Peraturan Rancu, Fungsi BPD Jadi Lemah
Berita

Peraturan Rancu, Fungsi BPD Jadi Lemah

Ada kekhawatiran Perda tentang BPD dibatalkan Kemendagri.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Diskusi mengenai BPD yang diselenggarakan Pattiro di Jakarta, Rabu (28/9). Foto: MYS
Diskusi mengenai BPD yang diselenggarakan Pattiro di Jakarta, Rabu (28/9). Foto: MYS
Apa jadinya jika dua peraturan mengatur masalah yang sama tak sinkron? Minimal, masalah itu akan menimbukan kebingungan bagi pelaksana di lapangan, terutama peraturan mana yang harus diikuti.

Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) diketahui telah melakukan kajian sementara di sejumlah daerah terkait fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kertas hasil kajian (policy brief) itu telah diserahkan kepada pejabat Ditjen Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Rabu (28/9) kemarin.

BPD adalah salah satu lembaga penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya (PP No. 43 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP No. 47 Tahun 2015). Keanggotaan BPD menurut UU Desa dan peraturan pelaksanaannya bersifat representatif. Anggota BPD berasal dari wakil-wakil kelompok di masyarakat, termasuk wakil perempuan.

Menurut peraturan tersebut, BPD berfungsi membahas dan  menyepakati Rancangan Peraturan Desa (Perdes) bersama kepala desa; menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan melakukan pengawasan kinerja kepada desa.

Hasil kajian sementara Pattiro menunjukkan BPD belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Selain kapasitas sumber daya manusia, ada masalah pada tataran regulasi. Menurut Bejo Untung, peneliti Pattiro, UU Desa telah memandatkan kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tindak lanjut tentang BPD. Amanat ini disebut jelas dalam Pasal 65 ayat (2) UU Desa. “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Sebaliknya, Pasal 79 PP No. 43 Tahun 2014 juncto PP No. 47 Tahun 2015 mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang fungsi, tugas, kewenangan, hak dan kewajiban BPD kepada Kementerian Dalam Negeri. Pengamatan Pattiro di lapangan, beberapa daerah memang sudah menyusun Perda. Tetapi sejumlah daerah masih tidak percaya diri membuat Perda tentang BPD karena khawatir ditegur Kemendagri. Daerah khawatir Perda BPD dibatalkan karena bertentangan dengan Peraturan Mendagri. “Ini perlu kejelasannya seperti apa,” kata Bejo.

Mantan Ketua Pansus RUU Desa, Akhmad Muqowwam, justru mempertanyakan komitmen Pemerintah untuk memperkuat kapasitas dan kapabilitas BPD dan anggotanya. BPD, kata anggota Dewan Perwakilan Daerah ini, didesaian untuk mendorong permusyawaratan desa, check and balance pemerintahan, termasuk pula menghidupkan gotong royong untuk pembangunan desa.

Apalagi UU Desa telah mengubah paradigma yang selama ini top-down menjadi kebijakan bottom up. Desa semakin mandiri menyelenggarakan urusan-urusan desa. Di situlah peran BPD semakin dibutuhkan. Menurut Muqowwam, untuk membahasi regulasi mengenai desa, seharusnya membaca secara utuh perundang-undangan mengenai desa yang sudah terbit sebelum UU No. 6 Tahun 2014, termasuk mempelajari cantolannya dalam konstitusi UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait