Ali Said, dari Ketua Mahmilub Hingga Komnas HAM
Sidang Mahmilub PKI

Ali Said, dari Ketua Mahmilub Hingga Komnas HAM

Tidak mempunyai pengalaman membuat putusan ketika memimpin Mahmilub, sehingga dibantu oleh Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 2 Menit
Ali Said. Ilustrasi: BAS
Ali Said. Ilustrasi: BAS
Ada banyak tokoh penting dalam “drama” persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili orang-orang yang diduga melakukan Gerakan 30 September 1965. Ada Mayjen Soeharto yang diberi mandat oleh Keputusan Presiden Nomor 370 Tahun 1965 untuk, di antaranya, menentukan susunan majelis, hingga pengacara terdakwa Yap Thiam Hien yang kerap tampil garang saat menyampaikan pembelaannya.

Namun, selain mereka, ada satu sosok penting yang tidak boleh terlewatkan. Ya, dia adalah Ali Said, pria yang terpilih untuk memimpin jalannya persidangan dalam perkara-perkara tersebut. (Baca Juga: Mahmilub, Mahkamah yang Awalnya Dibentuk Mendukung Sosialisme).

Jurnalis senior Aristides Katoppo yang saat itu meliput jalannya persidangan sempat menceritakan bagaimana sosok Ali Said saat itu. Kepada hukumonline, Aristides memaparkan bagaimana Ali Said selaku Ketua Majelis – dan perangkat persidangan kala itu- sampai menginap di rumah dinas Ahmad Yani yang letaknya berseberangan dengan gedung tempat persidangan. Ini dilakukan karena saking padatnya persidangan.

Tides yang mengaku cukup akrab dengan Ali Said kala itu mengatakan bahwa Ali Said awalnya menilai ringan tugas untuk memimpin terdakwa yang disebut-sebut sebagai musuh negara. Namun, ternyata anggapan itu salah. Selain soal rasa kemanusiaan, Ali Said menilai sosok advokat Yap Thiam Hien yang menjadi pengacara terdakwa yang membuat sidang cukup alot dan benar-benar hidup. (Baca Juga: Secuil Cerita Seputar Mahkamah yang Luar Biasa).

Sebastiaan Pompe, dalam buku ‘The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse’, menggambarkan peristiwa di balik layar saat Ali Said memimpin Mahmilub G30S. Pompe mengungkapkan bahwa saat ditunjuk oleh Soeharto untuk memimpin Mahmilub, Ali Said cukup khawatir atas minimnya pengalamannya dalam membuat putusan yang baik. Ia pun akhirnya dibantu oleh Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja.

“Saya terlibat sangat erat dalam seluruh kasus di Mahmilub (yang menyangkut G30S,-red). Saya dibuatkan pangkat kolonel tituler untuk membantu Ali Said yang tidak memiliki pengalaman dalam merancang putusan,” demikian pengakuan Asikin yang terekam dalam buku Pompe tersebut. (Baca Juga: Organisasi Pengadilan: Dari Soepomo Hingga Pompe).

Pasca memimpin Mahmilub untuk kasus G30S, karier Ali Said di dunia hukum semakin meroket. Berbagai jabatan penting di kancah hukum pernah ia cicipi. Pria kelahiran Magelang 12 Juni 1927 ini pernah menjabat sebagai Jaksa Agung. Ia memimpin Korps Adhyaksa selama delapan tahun dari 1973 hingga 1981. Salah satu kasus penting yang ditanganinya saat menjabat Jaksa Agung adalah kasus Malari 1974 (Malapetakan Lima Belas Januari).  

Lepas dari Kejaksaan Agung, Ali Said lalu diangkat menjadi Menteri Kehakiman pada periode 1981-1983. Ali Said menggantikan Mudjono di tengah jalan sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Pembangunan III.

Pada 1984, Ali Said kembali menggantikan Mudjono sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA). Ali Said dipercaya memimpin lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia itu selama delapan tahun hingga 1992. Pada eranya sebagai Ketua MA, Ali menandatangani Surat Keputusan Bersama dengan Menteri Agama tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Karya dari pelaksana proyek ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai hukum materiil di Pengadilan Agama hingga saat ini. (Baca Juga: Ketua MA, Dari Kusumah Atmadja Hingga Harifin Tumpa).

Selepas pensiun dari MA, Ali Said diangkat menjadi Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pertama yang baru dibentuk pada 1993. Di lembaga ini, Ali Said memimpin tokoh-tokoh besar dunia hukum dan HAM, dari Baharuddin Lopa hingga begawan hukum Indonesia Prof Satjipto Rahardjo. (Baca Juga: Maestro Hukum Progresif itu Telah Tiada).

Sejumlah pemerhati HAM, sebagaimana dikutip dari situs Kontras, pernah menggambarkan sosok Ali Said yang aneh. Di satu sisi, Ali Said selaku Ketua Komnas HAM merupakan orang kepercayaan Soeharto, tetapi ia dinilai menyimpan ambisi besar untuk membuat Komnas HAM kredibel dan kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Sosok Ali Said dinilai sebagai sosok ‘aneh’ yang meletakkan dasar yang kuat bagi munculnya Komnas HAM yang berwibawa.

Jakob Oetama, dalam buku “Suara Nurani: Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001”, menulis bahwa Komnas HAM merupakan warisan terakhir Ali Said yang meninggal pada 26 Juni 1996. “Warisannya yang terakhir, karya Komnas HAM. Lembaga itu dibentuk oleh pemerintah, yang berarti ganda,” sebut pendiri dan pemilik Harian Kompas ini.

Di satu sisi, lanjut Jakob, pemerintah –termasuk Presiden Soeharto- ingin menunjukan kesungguhan dan kepeduliannya terhadap permasalahan HAM. Sedangkan di lain pihak, karena diprakarsai oleh pemerintah, ada kesangsian dari berbagai kalangan bahwa lembaga ini dapat melaksanakan tugasnya secara kredibel, dapat dipercaya dan karena itu mempunyai otoritas, kewibawaan.  
Tags:

Berita Terkait