Kalangan Notaris dan PPAT Bersuara Soal Operasi Anti Pungli
Berita

Kalangan Notaris dan PPAT Bersuara Soal Operasi Anti Pungli

Notaris dan PPAT menolak pungli atau yang biasa disebut biaya paket atau biaya taktis setiap melakukan pengurusan dokumen.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Ratusan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak keras pungutan liar alias pungli yang hampir sehari-hari mereka dapati. Penolakan keras itu menyusul kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang resmi membentuk tim Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), yakni sebuah tim yang akan memberantas segala macam pungli yang merugikan masyarakat.

Dalam sebuah acara pembekalan dan penyegaran pengetahuan (upgrading) Notaris dan PPAT se-Banten di Alam Sutera Tangerang Selatan, Kamis (13/10). Satu per satu, notaris yang juga berprofesi PPAT ‘curhat’ menyoal masih maraknya oknum pegawai negeri sipil yang meminta biaya tidak resmi atas pelayanan yang diberikan. Kebetulan dalam forum diskusi tersebut hadir salah satu pejabat dari Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Kota Banten.

“Dari awal sampai sekarang jadi PPAT, saya masih terus dimintai biaya tambahan yang tidak resmi,” ujar Notaris dan PPAT Kabupatan Serang, Fitra Deni secara lantang di tengah forum. (Baca Juga: Aplikasi LAPOR! Bila Anda Temui Pungli Oknum PNS)

Pantauan hukumonline, Fitra bukanlah satu-satunya orang yang curhat soal maraknya pungli. Sebelum wanita yang ternyata berprofesi sebagai dosen pascasarjana Magister Kenotariatan di Universitas Pancasila meluapkan kekesalannya itu, ada sejumlah rekan notaris dan PPAT lainnya yang juga menceritakan kejadian yang sama. Mereka sama-sama mengkritik dan mengaku ‘tidak berdaya’ melawan pola yang boleh dikatakan lazim terjadi di lingkungan birokrasi terutama terkait pelayanan pada masyarakat.

Sayangnya, ketika hukumonline mencoba mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan. Mayoritas memilih berkomentar secara off the record dan tidak bersedia dikutip dalam pemberitaan. Benang merahnya sama, mereka yang menolak beralasan khawatir akan menggangu hubungan mereka dengan institusi terkait di kemudian hari. Untungnya, hal itu tidak menggentarkan Fitra sama sekali untuk berkomentar lebih jauh.

“Saya pernah melawan. Lalu saya akhirnya pernah bersitegang dengan kepala kantor. Saya dikatai dan ditolak lalu disuruh keluar. Kalau pimpinan seperti itu gimana anak buahnya,” sambung Fitra.

Kepada hukumonline, Fitra mengungkapkan bahwa praktik pungli tidak boleh terus dimaklumi. Menurutnya, upaya yang dilakukan Presiden Jokowi mesti menjadi momentum khususnya rekan PPAT untuk bersama-sama melawan praktik yang tidak benar itu. Ia mendorong, PP IPPAT bersama dengan Kementerian ATR/BPN mesti sama-sama berkomitmen untuk tidak meminta dan mau memberi pungli di luar PNBP.

“IPPAT akan coba tindaklanjuti supaya bisa koordinasi dengan BPN. Ini dampaknya bukan hanya soal high cost, tapi berdampak kepada pembangunan itu sendiri. Kalau masyarakat dan pelaku usaha yang mau buka usaha di daerah kemudian biaya sertifikat butuh biaya tinggi dan waktu lama, membuat pembangunan juga tidak lancar. Dampaknya pengusaha tunggu waktu, itu tidak efektif,” papar Fitra yang juga Wakil Ketua Pengda IPPAT Kabupaten Serang itu. (Baca Juga: KPK: Praktik Pungli Karena Lemahnya Pengawasan)

Sementara itu, Ketua Umum PP IPPAT, Syafran Sofyan mengimbau agar rekan-rekan PPAT berhati-hati terkait dengan pungli. Kata Syafran, PPAT sebaiknya tidak lagi membayar biaya-biaya tidak resmi meskipun itu dimintakan oleh oknum pegawai suatu lembaga. Sebab, meskipun pemberian uang itu dilakukan misalnya oleh karyawan kantor PPAT, tetap saja PPAT akan dianggap menjadi aktor utama yang menyuruh orang lain melakukan perbuatan seperti itu. Penyuruh, pemberi, dan penerima sama-sama berpotensi terkena tindak pidana.

“Kita jangan beri pungli, jangan mau beri. Ini sangat bahaya kalau nanti ditindak,” ujar Syafran.

Dalam forum itu, Syafran bercerita bahwa dirinya pernah mengalami sendiri kejadian dimintai sejumlah uang tidak resmi oleh oknum pegawai negeri. Saat itu, Syafran masih baru awal-awal masuk wilayah Jakarta sekira tahun 2005. Tak tanggung-tanggung, oknum tersebut meminta pungli mencapai setengah miliar hanya untuk mencoret suatu sertifikat.

Singkatnya, Syafran tak menyanggupi permintaan itu. Ia malah melaporkan hal itu kepada atasan pegawai tersebut untuk mengkonfirmasi apakah benar ada biaya sebesar itu yang mesti dibayar. Di luar dugaan, atasan yang ditemui Syafran mengatakan bahwa tidak ada biaya tambahan sama sekali di luar biaya yang telah dipenuhi Syafran untuk pelayanan yang ia minta. "Harus berani kalau tidak akan diteken terus," katanya tegas.

Sementara, terkait dengan biaya tidak resmi itu, PP IPPAT sempat berbincang langsung dengan Menteri ATR/BPN. Sebaliknya, Menteri balik bertanya mana bukti yang bisa menguatkan pernyataan itu. Oleh karenanya, Syafran mendorong agar rekan-rekan PPAT yang dimintai pungli melaporkan kepada PP IPPAT secara tertulis. Nantinya, laporan tertulis tersebut akan dijadikan bukti dan disampaikan kepada Menteri ATR/BPN.

Selain itu, Syafran juga usul  agar nantinya dibuat semacam mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap anggota IPPAT. Teknisnya, orang-orang yang direkrut PP IPPAT akan berada kantor pertanahan di seluruh Provinsi se-Indonesia. mengenai usul itu, Syafran mengatakan akan melakukan pembicaraan dengan Kementerian ATR/BPN dalam waktu yang tidak lama lagi.

“Tolong dilaporkan secara tertulis. Karena kalau lisan itu tidak ada data. Kita ingin clean and good governance,” tutup Syafran.

Sebagai informasi, Rabu (12/10) telah dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Jakarta Pusat dan berhasil menahan sejumlah orang yang diduga melakukan pungli. Sementara ini, pungli tersebut diduga untuk memuluskan sejumlah proses perizinan terkait Seaferer Identity Document (SID) atau dokumen identitas pelatu. Dari operasi kemarin, Polisi mengamankan enam orang yang terdiri dari pegawai negeri, pegawai harian lepas, dan pihak swasta. Dari mereka ditemukan uang Rp 34 juta. (Baca Juga: Polda Metro Tetapkan 3 Tersangka Terkait OTT Pungli)

Bantah
Di tempat yang sama, perwakilan dari Kanwil BPN Banten, Hasanudin mengaku tak mengetahui mengenai biaya tidak resmi atau istilahnya ‘biaya paket’ atau ‘biaya taktis’ yang selama ini menjadi biaya tambahan yang mesti dibayarkan oleh pemohon termasuk PPAT. Sebab, sebagaimana pesan Kepala Kanwil BPN Banten, seluruh layanan yang diberikan tentu mengacu pada tarif PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ATR/BPN.

“Kalau tidak mau bayar oknum, layangkan surat ke Kanwil. Pengaduan harus jelas supaya tidak fitnah,” katanya.

Lebih lanjut, bila memang praktik pungli seperti permintaan biaya paket atau semacam masih terjadi, ia akan segera menindaklanjuti informasi tersebut ke Ketua Kanwil. Pasalnya, selama ini BPN dalam memberikan layanan selalu berpedoman kepada standar prosedur (SOP) yang berlaku. Bisa jadi, ada syarat-syarat dokumen yang belum dilengkapi oleh PPAT sehingga praktek ini akhirnya terjadi.

"Nanti kita tindaklanjuti, kami tidak mau kena OTT apalagi kemarin di Kemenhub kejadian. Hati-hati jangan vulgar,” singkatnya.
Tags:

Berita Terkait