Internal AAI Berpolemik Soal Wacana PKPA Mandiri
Berita

Internal AAI Berpolemik Soal Wacana PKPA Mandiri

DPP AAI diminta menelaah kembali penerapan kebijakan PKPA mandiri karena berpengaruh terhadap sumber pendanaan. Hal itu juga berkenaan dengan belum direvisinya UU Advokat.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Ketua AAI Muhammad Ismak saat memberikan sambutan dalam Rakernas. Foto: HAG
Ketua AAI Muhammad Ismak saat memberikan sambutan dalam Rakernas. Foto: HAG
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) mengkritik banyaknya organisasi advokat yang melakukan perekrutan dengan standar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ketua Umum AAI, Muhammad Ismak, berniat menyusun kurikulum pendidikan profesi advokat secara mandiri. Namun, kebijakan PKPA mandiri oleh DPP AAI justru menuai pro-kontra di kalangan anggota AAI di daerah.

Dalam Sidang Pleno Rakernas AAI ke XVIII di Palembang pada 7-9 Oktober, Muhammad Ismak menuturkan kegelisahannya atas proses pendidikan profesi advokat selama ini. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya wacana kebijakan PKPA mandiri oleh AAI. “Begitu banyak organisasi advokat yang melakukan perekrutan dengan begitu macam model, berangkat dari hal itu kita ingin memberi jawaban atas kualitas advokat yang akan lahir,” tuturnya.

Ismak mengatakan bahwa AAI tidak ingin profesi advokat lahir dari kualitas perekrutan yang beragam bentuknya. Oleh Karena itu, kata Ismak, AAI merasa bertanggung jawab untuk itu. Menurutnya, teman-teman dari Komisi Pendidikan telah membahas hal ini dan menyusun kurikulum yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ismak menjelaskan PKPA yang dilakukan secara mandiri oleh AAI rencananya digelar pada November 2016. Sebagai pilot project akan dimulai di DPC AAI Bandung dan DPC AAI Bali. Adapun materinya adalah 30-70 persen pertanyaan seputar praktik beracara.

Pertimbangan lain AAI ingin menggelar PKPA mandiri yang terlepas dari PERADI karena ketidakjelasan organisasi advokat. Menurut Ismak, menyelenggarakan PKPA mandiri merupakan sebuah gagasan untuk menyelamatkan martabat dan wibawa profesi advokat di kemudian hari. “Kita ingin memberikan gagasan bagaimana seharusnya profesi advokat itu dilahirkan,” ujarnya.

Ismak menyadari dengan munculnya rencana menggelar PKPA mandiri, akan terjadi perdebatan di publik, apakah AAI ingin lepas dari PERADI. Ia menegaskan PKPA mandiri dilaksanakan untuk memperbaiki kualitas advokat dan memberdayakan 132 cabang AAI.

“Kemudian muncul banyak pertanyaan, ‘Mengapa AAI ingin membuat kurikulum pendidikan? Asumsinya apa ingin keluar dari PERADI?’ Kurikulum pendidikan untuk memperbaiki kualitas advokat dan memperdayakan 132 cabang DPP AAI,” katanya.

Namun kebijakan DPP AAI mengenai PKPA mandiri yang terlepas dari PERADI ini justru menuai kritik dari internal anggota AAI sendiri. Alasannya, selama ini DPC AAI di beberapa daerah telah menggelar PKPA bekerjasama dengan PERADI.

Salah satu perwakilan DPC AAI yang secara vokal mengkritik kebijakan PKPA mandiri AAI adalah Ketua DPC AAI Lampung, Wiwik Handayani. Ia mengeluhkan kebijakan ini karena DPC AAI Bandar Lampung yang diketuainya telah menggelar PKPA bekerjasama dengan PERADI sejak tahun 2005 dan sudah melahirkan sepuluh angkatan advokat muda di Lampung.

Wiwik secara terus terang mengakui bahwa selama ini DPC AAI Bandar Lampung kekurangan sumber pendanaan. Sumber pendanaan terbesar justru berasal dari pembayaran PKPA yang digelar bersama PERADI. “Karena enggak ada lagi, hanya dari PKPA. Dan lumayan sekali, sangat membantu dalam membiayai kegiatan-kegiatan di DPC,” ujarnya.

Kemudian, Wiwik menjelaskan mekanisme profit sharing yang diterapkan ketika DPC AAI Bandar Lampung bekerja sama dengan PERADI dan pihak universitas dalam menggelar PKPA. “Sudah ada ketentuannya, dikasih ke PERADI sekian persen, dikasih ke universitasnya sekian persen. Dulu setorannya ke DPN PERADI 20%, sekarang sudah berubah ketentuannya menjadi 15%. Ini dari jumlah ya, ke universitas juga sama setorannya 15%. Tetapi tergantung kesepakatannya, sekarang kebanyakan setoran ke pihak universitas itu sebesar 10%. Nanti setelah itu baru dipotong dana operasional,” jelasnya.

Wiwik meminta kepada DPP AAI untuk menelaah kembali penerapan kebijakan PKPA mandiri karena berpengaruh terhadap sumber pendanaan. Hal itu juga berkenaan dengan belum direvisinya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

“Harus dipikirkan terlebih dahulu. UU Advokat ini belum berubah. Kami taat undang-undang, kok tiba-tiba ini buat sendiri. Selama ini kami bekerja sama dengan PERADI (dalam menggelar PKPA) itu kami mendapatkan imbal balik. Imbal baliknya kita kan dapat profit sharing,” ujarnya.

Wiwik mengkhawatirkan bahwa penerapan kebijakan PKPA mandiri AAI ini justru akan menimbulkan perpecahan anggota-anggota AAI di daerah. Menurut pengamatannya, anyak yang tidak setuju dengan rencana PKPA mandiri. (Baca Juga:  Ini 15 Rekomendasi Hasil Rakernas AAI ke XVIII)

“Karena begini, di Bandar Lampung misalnya, pengurus AAI itu juga pengurus PERADI. Otomatis kiblatnya ke PERADI, dan PERADI ini kan tubuh organisasi yang kuat. Ketika Ketua Umum AAI tidak bijak dalam menerapkan kebijakan ini, artinya menerapkan kebijakan ini tidak secara persuasif dan perlahan, nantinya justru dampaknya frontal,” tegasnya.

Lebih jauh, Wiwik mengusulkan kepada DPP AAI untuk meninjau keadaan DPC AAI di daerah terlebih dulu. “Di daerah seperti apa, apakah program kerja yang mau diterapkan ini dapat diterapkan di daerah dengan baik. Atau malah nanti sebaliknya, karena banyak hal yang harus kita pikirkan. Uji coba boleh, tetapi pendekatan dulu lah ke daerah. Dalam menerapkannya perlu langkah-langkah pendekatan dan penelaahannya,” usulnya.

Wiwik juga menyampaikan kegelisahannya soal keberlanjutan PKPA yang selama ini sudah berjalan di daerah. “Di daerah, biaya PKPA sebesar Rp5 juta itu sudah memberatkan, para calon advokat muda ini tidak mau gambling dengan uang sebesar itu, tetapi sistemnya tidak jelas. Ketika PKPA bekerja sama dengan DPN PERADI, mengeluarkan uang Rp5 juta ini tidak khawatir karena sudah jelas. Nah inilah yang menjadi dilema bagi kami,” pungkasnya. 

Namun demikian, menurut Kabid Humas & IT DPP AAI Harvardy M Iqbal, dalam Rakernas tersebut, mayoritas peserta Rakernas yang terdiri dari berbagai DPC di seluruh Indonesia telah memutuskan dan setuju untuk merekomendasikan Ketua Umum AAI agar melaksanakan PKPA secara mandiri. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan advokat sesuai standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tags:

Berita Terkait