Penahanan Incommunicado Dilaporkan ke Dewan HAM PBB
Berita

Penahanan Incommunicado Dilaporkan ke Dewan HAM PBB

Rekomendasi Dewan HAM PBB tak semua dijalankan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Masalah terorisme, seperti bom di pos polisi Sarinah, mendapat sorotan. Termasuk masalah penahanan tanpa akses ke luar. Foto: RES
Masalah terorisme, seperti bom di pos polisi Sarinah, mendapat sorotan. Termasuk masalah penahanan tanpa akses ke luar. Foto: RES
Penahanan terhadap tersangka terorisme dengan membatasi sama sekali akses dengan dunia luar, atau lazim disebut penahanan incommunicado, termasuk poin yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil ke Dewan HAM PBB, 22 September lalu. Konsep penahanan incommunicado ini dimasukkan ke dalam draf revisi UU Pemberantasan Terorisme. Tetapi masih ada sejumlah isu lain yang disampaikan koalisi masyarakat sipil. (Baca juga: Indeks Negara Hukum Meningkat, Tapi Ada yang Nilainya Turun)

Tahun 2012 Dewan HAM PBB menerbitkan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah Indonesia lewat mekanisme Universal Periodic Review (UPR). Rekomendasi itu merupakan hasil evaluasi Dewan HAM PBB dan negara  anggota PBB terhadap pelaksanaan HAM di Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti LBH Pers, ICJR, Elsam, Yappika dan AJI Indonesia menilai Pemerintah tidak optimal menjalankan rekomendasi itu.

Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, mengatakan pemerintah Indonesia sudah dua kali mengikuti UPR, 2008 dan 2012. Pemerintah akan kembali mengikuti forum itu pada 2017. Sayangnya, rekomendasi yamg disampaikan UPR 2012 tidak dilaksanakan secara baik. "Kami menilai 80 persen rekomendasi itu tidak dijalankan. Pemerintah hanya pencitraan saja agar terlihat baik di dunia internasional," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (26/09).

Hafiz melihat dalam periode 2012-2016 ada sejumlah kebijakan Pemerintah yang tidak selaras dengan HAM. Dalam isu kebebasan berkeyakinan dan beragama, hak-hak kelompok minoritas belum terakomodasi. Dalam menyikapi isu yang dianggap darurat seperti kekerasan terhadap anak, terorisme dan narkotika, yang dikedepankan hanya aspek penghukuman. Padahal, Pemerintah perlu memperhatikan hak-hak para korban.

Direktur ICJR, Supriyadi Widodo, menyoroti soal hukuman mati yang masih tercantum dalam RUU KUHP. Walau RUU itu menempatkan hukuman mati bersifat khusus dan alternatif, bukan pidana pokok,  tapi teknisnya tidak diatur jelas. Ia mengusulkan agar hukuman mati dihapus.

Supriyadi juga mengkritik penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan  Tindak Pidana Terorisme. UU ini memberi waktu panjang kepada penyidik untuk menangkap terduga teroris selama 7x24 jam. Jangka waktu penangkapan yang panjang itu pada praktiknya menjadi penahanan incommunicado atau penahanan tanpa akses terhadap dunia luar. Menurutnya, hal itu berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan.

Dalam RUU Terorisme Supriyadi melihat ada dua pasal yang diduga bakal menciptakan kasus penyiksaan baru. Pertama,perpanjangan jangka waktu penangkapan menjadi 30x24 jam.Kedua, pasal incommunicado yang dibungkus dengan dalih 'pencegahan'.

Selain itu, soal kebiri kimia yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2016  tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002  tentang Perlindungan Anak. Supriyadi berpendapat peraturan itu mencantumkan pidana badan berupa kebiri kimia. dan hukuman mati. Dalam. aturan tersebut kebiri kimia tidak memiliki opsi menolak menjalankan pidana suntik kimia anti androgen untuk mengurangi tingkat hormon dalam tubuh. "Itu kebijakan pemerintah yang kami laporkan ke Dewan HAM PBB, " ujarnya.

Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin, menyinggung ancaman terhadap hak kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berkumpul yang masih terjadi di Indonesia. Periode 2015- Aguatus 2016 LBH Pers mencatat ada 72 kasus pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi. Kelompok atau tema yang sering jadi target yaitu LGBT, Marxisme (PKI)  dan Papua. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku baik aparat kepolisian atau ormas biasanya berbentuk pelarangan acara, intimidasi, pembubaran paksa, pembredelan dan penangkapan.

Asep menjelaskan berbagai temuan koalisi masyarakat sipil itu sudah dilaporkan ke Dewan HAM PBB pada 22 September 2016. Dia berharap laporan itu bisa digunakan Dewan HAM PBB dan negara anggota PBB untuk mengevaluasi pelaksanaan isu HAM di Indonesia.
Tags:

Berita Terkait