Ahli Ini Bela Ahok di Sidang MK
Utama

Ahli Ini Bela Ahok di Sidang MK

Tetapi dua ahli tidak setuju jika cuti petahana diterapkan sepanjang masa kampanye.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ahok di salah satu sidang MK. Foto: RES
Ahok di salah satu sidang MK. Foto: RES
Mantan Hakim Konstitusi Harjano menilai konstruksi hukum Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) terkait kewajiban cuti petahana saat kampanye dinilai tidak seimbang atau proporsional. Sebab, muatannya mengandung kewajiban cuti yang justru menghilangkan hak-hak kepala daerah sekaligus seolah mengabaikan kewajiban sebagai kepala daerah.

“Dia (kepala daerah petahan) wajib cuti kampanye, tetapi juga kehilangan haknya. Bagaimana bisa seseorang melakukan kewajiban, tetapi kehilangan haknya karena cuti di luar tanggungan negara. Karena itu, konstruksi hukum pasal itu tidak jelas,” ujar Harjono.

Harjono hadir sebagai ahli diajukan oleh pemohon, Basuki T. Purnama alias Ahok, dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 70 ayat (3)  UU Pilkada di ruang sidang MK, Senin (26/9). (Baca juga: Ahok Bakal Rugi Kalau Tak Cuti).

Harjono menilai cuti seyogianya hak seseorang, bukan kewajiban yang sifatnya memaksa. Namun, norma Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada telah “membelokkan” makna cuti karena dianggap sebagai kewajiban. Jika cuti adalah hak, kata dia, orang yang mengambil cuti, pasti sudah mempertimbangkan bahwa dia akan menikmati masa cuti dengan resiko akan kehilangan hak-hak finansialnya.

“Tetapi bisa juga, katanya, orang tidak cuti, maka dia akan mendapatkan hak-hak finansialnya. Tetapi Pasal 70 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa orang melakukan kewajiban (cuti) lalu dia dihilangkan haknya. Itu sesuatu yang tidak adil,” ujarnya menjelaskan.

Selain itu, kata dia, Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada tidak menjaga bagaimana kewajiban dan kewenangan kepala daerah bisa dipertahankan ketika kewajiban cuti bagi petahana diambil saat masa kampanye. Padahal, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang lama memberikan kesempatan untuk tidak cuti saat kewenangan gubernur dilaksanakan.

Dia mencontohkan kewenangan menyusun APBD tidak bisa didelegasikan kepada siapapun karena hal ini merupakan kewenangan gubernur untuk membahasnya. “Ini ada dalam UU Keuangan Negara. Karena itu, ini perlu ada win-win, yaitu pelayanan umum bisa dilaksanakan dan persoalan pilkada diberi tempat cuti bisa on-off begitu. Kalau sampai cuti 3 bulan lebih, kapan dong APBD-nya dibahas. Persoalannya di situ, ini bisa mengganggu sistem,” katanya.

Ditanya hanya Ahok yang mempersoalkan aturan ini, Harjono menuturkan secara kebetulan yang merasa mengalami kerugian Ahok. “Saya pikir pasti ada kepala daerah (pertahana) lain yang mengalami hal seperti itu, hanya saja pak Ahok mau mengajukan. Ini tidak membela Pak Ahok, tetapi membetulkan struktur bagaimana bisa menjamin terlaksananya kewenangan tugas pemerintahan sebagai gubernur,” tegasnya.

“Jadi, seharusnya tidak harus cuti sepanjang masa kampanye. Kalau dia melaksanakan tugas utama pemerintahan daerah, maka dia tidak perlu cuti. Saat melaksanakan haknya untuk kampanye, maka dia perlu cuti.”

Tak sepenuhnya sepakat
Ahli Pemohon lain, Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun tak sepenuhnya sepakat dengan permohonan ini, tetapi tidak pula setuju dengan materi muatan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada ini. Baginya, cuti bukan hanya hak pasangan calon kepala daerah, tetapi hak pemilih yang artinya kewajiban bagi setiap pasangan calon. Publik perlu mengetahui visi misi para pasangan calon tidak terkecuali dari petahana.

“Seandainya cuti jadi hak konstitusional akan melanggar hak pemilih untuk mengetahui visi dan misi secara langsung dalam pelaksanaan Pilkada Serentak,” kata Refly dalam persidangan.

Hanya saja, dirinya tidak sepakat apabilacuti petahana saat kampanye memakan waktu selama 3,5 bulan sejak Oktober 2016 hingga Februari 2017. Apalagi, Pilkada DKI Jakarta dimungkinkan dua putaran karena diikuti tiga pasangan calon kepala daerah. Ini artinya akan memotong masa jabatan Pemohon yang seharusnya 5 tahun.

“Dalam konteks ini Ahli setuju ada kerugian baik moriil maupun materiil, bahkan kerugian konstitusional, antara lain hak untuk mendapatkan kepastian hukum menjalani masa jabatan selama lima tahun,” katanya.

Alasan agar petahana tidak abuse of power, menurut Refly alasan yang berlebihan. Dia mengakui tidak dapat dipungkiri dalam Pilkada petahana siapapun berpotensi menggunakan jabatan untuk memenangkan dirinya, seperti menyalahgunakan fasilitas publik, dana publik,  termasuk menggerakkan birokrasi seperti yang ditemukan pilkada selama ini.

“Tetapi, kalau soal ini sebenarnya kita bicara konteks pengawasan bagaimana penegakan hukum oleh KPU, KPUD, dan Bawaslu dilaksanakan secara efektif dan solid. Siapa  saja petahana yang menyalahgunakan jabatan untuk memenangkan dirinya harus mendapat sanksi setimpal, kalau perlu diskualifikasi. Jadi, kita tidak menggaruk di tempat yang tidak gatal untuk memastikan Pilkada yang jujur dan adil,” ujarnya mengumpakan.

Ahok, yang resmi calon Gubernur DKI Jakarta bersama Djarot, mempersoalkan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada. Alasannya, pasal ini dapat ditafsirkan bahwa kepala daerah petahana (incumbent) wajib menjalani cuti saat kampanye sekitar 4-6 bulan. Penafsiran ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena merasa bertanggung jawab sebagai Gubernur DKI hingga Oktober 2017 untuk menyelesaikan beberapa program prioritas Pemprov DKI secara penuh.

Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada seharusnya ditafsirkan bersifat opsional atau pilihan (tidak wajib) cuti kampanye bagi kepala daerah petahana yang hendak mencalonkan kembali di daerah yang sama. Artinya, kepala daerah petahana dapat memilih tidak cuti kampanye agar bisa fokus bekerja secara penuh menyelesaikan tugas kepala daerah dan tidak berkampanye untuk menghindari penyalahgunaan jabatan atau konflik kepentingan (abuse of power).

Dua permohonan lain yakni Teman Ahok dkk dan bakal calon bupati Aceh Fuad Hadi. Keduanya memoh MK menguji Pasal 41 dan Pasal 48 UU Pilkada terkait syarat dukungan calon independen yang terdaftar di DPT dan jangka waktu verifikasi faktual 14 hari (No. 54/PUU-XIV/2016) dan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada terkait cuti petahana dimaknai “mundur” saat berkampanye (No. 55/PUU-XIV/2016).
Tags:

Berita Terkait