Komisi Informasi Pusat ‘Pecah’, Ribuan Perkara Mangkrak
Berita

Komisi Informasi Pusat ‘Pecah’, Ribuan Perkara Mangkrak

Sepanjang 2016, baru ada dua putusan sengketa informasi. Satu mediasi dan satunya lagi ajudikasi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra/M-25
Bacaan 2 Menit
Koalisi FOINI. Foto: NNP
Koalisi FOINI. Foto: NNP
Setiap tanggal 28 September diperingati sebagai hari Hak Untuk Tahu (Right to Know Day/RTKD). Merayakan RTKD, Komisi Informasi Pusat (KIP) menggelar acara pada dua titik lokasi berbeda, yakni di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok dan kantor Dewan Pers, Jakarta. Keduanya digelar di waktu dan jam yang sama.

Tentu tak ada yang keliru dengan dua acara yang digelarnya tersebut. Bisa jadi tujuan digelar di dua lokasi berbeda sebagai upaya lebih ‘membumikan’ soal hari hak untuk tahu itu sendiri. Sampai pada akhirnya terungkap fakta di balik digelarnya acara tersebut secara terpisah oleh koalisi LSM yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FOINI).

“Mungkin maksudnya baik karena penyebaran informasi soal hari hak untuk tahu menjadi massive, tapi ini sangat memalukan,” ujar peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Desiana Samosir dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (28/9). (Baca Juga: Begini Wajah 6 Tahun Implementasi Keterbukaan Informasi)

Maksud Desiana itu berangkat dari fakta yang terjadi antara para komisioner KIP. Sekira Juni 2016 kemarin, para komisioner telah ‘terbelah’ menjadi dua kubu. Singkat cerita, dari dokumen elektronik yang diterima hukumonline, tepat pada 3 Juni 2016 telah dilaksanakan Rapat Pleno Pemilihan Ketua dan Wakil Ketia KIP periode 2013-2017 jilid II.

Masih dari berkas yang sama, pemilihan itu akhirnya menghasilkan John Fresly sebagai Ketua dan Evy Trisulo D sebagai Wakil Ketua. Pemilihannya bertempat di Ruang Rapat lantai 5 kantor KIP, Tanah Abang Jakarta. Anehnya, dari tujuh kolom nama, hanya empat komisioner yang melakukan tanda tangan. Mereka adalah Dyah Aryani P, Evy Trisulo, John Fresly, dan Yhannu Setiawan. Sisanya, Abdulhamid Dipopramono, Henny S. Widyaningsih, dan Rumadi tak membubuhkan tandatangan dalam berkas itu.

Kepada hukumonline, Desiana mengatakan, bahwa pasca keadaan tersebut muncul adanya semacam distrust antar para komisioner. Dampaknya, secara langsung berpengaruh pada menurunnya kinerja lembaga terutama dalam hal menyelesaikan sengketa informasi yang diterima. Sejak awal tahun 2016 hingga Agustus, KIP menerima 1.000 perkara permohonan informasi yang mesti diputus paling lama dalam jangka waktu 100 hari sebagaimana diatur UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

“Dari 1.000 permohonan sengketa yang masuk sejak awal tahun 2016 hingga Agustus 2016. Baru satu putusan mediasi dan satu putusan ajudikasi,” katanya.

Padahal, lanjut Desiana, selama tahun 2010, KIP berhasil memutus 12 putusan. Statistik itu kian meningkat ketika tahun 2014, KIP berhasil memutus sengketa mencapai 27 putusan. Dan lagi, pasca konflik tersebut, diketahui para komisioner acapkali kesulitan mengambil keputusan dalam rapat pleno antar komisioner yang salah satunya berdampak pada sulitnya mengambil keputusan dalam sengketa yang dimohonkan ke KIP.

Tak cuma itu, buntut panjang konflik itu berpengaruh pada partisipasi KIP dalam penyusunan rencana aksi untuk Open Government Indonesia. Sebagaimana diketahui, sejak 2015 hingga saat ini, pemerintah tengah dan masih menyusun rencana aksi tersebut. Dalam setiap pertemuan, tiap kementerian dan lembaga serta sejumlah LSM dilibatkan. Namun, yang terjadi adalah komisioner KIP memilih ‘asyik’ sendiri dengan konflik mereka.

Sebetulnya, Komisi I DPR RI sempat memanggil sejumlah komisoner KIP. Menurut Desiana, dalam waktu dekat dijadwalkan Komisi I juga akan memanggil seluruh komisioner untuk kedua kalinya dan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. FOINI sendiri mendorong agar proses pemilihan komisioner bisa dipercepat.

Normalnya, Juni 2017 mendatang masa jabatan komisioner aktif akan berakhir. Namun, oleh karena konflik seperti ini begitu berdampak pada beberapa aspek, mestinya menyegerakan pemilihan bisa lebih baik. “Dalam aturan Peraturan KIP Nomor 4/2016 itu sembilan bulan sebelumnya sudah bisa dipersiapkan pemilihannya,” kata Desiana. (Baca Juga: FOINI Minta Tafsir Pengangkatan Anggota Komisi Informasi)

Di tempat yang sama, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto mengusulkan agar hal ini menjadi perhatian bagi Komisi I DPR RI. Menurutnya, Komisi I mesti segera melakukan evaluasi serta mengupayakan yang terbaik demi kelanjutan era keterbukaan informasi di Indonesia.

Evaluasi, kata Agus, tak berarti dalam konteks membubarkan KIP secara lembaga melainkan evaluasi lebih fokus pada perbaikan kinerja lembaga dan utamanya kinerja para komisioner. “Kalau hasilnya jelek, mestinya bisa dipercepat pemilihan komisioner baru tanpa tunggu masa jabatan habis,” usul Agus.

Bagi Agus, apa yang terjadi dengan KIP sangat merugikan banyak pihak, khususnya pihak yang mengajukan sengeketa ke lembaga tersebut. Bahkan, ICW sendiri selaku pihak yang sering memohonkan sengketa merasa dirugikan dengan konflik tersebut. ICW kembali menyurati KIP atas permohonan yang mereka ajukan terkait permintaan putusan kode etik Kepala BPK DKI Jakarta yang tidak jelas statusnya telah sampai mana.

Sebab, ICW merasa informasi itu penting untuk mengetahui apakah Kepala BPK DKI Jakarta melakukan pelanggaran hukum atau tidak. Oleh karena tidak jelas status permohonan sengketa di KIP, ICW merasa ini sangat menghambat dalam menentukan upaya apa yang mesti diambil ICW.

“Kalau KIP kinerjanya buruk, mau kemana lagi mencari penyelesaian sengketa informasi? Ini sudah sekitar 80 hari tidak ada perkembangan. Artinya tinggal 20 hari lagi masa itu berakhir menurut UU KIP,” kata Agus.

Sementara itu, komisioner KIP Abdulhamid Dipopramono menghormati penilaian koalisi FOINI mengenai menurunnya kinerja KIP dalam menangani sengketa informasi. “Kalau saya kita itu kewenangan koalisi masyarakat untuk menilai ya,” ujarnya saat dihubungi hukumonline, Kamis (29/9).

Abdulhamid menuturkan, selama dirinya menjabat sebagai ketua dengan waktu tiga tahun, sering menggelar diskusi internal. Atas dasar itu, banyak perkara sengketa yang bisa diputus dalam jangka waktu yang tak lama. Namun sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih jauh terkait perpecahan di interna komisi.

“Saya tidak bisa ngomong (perpecahan, red), itu kan hak penuh masyarakat sipil,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait