Pemerintah-Pengusaha Respons Putusan MK tentang Penangguhan UMP
Utama

Pemerintah-Pengusaha Respons Putusan MK tentang Penangguhan UMP

Putusan MK bisa berdampak bukan saja terhadap upah pekerja tapi juga upah lembur dan kontribusi pekerja terhadap iuran BPJS.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi demo buruh saat Mayday di Jakarta.  Foto: SGP
Ilustrasi demo buruh saat Mayday di Jakarta. Foto: SGP
Selama ini perusahaan yang tidak mampu membayar upah buruhnya sesuai upah minimum bisa mengajukan penangguhan. Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melarang pengusaha membayar upah di bawah upah minimum. Tapi pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan memberi ruang bagi perusahaan yang tidak mampu untuk mengajukan penangguhan.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan No.72/PUU-XIII/2015 yang intinya selisih kekurangan pembayaran upah minimum selama masa penangguhan wajib dibayar pengusaha kepada pekerja. [Baca juga: Putusan MK Ini Kabar Baik Buat Pekerja]

Menanggapi putusan itu, Dirjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, mengatakan pihaknya akan membahas putusan itu akhir pekan ini. Dia belum dapat memastikan apakah putusan itu bakal ditindaklanjuti dalam bentuk regulasi atau merevisi ketentuan yang sudah ada seperti Kepmenakertrans  No.KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

Tapi yang jelas Kementerian Ketenagakerjaan akan menafsirkan putusan MK itu lebih rinci untuk diimplementasikan. “Kami akan lihat bagaimana putusan MK itu apakah menghendaki ada suatu perubahan atau tidak (revisi peraturan,-red). Putusan MK itu akan kami kaji lebih detail lagi, Jumat (13/10) nanti kami bahas,” katanya kepada wartawan di kantor Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta, Rabu (12/10).

Direktur PPPHI Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan MK menilai selisih kekurangan pembayaran upah minimum itu sebagai utang pengusaha terhadap pekerja. Walau pengusaha diberi kesempatan tidak membayar upah sesuai upah minimum yang berlaku karena penangguhannya dikabulkan, tapi kekurangannya harus dibayar. Jika selisih itu tidak dibayar, maka bertentangan dengan konstitusi, mengakibatkan buruh tidak bisa mendapat upah minimum. (Baca juga: Upah Tak Dibayar, Buruh Ingin Ada Proses Pidana).

Sahat menjelaskan ada sejumlah syarat bagi perusahaan yang ingin mengajukan penangguhan upah minimum diantaranya menunjukan laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit akuntan publik dan adanya kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Tapi, putusan MK itu menuntut adanya satu klausul baru yaitu kapan waktu pembayaran selisih kekurangan upah minimum yang ditangguhkan itu.

Sahat mengingatkan upah minimum merupakan kebijakan publik karena diputuskan oleh Gubernur. Begitu pula dengan persetujuan penangguhan upah yang diajukan pengusaha. Mengacu putusan MK tersebut, Gubernur bertugas bukan saja menetapkan pengusaha yang dikabulkan permohonan penangguhannya tapi juga kapan selisih kekurangan upah minimum itu dibayar.

“Dalam penangguhan upah minimum ke depan, pengusaha dan pekerja tidak hanya sepakat untuk mengajukan penangguhan tapi juga kapan selisih kekurangannya itu mau dibayar. Itu perlu masuk juga dalam penetapan penangguhan upah yang disetujui Gubernur,” urai Sahat.

Sahat berpendapat putusan MK itu menimbulkan dampak lain seperti penghitungan upah lembur, pesangon, kontribusi buruh terhadap iuran BPJS dan tunjangan buruh yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang acuannya upah. Misalnya, penangguhan upah dikabulkan untuk tahun 2017, maka besaran upah lembur yang diterima buruh di tahun tersebut dihitung mengacu upah yang ditangguhkan, bukan upah minimum. Lalu, bagaimana selisih kekurangan upah lembur itu akan dibayar?

Sayangnya, MK tidak memberi penjelasan bagaimana selisih kekurangan upah minimum itu dibayar. Oleh karenanya, Sahat menyebut putusan MK itu harus ditindaklanjuti lebih rinci dan jelas sehingga bisa dilaksanakan dengan baik.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi DKI Jakarta, Priyono, mengatakan pengusaha yang penangguhan upahnya dikabulkan bisa melakukan penangguhan dalam periode tertentu. Selama ini selisih kekurangan upah minimum tidak menjadi utang pengusaha. Oleh karenanya pengusaha yang dikabulkan penangguhan upahnya tidak membayar selisih kekurangan itu kepada pekerja.

Dengan adanya putusan MK terkait penangguhan upah minimum, Priyono mengatakan pengusaha harus melaksanakannya karena putusan itu sifatnya mengikat. Ke depan Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta akan memfasilitasi proses pembayaran selisih tersebut. Namun dia menekankan Dinas Tenaga Kerja tidak bisa melakukan eksekusi atau upaya paksa karena itu ranah pengadilan.

“Kalau putusan MK memerintahkan untuk membayar selisih kekurangan upah minimum, maka itu harus dilaksanakan pengusaha,” paparnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menjelaskan pengusaha  mengajukan penangguhan karena tidak mampu membayar upah buruhnya sesuai upah minimum. Biasanya, pengusaha yang mengalami kendala itu akan menghadapi masalah keuangan yang sama pada tahun berikutnya.

Putusan MK itu mempersempit ruang pengusaha untuk mengakali agar usaha yang dibangunnya tetap berjalan. Sebab, sekalipun penangguhannya dikabulkan, pengusaha tetap wajib membayar selisih kekurangan upah minimum yang ditangguhkan itu.

Mengacu putusan MK tersebut Hariyadi berpendapat ada dua pilihan bagi pengusaha yang perusahaannya rentan menghadapi kenaikan upah minimum. Pertama, melakukan pengurangan pekerja/buruh untuk menjaga cash flow agar mampu membayar sesuai upah minimum. Kedua, menutup kegiatan usahanya.

Menyikapi putusan itu Hariyadi mengatakan Apindo memandang UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu direvisi karena sudah banyak pasal yang dianulir MK. Oleh karenanya ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan saat ini tidak bisa dilaksanakan secara parsial. “UU Ketenagakerjaan harus dirombak karena sudah banyak bolongnya,” pungkasnya kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (14/10).
Tags:

Berita Terkait