Pemerintah Bantah Tax Amnesty Bernuansa Pajak Berganda
Utama

Pemerintah Bantah Tax Amnesty Bernuansa Pajak Berganda

Pemerintah tegaskan kebijakan pengampunan pajak sama sekali tidak merugikan masyarakat miskin.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pajak. Ilustrator: BAS
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ken Dwijugiasteadi membantah pandangan bahwa penerapan kebijakan tax amnesty melalui UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bernuansa pajak berganda. Sebab, prinsipnya kebijakan tax amnesty adalah hak masyarakat yang secara sukarela melaporkan seluruh hartanya di dalam dan di luar negeri, bukan kewajiban yang ditujukan kepada seluruh wajib pajak (WP).

“Penerapan pengampunan pajak ini tidaklah pajak berganda karena ini merupakan hak, bukan kewajiban bagi seluruh WP,” ujar Ken Dwijugiasteadi di sidang lanjutan pengujian UU Pengampunan Pajak di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/9).

Pernyataan ini menjawab sejumlah pertanyaan hakim konstitusi dalam sidang lanjutan pengujian UU Pengampunan Pajak. Ada empat permohonan pengujian UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan kelompok masyarakat berbeda. (Baca juga: Apa Rasionalitas Kebijakan Pengampunan Pajak? Simak Keterangan Pemerintah-DPR).

Salah satunya pertanyaan yang dilontarkan Ketua Majelis MK Anwar Usman yang mempertanyakan UU Pengampunan Pajak ini mengandung pajak berganda. “Ini bagaimana kalau dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) WP seolah diwajibkan melampirkan data harta kekayaan yang sebelumnya sudah dikenakan pajak, seperti saat beli rumah atau mobil. Apa ini menimbulkan pajak berganda? Ini sebetulnya bagaimana prosedurnya?” kata Anwar Usman mempertanyakan.

Ken menerangkan seorang WP sangat dimungkinkan lalai atau lupa melaporkan wujud hartanya yang sebenarnya terkena pajak. Sebab, sesuai UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) syarat pengisian SPT didasarkan pada lengkap, benar, dan jelas. “Lengkap ini tentunya semua bukti harta kekayaan harus masuk dan jelas asal usulnya. Kalau sekarang dilaporkan dalam SPT, seseorang memiliki dua hak yakni hak ikut pengampunan pajak dan hak membetulkan SPT,” ujarnya mencontohkan.

Ken melanjutkan jika seseorang memiliki rumah dan kendaraan dari gaji yang sudah dikenakan pajak penghasilan, tidak perlu mengikuti pengampunan pajak karena penghasilannya hanya satu sumber. Berbeda jika seseorang memiliki penghasilan dari banyak sumber. Misalnya, seorang dosen mengajar di banyak universitas akan terkena tarif pajak progresif. “Kalau penghasilannya dari satu sumber, nggak perlu ikut tax amnesty,” katanya.

Sama halnya, penghasilan seorang pensiunan janda yang memperoleh harta warisan memiliki dua hak yakni berhak ikut tax amnesty atau tidak ikut tax amnesty. Selain itu, bagi WP berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak perlu tax amnesty.Misalnya, jumlah PTKP untuk WP dengan status tidak kawin Rp54 juta per tahun. Sedangkan, WP status kawin tanpa tanggungan/anak Rp58,5 juta per tahun.

“Kebijakan pengampunan pajak sama sekali tidak merugikan masyarakat miskin. Tujuan utama tax amnesty ini repatriasi dan deklarasi pembayar pajak besar yang menyimpan hartanya di luar negeri atau dalam negeri yang belum membayar pajak secara benar guna membiayai pembangunan nasional. Otomatis memberi data subjek dan objek pajak baru,” tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap sebuah studi konsultan internasional yang mencatat kekayaan warga negara Indonesia yang berada di Singapura mencapai Rp 2.600 triliun atau sekitar 80 persen dari total harta kekayaan WNI di luar negeri. Dari Rp 2.600 triliun kekayaan WNI di Singapura, sekitar Rp650 triliun dalam bentuk non-investable assets seperti properti. Selain itu, posisi aset finansial luar negeri berdasarkan data Bank Indonesia pada triwulan I 2016 mencapai Rp2.800 triliun.

Dia menjelaskan rendahnya rasio pajak atau perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan produk domestik bruto di Indonesia dibanding negara berkembang lain. Hal ini disebabkan rendahnya kepatuhan warga negara Indonesia membayar pajak. Padahal, WP terdaftar yang memiliki kewajiban sebanyak 18 juta, namun realisasi surat pemberitahunan tahunan pajak (SPT) 10,8 juta atau 60 persen.

“Artinya, masih ada potensi WP 40 persen dari yang terdaftar yang bisa digali belum termasuk WP yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP),” kata Sri Mulyani dalam persidangan sebelumnya.

UU Pengampunan Pajak ini dipersoalkan kelompok empat pemohon yang berbeda. Pemohon I yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani; Pemohon II yakni Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK); Pemohon III yakni Leni Indrawati Dkk; dan Pemohon IV yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), DPP Partai Buruh.

Keempat kelompok Pemohon itu menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3; Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23 yang meminta untuk dibatalkan atau ditafsirkan bersyarat. Inti keempat permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif terutama kalangan buruh sebagai pembayar pajak yang taat, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang  dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait