren penurunan jumlah wilayah kerja yang diminati oleh investor, walaupun dalam periode itu harga minyak rata-rata bertahan pada angka di atas ASD100/bbl.

“Beberapa kajian mengenai revisi PP No. 79 Tahun 2010, seperti bagaimana bisa menciptakan lingkungan yang kompetitif, dan membuat perekonomian yang kompetitif. Perbaikan investasi dari sisi hulu sangat urgen, tidak hanya penerimaan hulu saja. Hilir juga penting,” kata Sri dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jum’at (23/9).

Sri menambahkan beberapa investor menyampaikan permasalahan terkait PP No. 79 Tahun 2010. Pertama, kontraktor membandingkan sistem insentif dalam PP No. 79 Tahun 2010 dengan aturan sebelumnya. Sistem insentif dalam PP sebelumnya adalah assume and discharge, sementara PP No. 79 Tahun 2010 menggunakan mekanisme cost recovery. Dalam mekanisme cost recovery, pajak tidak langsung seperti PPN, PBB, Bea Masuk, dan Pajak Daerah yang dibayarkan oleh kontraktor sebagai biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovarable). Hal ini menjadi kurang menarik bagi investor. (Baca juga: Ada Selisih Cost Recovery, SKK Migas Tak Mampu Tempub Arbitrase Internasional).

Kedua, beban pajak pada kegiatan eksplorasi. Dalam PP No. 79 Tahun 2010 kontraktor dihadapkan dengan pajak-pajak yang dibayar pada kegiatan eksplorasi antara lain PPN dan PBB. Dengan succes rate penemuan migas yang rendah yakni kecil dari 40 persen, hal tersebut dinilai memberatkan kontraktor karena harus menanggung biaya pajak selama tahap eksplorasi apabila gagal menemukan migas.

Ketiga, keekonomian proyek semakin menurun karena proyek pengembangan migas semakin sulit. Pencarian penemuan migas semakin sulit karena menyasar pada laut dalam yang membutuhkan teknologi yang besar.

Sri menambahkan ada tiga arah kebijakan revisi: (i) sesuai dengan UU Migas dan UU Perpajakan; (ii) memberikan insentif fiskal dan non fiskal yang meningkatkan keekonomian proyek; dan (iii) pembagian beban dan keuntungan antara pemerintah dan kontraktor.

Ada lima pokok revisi yang kini mulai digulirkan. Pertama, pemberian fasilitas perpajakan pada masa eksplorasi yaitu PPN Impor dan Bea Masuk, PPN Dalam Negeri, dan PBB. Kedua, kontraktor diberi fasilitas perpajakan pada masa eksploitasi seperti PPN Impor dan Bea Masuk, PPN Dalam Negeri dan PBB, tetapi hanya dalam rangka pertimbangan keekonomian proyek.

Ketiga, pemberian pembebasan PPh Pemotongan atas Pembebanan Biaya Operasi Fasilitas Bersama (cost sharing) oleh kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu migas dan alokasi biaya overhead kantor pusat. “Pemberian fasilitas tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan,” jelas Sri.

Keempat, memperjelas fasilitas non-fiskal seperti investment credit, depresiasi dipercepat, dan Domestic Market Obligation (DMO) Holiday. Kelima, konsep bagi hasil penerimaan negara sliding scale. Dalam hal ini pemerintah mendapatkan bagi hasil lebih apabila terdapat windfall profit.

Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut B. Panjaitan mengatakan Presiden Jokowi menginginkan efisiensi di segala bidang agar memberikan ketertarikan investasi. Itu sebabnya PP Cost Recovery diperlukan.

Luhut juga mengatakan Pemerintah tengah melakukan studi seismik untuk melihat potensi minyak dan gas yang lebih banyak di Indonesia. “Jika dapat data (potensi minyak dan gas), akan lebih bagus karena memudahkan kita (pemerintah) menawarkan ke investor,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait