KPK: Reklamasi Seharusnya Digerakkan Pemerintah
Berita

KPK: Reklamasi Seharusnya Digerakkan Pemerintah

Reklamasi wajib memenuhi aspek lingkungan, hukum dan sosial.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Diskusi menghadirkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mantan Pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Pakar Lingkungan Hidup Emil Salim, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Diskusi menghadirkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mantan Pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Pakar Lingkungan Hidup Emil Salim, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
KPK menegaskan bahwa reklamasi seharusnya digerakkan oleh pemerintah agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Jika swasta ikut dalam proyek, tapi pimpinan pelaksananya tetap pemerintah. Alasannya karena pemerintah berkaitan erat dengan regulasi dan kebutuhan lainnya.

"Reklamasi harus di-drive pemerintah bukan swasta, jadi kalau swasta melakukan sesuatu, pemerintah yang jadi pemimpin terkait pemenuhan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan, regulasi, dan kebutuhan sosial," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam diskusi "Kebijakan Reklamasi: Menilik Tujuan, Manfaat, dan Efeknya" di gedung KPK Jakarta, Selasa (4/10).

Sejumlah pembicara yang hadir dalam diskusi itu adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Dewan Pertimbangan Presiden 2007-2014 Emil Salim, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, dan mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto selaku moderator.

Dalam paparannya, Laode menyinggung reklamasi di Rotterdam, Belanda, yang 70 persen dikuasai pemerintah dan 30 persen swasta dengan di Jakarta. "Bandingkan dengan yang di Jakarta, berapa pemerintah berapa swasta? Ini arahan presiden," kata Laode. (Baca Juga: Mengintip Perdebatan Hukum Reklamasi Teluk Jakarta)

Menurut Laode, KPK sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 27 April 2016 dan dalam pertemuan itu Presiden juga menyetujui usulan KPK mengenai pemerintah yang mengambil kendali reklamasi. Saran kedua adalah untuk mengubah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Pantai Utara Jakarta.

Ia mengatakan Presiden sependapat Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Pantai Utara Jakarta banyak kontradiksi dengan UU yang berlaku, misalnya UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana diperbaharui UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

"Jadi, harus diubah sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku. Semua penyelesaian yang berhubungan dengan reklamasi Jakarta harus sesuai dengan hal ini, tidak lagi di luar itu," tegas Laode. (Baca Juga: Moratorium Reklamasi, Ini Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Pengusaha)

Selain itu, KPK juga mengingatkan agar reklamasi memenuhi aspek lingkungan, hukum, dan sosial. "Dan disepakati Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan kajian dalam waktu enam bulan berikutnya," kata Laode.

Mengenai reklamasi di Pantura Jakarta yang juga sudah terbukti adanya pemberian suap dalam pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro kepada mantan Ketua Komisi D DPRD Mohamad Sanusi, KPK menegaskan reklamasi itu sudah terjadi.

"Kalau di Jakarta karena sudah terjadi maka perlu mendapatkan kajian, tapi ternyata dari gambar yang diberikan dan gambar di lapangan berbeda, itu yang dikatakan Bu Susi. Bahkan dia suruh pesawatnya sendiri terbang ke atasnya dan disampaikan jadi seperti itu," katanya.

"Kami tidak mendukung reklamasi, tapi kalau sudah terjadi harus memenuhi tiga kriteria itu, yakni memenuhi undang-undang, memperhatikan dampak sosial, dan pertimbangan lingkungan harus jalan," ungkap Laode. (Baca Juga: Soal Reklamasi Teluk Jakarta, DPR dan Pemerintah Sepakat Distop Sementara)

Apalagi reklamasi yang menciptakan pantai publik yang baru seharusnya tidak dipungut biaya untuk masuk. "Ini untuk kebijakan publik. Proyek pembangunan jangan hanya mengakomodasi kepentingan orang kaya, tapi juga kepentingan umum. Di seluruh dunia, beach itu public domain, tidak boleh ditutup-tutup. Kalau pergi ke Australia, Amerika, Eropa tidak ada yang tutup pantai kalau pinggir pantai mau dijadikan private housing," tambah Laode.

Saat ini setidaknya ada 37 lokasi reklamasi di seluruh Indonesia, 17 di antaranya sudah dan sedang dilakukan reklamasi, serta 20 baru akan dikerjakan. Khusus reklamasi pantura Jakarta ada 17 pulau dengan luas sekitar 5.000 hektare yang menjadi objek reklamasi. Izin Pelaksanaan Reklamasi dikeluarkan sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo pada 2010, yaitu Pulau 2A kepada PT Kapuk Naga Indah (KPI), dilanjutkan penerbitan Persetujuan Prinsip pulau A, B, C dan D kepada PT KPI.

Berikutnya, Izin Pelaksanaan Pulau 1 dan Pulau 2B kepada PT KPI, Pulau G kepada PT MWS, Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci, dan Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo bekerja sama dengan PT Agung Dinamika Persada. Izin pun diperpanjang pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2014-2015. PT KPI adalah anak perusahaan Agung Sedayu Group dan PT MWS, sedangkan PT Agung Dinamika Perkasa dan PT Jaladri Kartika Pakci sebagian besar sahamnya dimiliki PT APL. PT MWS mulai melaksanakan reklamasi dengan membuat pulau G pada pertengahan 2015.
Tags:

Berita Terkait