Secuil Cerita Seputar Mahkamah yang Luar Biasa
Sidang Mahmillub G30S

Secuil Cerita Seputar Mahkamah yang Luar Biasa

Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar atas prakara Mayor Jenderal Soeharto digelar di lantai dua Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Secuil Cerita Seputar Mahkamah yang Luar Biasa
Hukumonline
Jurnalis senior Aristides Katoppo yang panjang berkarir di Harian Sore Sinar Harapan masih ingat benar satu masa yang cukup menguras tenaganya pada bulan-bulan awal 1966. Sebuah Mahkamah Militer Luar Biasa, atas prakarsa Mayor Jenderal Soeharto, digelar di lantai dua Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Tujuannya mengadili siapapun orang yang dituduh tokoh partai komunis dan patut diduga terlibat Gerakan 30 September 1965.
“Saking padatnya persidangan awal kala itu, Ketua Majelis Hakim Ali Said dan banyak perangkat peradilan kala itu, seingat saya sampai menginap di rumah dinas Ahmad Yani yang letaknya bersebarangan dengan  gedung tempat persidangan, saya sering berbincang dengan dia usai sidang di rumah itu,” kata Aristides mengisahkan kembali serpihan ingatannya kepada hukumonline, Selasa lalu.
Berdasar buku "Mengadili Korban" (ELSAM, 2003), dituliskan bahwa pada periode akhir November dan awal Desember 1965 Mayor Jenderal Soeharto meminta wewenang Presiden Soekarno agar dapat menggunakan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk memeriksa dan mengadili para tahanan yang dituduh terlibat G 30S. Melalui Keppres No.370 tahun 1965, Mahmillub lantas diberi mandat mengadili “tokoh-tokoh” aksi G 30S. Kala itu, Soeharto yang kelak menjadi orang nomor satu di republik, berkuasa penuh untuk menentukan mana yang terkategorikan “tokoh” mana yang bukan. 
Kekhususan Mahmilub terletak pada dua hal, masih menurut Samuel dalam bukunya. Pertama, Mahmilub saat itu adalah pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir, karena terdakwa ataupun oditur/penuntut tidak dapat melakukan banding. Kedua, lembaga peradilan militer yang memeriksa warga sipil. Total ada 17 orang yang dianggap sebagai tokoh dari Partai Komunis Indonesia yang diadili di Mahmillub. 
“Peradilan kala itu terbuka, dihadiri banyak jurnalis asing juga,” kata Tides. Namun, tambahnya, “meski terbuka suasana kala itu mencekam, aura sebuah mahkamah yang luar biasa.”
Persidangan yang digelar sebenarnya cukup menyedot perhatian publik, kata Tides, tapi ketegangan politik membendung animo masyarakat kala itu. “Berbeda dengan kasus apa itu? Jessica!” kata Tides sembari tergelak. (Baca juga: Menyibak Tirai Hitam Mahmilub)
Menurut Tides pendaftar tamu sidang bisa mencapai ribuan orang setiap kali sidangnya, namun lantaran terbatas hanya puluhan mungkin mencapai ratusan saja yang diberikan kesempatan hadir dan mengikuti acara.
Halaman Selanjutnya:
Tags: