Akademisi Ini Bilang Orang Hukum Itu Penakut
Berita

Akademisi Ini Bilang Orang Hukum Itu Penakut

‘Kita akan sakit hati apabila hal itu terjadi’.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Anthon F. Susanto (kanan) di Semarang, Kamis (20/10). Foto: MYS
Anthon F. Susanto (kanan) di Semarang, Kamis (20/10). Foto: MYS
Apakah hukum itu benar-benar sebuah ilmu? Jawaban atas pertanyaan ini tak mudah karena hukum memiliki banyak wajah, sehingga bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun susah menjawabnya secara pasti, pertanyaan ini sering diajukan untuk membahas keilmiahan hukum.

Kalau hukum itu suatu ilmu maka ia harus punya metode-metode ilmiah sebagaimana layaknya ilmu yang lain. Jika tidak, maka untuk apa hukum diberi tempat di perguruan tinggi? Pertanyaan itu telah menimbulkan perdebatan di kalangan orang hukum. Sampai-sampai Carel Stolker, seorang akademisi Belanda, menganggap orang hukum itu penakut. Penakut dalam arti enggan duduk bersama dengan ilmuan lain membahas keilmiahan hukum.

Pernyataan Stolker bernada provokatif itu diungkapkan kembali Anthon F. Susanto saat tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional Hukum Spiritual Pluralistik yang diselenggarakan KEDHEWA dan Ikatan Sosiologi Hukum Indonesia di Semarang, Kamis (20/10). Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung itu membicarakan basis ontologis ilmu hukum kontemplatif.

Ia mengkritik sikap orang hukum yang hanya berani mengklaim hukum sebagai ilmu di kalangan orang hukum. Stolker berpendapat ilmu hukum harus mengikuti syarat-syarat yang ketat. Ilmu hukum harus memberikan jawaban paling benar.

Misalnya, seorang hakim yang ideal adalah yang bisa secara paripurna menelaah semua aspek dari persoalan yang dihadapkan kepadanya. Jika ia mampu melakukan itu, sang hakim bisa menemukan jawaban yang paling benar. Masalahnya, praktik hukum mengajarkan hal yang berbeda. Hukum memberikan peluang bagi semua orang rasional untuk berbeda pendapat dan berbeda kesimpulan untuk kasus yang sama. Di sinilah letak kritik Stolker, jika hukum tak bisa memberikan jawaban yang benar, masih layakkah hukum diberi tempat di universitas? “Kta akan sakit hati apabila hal itu terjadi,” jawab Anton.

Pernyataan Stolker itu sebenarnya tak lepas dari pengalaman dirinya berdiskusi dengan akademisi kimia saat fakultas hukum Universitas Leiden akan pindah ke bekas gedung laboratorium kimia. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Alam yang menjadi lawan bincang Stolker meragukan keilmiahan penelitian ilmu hukum. “Untuk menjaga suasana, saya coba menghindar,” kata Stolker, seperti dikutip Anthon.

Menurut Anthon F. Susanto, pesan penting cerita Stolker adalah agar ilmuan hukum tetap dapat mempertahankan keilmiahan ilmu hukum. Selain itu, para akademisi hukum harus mampu mengkomunikasikan keilmiahan ilmu hukum itu dengan ilmuan bidang lain. Dikatakan Anthon, pandangan Stolker tak sepenuhnya benar. Ada juga sarjana lain yang menolak pandangan Stolker. Karya Stolker diterjemahkan dan dipakai secara terbatas di lingkungan Universitas Parahyangan Bandung (Tentang Keilmiahan Ilmu Hukum, 2010).

9 Syarat
Stolker tak hanya asal bicara. Ia juga memberikan jalan keluar. Menurut akademisi Belanda ini ada 9 syarat yang harus dipenuhi jika ingin meningkatkan keilmiahan ilmu hukum.

Pertama, peneliti hukum harus memiliki cukup ambisi untuk melaksanakan inovasi. Kedua, harus lebih banyak perhatian pada personalitas peneliti. Ketiga, harus lebih banyak perhatian pada metode dan teknik penelitian. Keempat, ilmu hukum harus merupakan sistem yang terbuka. (Baca juga: Mau Jadi Sarjana Hukum Indonesia Berkarier Global? Ini Tipsnya).

Kelima, harus lebih banyak perhatian bagi pengembangan indikator penelitian yang lebih baik. Keenam, mengambil jarak dari mereka yang bukan ilmuan. Ketujuh, lebih banyak perhatian pada aspek penelitian empiris. Kedelapan, lebih banyak terlibat dalam debat internasional. Kesembilan, melakukan upaya-upaya menuju universitas scientiarum yang sesungguhnya.
Tags:

Berita Terkait