Dirut Nilai Ada yang Janggal dalam Kepailitan Meranti Maritime
Berita

Dirut Nilai Ada yang Janggal dalam Kepailitan Meranti Maritime

“Jika bank asing yang diberi izin operasi di Indonesia dengan sengaja mempailitkan perusahaan nasional, maka efeknya terhadap perekonomian nasional akan sangat berbahaya”

Oleh:
ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Pengacara dari pihak debitur PT  Meranti Maritim dan Hendri Djauhari (Kiri) bejabat tangan dengan Pengurus Dudi Pramedi (Kana) seusai mendengarkan putusan oleh majelis hakim dalam sidang permohonan PKPU. dipengadilan Niaga Jakarta Pusat. Senin (22/8). Foto: RES
Pengacara dari pihak debitur PT Meranti Maritim dan Hendri Djauhari (Kiri) bejabat tangan dengan Pengurus Dudi Pramedi (Kana) seusai mendengarkan putusan oleh majelis hakim dalam sidang permohonan PKPU. dipengadilan Niaga Jakarta Pusat. Senin (22/8). Foto: RES
Direktur Utama PT Meranti Maritime, Henry Djuhari, menilai kepailitan PT Meranti Maritime melalui proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat janggal.

"Tujuan utama PKPU adalah perdamaian. Jika kreditur atau debitur memohon perlindungan hukum kepada Pengadilan Niaga untuk diberlakukan PKPU, seyogyanya pihak-pihak yang menginginkan PKPU ini akan berusaha sebaik mungkin agar terjadi perdamaian," kata Henry Djuhari di Jakarta, Rabu (19/10).

Menurut Henry, pada proses permohonan perlindungan hukum yang diajukan PT Meranti tidak diupayakan permberlakukan perdamaian, tapi malah dipailitkan. Dia mencurigai ada sesuatu pada PT Maybank Indonesia Tbk yang dinilainya dapat mempailitkan PT Meranti, meskipun hanya memiliki kredit kurang dari 30 persen.

PT Maybank, menurut dia, telah mempailitkan PT Dhiva Inter Sarana dan nasabahnya Richard Setiawan pada awal tahun 2015, serta baru-baru ini kembali mempailitkan PT Meranti Maritime dan nasabahnya Henry Djuhari.

Henry Djuhari menilai, tim kepailitan kedua perusahaan tersebut adalah orang yang sama dari kurator kemudian diusulkan Maybank menjadi pengurus debitor. "Ketika debitor telah menjadi pailit maka tim itu dikembalikan lagi menjadi kurator," katanya.

Menurut dia, proses kepailitan PT Meranti berlangsung cukup alot dan PKPU berlangsung maksimal hingga 270 hari. Dalam proses tersebut, menurut Henry, hanya Maybank yang tidak setuju proposal perdamaian, sedangkan semua kreditor lainnya setuju.

"Anehnya, Maybank yang jumlah kreditnya hanya sekitar 30 persen dari total kredit, tapi dapat mempailitkan PT Meranti," kata Henry.

Dia menjelaskan, mencermati kejadian pailit yang dialami PT Meranti serta PT Dhiva sebelumnya, maka muncul pertanyaan, apakah tujuan Maybank memang ingin mempailitkan nasabah. "Jika benar maka telah terjadi suatu ketidakadilan dan penyalahgunaan hukum, di mana sebenarnya PKPU adalah wadah perlindungan hukum kepada debitur untuk menawarkan perdamaian, bukan menjadikan PKPU sebagai wadah untuk mempailitkan debitur," katanya.

Henry menegaskan, jika bank asing yang diberi izin operasi di Indonesia dengan sengaja mempailitkan perusahaan nasional, maka efeknya terhadap perekonomian nasional akan sangat berbahaya. Dia juga menyayangkan, Undang Undang (UU) No.37 Tahun 2004 tentang PKPU dan Kepailitan yang dirancang untuk melindungi kepentingan debitur dan kreditur secara adil, telah disalahgunakan oleh pihak bank asing.

"Pengurus PKPU PT Meranti yang diusulkan Maybank, telah menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana yang dilakukannya selama masa PKPU itu tersebut. Saya jadi bertanya apakah tindakan mereka ini ada kaitannya dengan Maybank," katanya.

Persoalan PKPU PT Meranti ini telah disampaikan kepada Komisi III DPR RI yang kemudian menyatakan akan menindaklanjutinya, yakni akan segera memanggil pengurus PKPU dan PT Maybank.

Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 22 Agustus lalu, menetapkan PT Meranti Maritime dan Henry Djauhari dalam keadaan pailit, setelah sebelumnya mencoba memaksimalkan waktu PKPU selama 270 hari. Putusan pailit itu didasarkan pada laporan hasil voting kreditor yang disampaikan oleh Pengurus kepada Hakim Pengawas. (Baca Juga: Meranti Maritime Akhirnya Pailit)

Ketua majelis hakim Titiek Tedjaningsih mengatakan, proposal perdamaian yang diajukan debitor tidak dapat diterima karena tidak memenuhi kuorum sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) huruf b UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kuorum yang tidak terpenuhi berdasarkan ketentuan tersebut adalah proposal perdamaian diterima oleh setidaknya separuh dari jumlah kreditor separatis yang bersama-sama mewakili paling sedikit dua pertiga dari seluruh tagihan.

Sesuai ketentuan Pasal 289 UU No.37 Tahun 2004, apabila rencana perdamaian ditolak maka Hakim Pengawas wajib memberitahukan penolakan itu kepada Pengadilan dengan cara menyerahkan salinan rencana perdamaian serta berita acaranya, dan dalam hal demikian Pengadilan harus menyatakan Debitor Pailit.

"Sehingga cukup beralasan bagi majelis hakim untuk menetapkan para debitor dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya," kata Titiek dalam putusan.

Tags:

Berita Terkait