BPK Persilakan Serikat Pekerja SKK Migas Gugat Opini Tidak Wajar
Berita

BPK Persilakan Serikat Pekerja SKK Migas Gugat Opini Tidak Wajar

Jika auditor BPK melakukan kesalahan, Harry Azhar Azis persilakan untuk dibuktikan.

Oleh:
ANT | Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Ketua BPK Harry Azhar Azis. Foto: RES
Ketua BPK Harry Azhar Azis. Foto: RES
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis mempersilakan kepada Serikat Pekerja (SP) Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menggugat opini tidak wajar yang diberikan oleh BPK atas laporan keuangan mereka. Menurutnya, opini yang telah dikeluarkan BPK terhadap laporan keuangan SKK Migas itu telah final.

"Jadi yang sudah kita lakukan itu sifatnya final, kalau mau digugat silahkan ke tempat-tempat yang bisa digugat, ke pengadilan atau tempat lain. Tidak jadi masalah," ujar Harry di Jakarta, Senin (10/10).

Sebelumnya, SP SKK Migas sebelumnya mempertanyakan opini tidak wajar atas laporan keuangan yang dalam empat tahun berturut-turut memperoleh opini wajar tanpa Pengecualian (WTP). (Baca Juga: BPK Janji Lebih Garang Pantau Rekomendasi Hasil Pemeriksaan)

SP SKK Migas menilai, hal-hal yang menjadi temuan audit antara lain terkait hak-hak pekerja yang terdiri dari PAP (Penghargaan atas Pengabdian), MPP (Masa Persiapan Pensiun), Imbalan Kesehatan Purna Karya (IKPK), dan PUTD (Penghargaan Ulang Tahun Dinas), Pencatatan Pesangon, Abandonment & Site Restoration (ASR), merupakan temuan rutin dari Auditor dan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya temuan tersebut sudah dijawab dan diklarifikasi oleh pihaknya.

"Tahun audit 2014 saja, dengan Kepala BPK RI yang masih sama (Harry Azhar Azis) dengan tim audit yang sama juga tapi bisa ya menghasilkan opini yang berbeda dengan tahun audit 2015? Apa ada pesanan apa bagaimana? " kata Ketua Umum SP SKK Migas Dedi Suryadi.

Dedi mengatakan, SP SKK Migas menghormati atas opini yang dikeluarkan oleh BPK dan mengerti opini tersebut bersifat final. Tapi ia juga menyatakan siap untuk membawa isu ini sehingga menjadi 'RS Sumber Waras' kedua bagi BPK.

SP SKK Migas juga menuntut klarifikasi terbuka serta Standard Operating Procedure (SOP) pemeriksaan dari BPK atas tahun-tahun pemeriksaan atas SKK Migas beberapa tahun terakhir. Ia menilai sebaiknya dilakukan evaluasi etik atas auditor-auditor BPK.

“Yang dilakukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia agar ke depannya semua audit yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan norma-norma professional bukan politik praktis semata," ujar Dedi.

Harry sendiri menanggapi santai tudingan tersebut. Ia mempersilahkan SP SKK Migas membuktikan apabila memang BPK melakukan kesalahan. "Kalau mereka bisa buktikan BPK salah, mereka harus buktikan, tapi ya tetap melalui pengadilan," ujar Harry. (Baca Juga: BPK: 60 Persen Permasalahan Ketidakpatuhan Berdampak Finansial Triliunan)

Untuk diketahui, BPK mengungkapkan telah terjadi pembebanan biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam pengembalian biaya operasional (cost recovery) sebesar Rp2,56 triliun di SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Temuan tersebut diperoleh setelah BPK melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas perhitungan bagi hasil dan komersialisasi migas pada SKK Migas dan KKKS.

"Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa BPK berhasil mengungkapkan adanya pembebanan biaya biaya-biaya yang tidak semestinya diperhitungkan dalam cost recovery sebesar Rp209,88 juta dan AS$194,25 juta atau totalnya ekuivalen senilai Rp2,56 triliun,"kataHarry Azhar.

Laporan keuangan SKK Migas sendiri pada 2015 lalu memperoleh opini Tidak Wajar (TW) setelah empat tahun sebelumnya memperoleh WTP. Opini TW itu diberikan karena pengakuan kewajiban diestimasi atas imbalan pasca kerja berupa Manfaat Penghargaan atas Pengabdian (MPAP), Masa Persiapan Pensiun (MPP), Imbalan Kesehatan Purna Karya (IKPK), dan Penghargaan Ulang Tahun Dinas (PUTD) senilai Rp1,02 triliun, tidak disetujui oleh Kementerian Keuangan.

Hal tersebut berkenaan dengan tidak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawai BP Migas pada tanggal 13 November 2012 lalu itu. Selain itu, adanya piutangabandonment dan site restoration (ASR) kepada delapan KKKS senilai Rp72,33 miliar belum dilaporkan. “Meskipun kewajiban pencadangan ASR telah diatur dalam klausul perjanjian (production sharing contract)," ujar Harry. (Baca Juga: Presiden: Ingat, Opini WTP Bukan Jaminan Tak Ada Korupsi)
Tags:

Berita Terkait