Jaksa Agung: Pelaku Pungli Bisa Dijerat UU Tipikor
Berita

Jaksa Agung: Pelaku Pungli Bisa Dijerat UU Tipikor

Ancaman pidananya minimal empat tahun penjara.

Oleh:
Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung Prasetyo mengatakan pungutan liar (pungli) dan suap merupakan dua hal berbeda. Ia menyebutkan, pungli itu adalah sepihak, biasanya para petugas atau penyelenggara pemerintahan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan meminta sesuatu yang berkaitan dengan kewenangannya. Karena itu, orang terpaksa memberikan karena kalau tidak diberikan uangnya tidak terlayani keperluannya.

“Sehingga di sini tentunya, mereka ini yang diminta pungli tidak perlu takut untuk melaporkan karena mereka cenderung menjadi korban,” kata Prasetyo sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id.

Lain halnya dengan suap, menurut Prasetyo, kalau suap dua pihak saling bekerja sama dan berkonspirasi, ada yang memberi dan ada yang menerima untuk tujuan tertentu. Karenanya, Jaksa Agung menegaskan, pungli hanya yang menerima dan meminta uang serta memeras, dan hal ini cenderung terjadi di mana-mana. “Ini yang harus diberantas,” ujarnya.

Mengenai konstruksi hukumnya, lanjut Prasetyo, pungli ini terkait dengan UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 12 huruf e. Pasal itu berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ancaman pidana minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. “Tentunya tidak bisa kita generalisir, harus kita lihatcase by case seperti apa,” jelas Prasetyo. (Baca Juga: Pungli Perburuk Indeks Persepsi Korupsi Indonesia)

Tapi intinya, lanjut Prasetyo, bagaimana pun pungli ini harus diberantas karena praktik pemerasan seperti ini orang mengatakan sudah membudaya, masif, dan menahun yang akhirnya tentunya banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Pertama, akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Kedua, bisa saja lalu lintas barang menjadi terganggu, penyelesaian perkara bertele-tele, putusan bisa dimainkan, dan sebagainya. “Ini semua harus diteliti satu per satu,” tegasnya.

Menurut Prasetyo, dasar hukum Operasi Pemberantasan Pungli nanti adalah Keppres (Keputusan Presiden), dan tentunya pemerintah sekarang bertekad untuk pungli ini diberantas. Ia juga mengemukakan, dalam rapat koordinasi tadi, Gubernur Sumsel juga mengusulkan agar Operasi Pemberantasan Pungli itu harus berkelanjutan, tidak boleh hanya sporadis, sebentar berhenti sebentar jalan lagi, harus berkelanjutan karena sudah begitu masifnya.

Menjawab pertanyaan wartawan tentang Satgas Sapu Bersih (Saber) Pungli, Prasetyo mengungkapkan satgas ini akan dipimpin oleh Menkopolhukam. “Anggotanya tentunya pihak  terkait, ada Polri, Kejaksaan, dan nantinya itu Gubernur juga akan dilibatkan pada saatnya,” jelas Prasetyo. (Baca Juga: BPN Nyatakan Perang Melawan Pungli)

Ia juga memastikan, anggota satgas ini tentunya dipilih orang-orang yang punya integritas, karena kalau mau menyapu bersih sapunya harus bersih. Adapun masa tugas tim adalah berkelanjutan sampai punglinya habis. Mengenai posisi Kejaksaan sendiri, nanti akan diatur. Tapi ia menjelaskan, kalau kasusnya sampai ke persidangan, kejaksaan akan bertindak sebagai penuntut.

Sebagai penyidik ini kalau tindak pidana umum itu polisi, tapi kalau dikaitkan dengan tindak pidana korupsi ya jaksa bisa masuk situ, bisa,” tutup Prasetyo.
Tags:

Berita Terkait