Dalam Pengajuan PK, Ahli Waris Jadi Hak Substitusi Terpidana
Berita

Dalam Pengajuan PK, Ahli Waris Jadi Hak Substitusi Terpidana

Pengadilan seharusnya menolak upaya hukum dari seseorang yang berstatus DPO.

Oleh:
MR25
Bacaan 2 Menit
PK yang diajukan orang berstatus buron seharusnya ditolak pengadilan. Ilustrasi gedung MA. Foto: SGP
PK yang diajukan orang berstatus buron seharusnya ditolak pengadilan. Ilustrasi gedung MA. Foto: SGP
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengatakan terminologi ‘ahli waris’ dalam Pasal 263 KUHAP mengandung makna sebagai pihak yang mewarisi sesuatu setelah adanya kematian dari pewaris. Status ahli waris muncul jika pewarisnya sudah meninggal dunia. “Artinya, sepanjang tidak ada kematian, maka belum timbul ahli waris,” ujarnya.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan: ‘Permohonan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) diajukan kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya’. (Baca: Chairul Huda: Kembali PK Sesuai Ruh KUHAP).

Dalam diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, Jum’at (14/10) lalu, Prof. Hibnu mengatakan Pasal 263 KUHAP tidak menggunakan terminologi ‘keluarga’ ketika menyinggung hak untuk mengajukan peninjauan kembali (PK). Ini mengandung arti ‘ahli waris’ tidak dapat ditafsirkan dengan pengertian ‘keluarga’. Dalam permohonan PK, ahli waris berkedudukan mengemban hak substitusi terpidana. “Ahli waris dapat mengajukan PK apabila si terpidana telah meninggal dunia,” tegasnya.

Penegasan Prof. Hibnu itu berkaitan dengan eksaminasi putusan MA No. 97PK/Pid.Sus/2012 atas nama terdakwa Sudjiono Timan. Permohonan PK diajukan isteri dan kuasa hukum pada saat terdakwa Sudjiono dalam status buron alias masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada Juli 2013 silam, majelis PK membatalkan putusan kasasi yang menghukum Sudjiono 15 tahun penjara. Satu dari lima hakim yang menangani kasus ini, yakni Sri Murwahyuni, mengajukan dissenting opinion.

Putusan ini akhirnya menimbulkan pro kontra lantaran tidak diajukan terpidana. Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, menyebut putusan MA No. 97 PK/Pid.Sus/2012 itu salah satu potret buruknya penegakan hukum di Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi. (Baca: Upaya Hukum untuk Buronan Perlu Dibatasi).

Agar tidak tersesat dalam memutuskan suatu perkara, Emerson meminta hakim berhati-hati. Pengadilan harusnya menolak permohonan upaya hukum yang diajukan pihak yang tidak berhak. Putusan yang menyesatkan sangat merugikan penegakan hukum. Ia sependapat dengan Prof. Hibnu mengenai hak orang yang berstatus buron mengajukan upaya hukum. “Terdakwa atau terpidana yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang tidak dapat mengajukan peninjauan hukum ke pengadilan,” kata peneliti ICW itu.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Irawan, menyalahkan hakim yang memutus perkara itu karena kurang memperhatikan Pasal 263 KUHAP dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2012 yang mengatur mekanisme PK dalam perkara pidana. Ia menduga majelis hakim tak membaca utuh landasan hukum dan mekanisme PK.
Tags:

Berita Terkait