SEMA yang Disinggung JPU dalam Sidang Pembunuhan Berencana
Berita

SEMA yang Disinggung JPU dalam Sidang Pembunuhan Berencana

Penuntut umum juga kutip yurisprudensi dan putusan MK untuk memperkuat argumentasi.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Sidang pembacaan tuntutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Sidang pembacaan tuntutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Jaksa/Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa Jessica Kumala Wongso 20 tahun penjara potong masa tahanan. Majelis hakim telah memberikan waktu kepada tim penasihat hukum terdakwa untuk menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya.

Jika dibaca lebih mendalam sebenarnya ada beberapa poin penting dalam rekuisitor jaksa. Penting terutama untuk kajian-kajian ilmu hukum ke depan. Salah satunya mengenai kekuatan keterangan saksi yang memberikan keterangan di luar negeri, dan keterangannya diterjemahkan. Penuntut umum perkara pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin merasa penting memberikan penjelasan mengenai masalah ini untuk meyakinkan majelis hakim.

Adalah Kristie Louis Carter, saksi yang keterangannya dibacakan di persidangan. Mantan atasan Jessica saat bekerja di Australia ini tak bisa hadir ke PN Jakarta Pusat meskipun sudah dipanggil secara patut (3 kali). Sebelum persidangan, penyidik Polda Metro Jaya sudah meminta keterangan Kristie di kantor Australian Federal Police, 29 Februari 2016.

Penuntut umum berpendirian keterangan Kristie sah secara hukum, dan berkedudukan sama dengan saksi lain yang memberikan keterangan di bawah sumpah di depan persidangan. Keterangannya dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah. “Dapat dipersamakan dan dipergunakan sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah,” tegas penuntut umum dalam persidangan.

Untuk menguatkan argumentasinya, penuntut umum merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1985. SEMA yang terbit pada masa Ketua MA Ali Said ini mengatur tentang kekuatan pembuktian berita acara pemeriksaan saksi dan visum et repertum yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing. (Baca: Apakah Tersangka Berhak Mengetahui Hasil Visum et Repertum?)

SEMA ini sebenarnya mengatur tentang berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat polisi negara asing di luar negeri. Keterangan saksi itu baru dapat dipakai sebagai alat bukti jika memenuhi syarat. Pertama, dalam berita acara dihadirkan penyidik Polri atau penyidik lain harus dicantumkan dengan tegas. Kedua, jika kehadiran penyidik Polri/penyidik lainnya tidak dicantumkan, berita acara itu harus disahkan oleh Kedutaan Besar atau perwakilan Indonesia di negara tersebut. Ketiga, saksi bersangkutan harus didengar di bawah sumpah di hadapan penyidik Polri/penyidik lainnya, atau jika tidak, di hadapan pejabat dari Kedubes/perwakilan Indonesia di negara tersebut.

Masih berdasarkan SEMA, visum et repertum yang dibuat oleh pejabat negara lain baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah jika sudah disahkan Kedubes atau perwakilan Indonesia di negara bersangkutan.

Selain itu, penuntut umum merujuk pada Pasal 162 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan pasal ini, jika saksi sudah memberikan keterangan dalam penyidikan punya halangan yang sah – misalnya karena rumahnya jauh-- untuk tidak hadir di persidangan, ‘maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan’. Itulah yang dilakukan penuntut umum dalam persidangan, yakni membacakan keterangan Kristie.

Penuntut umum menegaskan Kristie sudah disumpah di depan penyidik Polda Metro Jaya sebelum memberikan keterangan. Pasal 162 ayat (2) KUHAP menegaskan jika keterangan saksi diberikan di bawah sumpah, maka ‘keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang’.

Perluasan saksi
Dalam uraian rekuisitornya, penuntut umum juga menguraikan tentang alat bukti saksi dengan mengutip kedudukan saksi testimonium de auditu berdasarkan yurisprudensi. Jaksa mengutip putusan Hoge Raad tanggal 26 November 1948 dan putusan MA No. 308K/Sip/1959. Jaksa membahas kesaksian testimonium de auditu ketika menjelaskan kekuatan keterangan saksi Arif S. Soemarko yang mendengar cerita dari korban Wayan Mirna Salihin sebelum korban meninggal. Korban pernah mendengar cerita bahwa terdakwa marah dan memutus komunikasi dengan korban gara-gara korban memberi saran agar terdakwa memutuskan hubungannya dengan seseorang bernama Patrick.

Untuk memperkuat dalilnya, tim jaksa merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010. Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4), dan Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal itu tidak dimaknai sebagai orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, atau ia alami sendiri. Putusan MK ini memperluas makna saksi dalam KUHAP. Keterangan saksi tak diukur dari melihat, mendengar atau mengalami, melainkan pada relevansi keterangannya dengan kasus yang sedang disidangkan.
Tags:

Berita Terkait