Kini, Penerjemah Tersumpah Boleh Praktik di Seluruh Penjuru Indonesia
Berita

Kini, Penerjemah Tersumpah Boleh Praktik di Seluruh Penjuru Indonesia

Sebelumnya hanya berlaku sektoral sejauh jangkauan SK Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Timur.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Hendra Andy Satya Gurning. Foto: NNP
Hendra Andy Satya Gurning. Foto: NNP
Jangkauan kerja para penerjemah tersumpah diperluas. Perluasan wilayah kerja hingga ke seluruh penjuru Indonesia itu menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah.

Kepala Sub Direktorat Hukum Perdata Umum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) pada Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Andy Satya Gurning, mengatakan bahwa penerjemah tersumpah yang telah diangkat dan diambil sumpahnya oleh Menteri Hukum dan HAM pasca aturan terbaru tersebtu dapat menerima permintaan (order) penerjemahan dari klien dimanapun.

“Seorang penerjemah (tersumpah) dalam Permenkumham ini bisa menerima order dari seluruh Indonesia,” kata Hendra saat diwawancarai hukumonline di kantornya.

Untuk diketahui, sebelum Permenkumham itu terbit, para penerjemah tersumpah diangkat dan diambil sumpahnya oleh Gubernur Kepala Daerah. Namun, tak semua Gubernur Kepala Daerah mengangkat mereka. Catatan Ditjen AHU, hanya ada dua Gubernur yang mengangkat dan menyumpah, yakni Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Timur. Saat ini, Menteri Hukum dan Ham yang akan mengangkat profesi penerjemah tersumpah. (Baca Juga: Penerjemah Tersumpah, Profesi ‘Peninggalan Kolonial’ yang Kembali Eksis)

Dikatakan Hendra, profesi penerjemah tersumpah lambat laun akan menjadi ‘profesi baru’ yang mandiri. Itulah sebabnya, Ditjen AHU merasa perlu membuat regulasi yang menjadi payung mengakomodir eksistensi mereka. Akan tetapi, Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016 mencoba ‘membatasi’ diri. Maksudnya, aturan ini sebatas menyandarkan pada formalitas administrasi profesi penerjemah tersumpah di Indonesia.

“Ini membuka peluang ke semua warga negara, karena Permenkumham ini kita berlalkukan secara nasional. Tidak berlaku sektoral seperti Gubernur DKI atau Gubernur Jawa Timur,” katanya.

Makanya, lanjut Hendra, Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016 diharapkan menjadi trigger bagi asosiasi profesi penerjemah, perguruan tinggi yang membuka fakultas ilmu budaya dan bahasa, serta Kemenristek Dikti untuk menyusun formula yang lebih teknis, seperti standar ujian kualifikasi penerjemah (UKP), pihak penyelenggara, serta passing grade yang menentukan seorang calon penerjemah tersumpah telah cakap untuk berpraktek.

“Karena Permen ini tidak mengatur sampai sejauh itu, kita menyandarkan pada formalnya saja, sepanjang ada orang kasih sertikat lulus ujian kualifikasi, itu akan kita proses permohonanya untuk diangkat dan disumpah,” tutur Hendra.

Terpisah, Sekretaris Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI), Rosmeilan K. Siagian menyambut baik Permenkumham Nomor 29 Tahun 2016 yang menjadi payung bagi profesi penerjemah tersumpah. Ia juga memberikan mengapresiasi lantaran terbitkan aturan tersebut menjadi bukti bahwa profesi yang telah ada sejak ‘zaman kolonial’ akhirnya diakui oleh pemerintah. (Baca Juga: Begini Isi Permenkumham Soal Penerjemah Tersumpah)

“Aturan baru ini buat HPI dari segi profesi penerjemah diakui oleh pemerintah, itu kami apresiasi,” kata Rosmeilan lewat sambungan telepon Senin (17/10).

Namun, agaknya HPI merasa kecewa lantaran tak dilibatkan dalam proses pembahasan hingga akhirnya aturan tersebut terbit dua bulan silam meski tidak diungkapkan secara gambang. Kata Rosmeilan, HPI baru dihubungi oleh Ditjen AHU menjelang detik-detik akhir aturan tersebut diteken oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. (Baca Juga: Penjelasan di Balik Larangan Advokat Merangkap Penerjemah Tersumpah)

Kepada hukumonline, Rosmeilan mengaku kalau sebetulnya HPI ingin memberikan sejumlah masukan penting terkait bagaimana dunia penerjemahan di Indonesia. Harapannya, ketika perspektif itu didengar, hal itu lebih berdampak buat profesi ini kedepannya. Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Namun, HPI masih terus berharap agar bisa berdiskusi dengan Ditjen AHU untuk memberi sedikit perspektif untuk aturan teknis lain di bawah Permenkumham tersebut.

“Kita bisa kasih masukan dari HPI ke aturan teknis. Teknisnya bisa diperjelas lagi setelah ada masukan dari kita,” katanya.

Membuka Diri
Masih dalam kesempatan yang sama, Ditjen AHU Kemenkumham mengakui kalau dalam proses pembahasan tidak melibatkan asosiasi profesi, yakni HPI. Dalam prosesnya, kata Hendra, akhirnya hanya mengundang sejumlah perguruan tinggi antara lain Univeristas Andalas, Universitas Udayana, Univeristas Indonesia, dan perguguan tinggi lain yang memiliki fakultas ilmu budaya dan bahasa.

“Kita bingung mau melibatkan siapa, karena sifatnya masih parsial dulu. Penerjemah banyak terhimpun, ada dimana-mana, dan berserak. Kita mau mengajak yang mana untuk menjadi tim penyusun. Kalau menunggu itu ngga jadi-jadi Permenkumhamnya,” sebut Hendra.

Alasan melakukan pembahasan dengan sejumlah perguruan tinggi yang memiliki fakultas ilmu budaya dan bahasa diharapkan disana ada banyak penerjemah tersumpah. Selain itu, alasan lainnya lantaran memang Ditjen AHU sangat concern terhadap individunya, bukan asosiasi profesi yang menaungi mereka. Akan tetapi, Hendra mengaku kalau Ditjen AHU telah menjalin komunikasi dengan HPI.

“Kalau mereka undang kita, kita siap. Kita siap beri masukan dan dukung asosiasi untuk meningkatkan kapasita dalam proses pengangkatan penerjemah tersumpah. Termasuk juga mengenai soal kualifikasi,” kata Hendra.

Tags:

Berita Terkait