Begini Catatan DPR Terhadap Kinerja Pemerintah di Bidang Legislasi
Berita

Begini Catatan DPR Terhadap Kinerja Pemerintah di Bidang Legislasi

Sejumlah RPP dalam UU seperti Pemda nyaris tak kunjung rampung dibuat pemerintahan Jokowi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Dalam sistem presidensial, tugas legislasi pemerintah jauh lebih dominan ketimbang DPR. Penerjemah dan pelaksana dari sebuah undang-undang (UU) adalah pemerintah. DPR dan pemerintah hanya bekerja membuat UU. Sedangkan aturan pelaksana, petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) murni menjadi tugas dan kewenangan pemerintah.

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (21/10). Menurutnya, UU yang memiliki dampak luas bagi kehidupan masyarakat adalah UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).  Sementara warga negara hidup dalam satuan Pemda, pemerintah pusat dinilai tak memiliki warga dan teritorial.

Ironisnya, sejak UU Pemda diterapkan hanya satu aturan turunan berupa peraturan pemerintah (PP) disahkan. Padahal, pelaksanaan dari seluruh UU sektoral bermuara di Pemda. Menurutnya, UU Pemda merangkum dari sekuruh pelaksanaan UU yang bersifat sektoral. “UU 23/2014 tentang pemda mengamanatkan 30 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang wajib diselesaikan pemerintah dalam waktu 2 tahun setelah diundangkan,” ujarnya.

Fahri berpandangan, tanpa keberadaan 30 PP, maka seluruh UU lain tak dapat diterapkan. Sebaliknya, Juklak dan Juknis pelaksanaan UU oleh Pemda mesti diatur dalam PP dari UU Pemda. Menurutnya, per tanggal 2 Oktober 2016 adalah waktu terakhir bagi pemerintah menyelesaikan 30 RPP sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemda.

Namun hingga batas waktu dua tahun, pemerintah hanya dapat menyelesaikan 1 PP yakni PP No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dengan kata lain, setelah dua tahun UU disahkan, Pemda berjalan tanpa adanya aturan pelaksana. Ia menilai Revisi UU No.32 Tahun 2004 yang disahkan di penghujung jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhyono mengubah 80 persen fundamental sistem pemerintahan daerah.

“Pelimpahan wewenang dari kabupaten ke provinsi, provinsi ke pusat berubah 80 persen dari UU sebelumnya,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpendapat pelimpahan kewenangan tersebut membuat sistem perizinan pun berubah. Lagi-lagi, daerah tak mungkin membuat Peraturan Daerah (Perda) tanpa adanya PP. Dengan kata lain Kepala Daerah tak mungkin membuat Peraturan Kepala Daerah tanpa adanya Perda. Begitu pula Desa tak mungkin membuat peraturan desan (Perdes) tanpa adanya ketentuan peraturan yang lebih tinggi.

Dampaknya, investor dan pengusaha baka mengalami kebingungan ketika bakal mengurus perizinan. Sementara pemerintah daerah stagnan menyambut geliat perekonomian karena hanya persoalan kekosongan aturan pelaksana. “Sementara itu presiden sibuk membuat paket kebijakan ekonomi bertubi tubi, Pemda tak mungkin bisa merespon tanpa dasar aturan. Presiden sibuk mengurus pungli, sementara PP tentang pelayanan minimal di Pemda sebagai perintah Pasal 18 ayat (3) tak kunjung lahir,” katanya.

Fahri lebih lanjut berpandangan tak saja terkait perintah UU membuat 30 PP, namun dalam UU Pemda mengatur hajat hidup seluruh warga yang tak juga diselesaikan. Menurutnya suksesi kepemimpinan nasional pun terancam amburadul. Pasalnya, hingga kini 5 paket RUU politik yang mengatur nafas demokrasi tak kunjung dikirim pemerintah ke DPR.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstititusi dalam putusannya penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pilpres dilakukan di hari yang sama. Sementara kodifikasi UU Pemilu menjadi keharusan. Menurutnya, UU Pemilu mesti diselesaikan pembahasannya maksimal dua tahun sebelum Pemilu digelar. Begitu pula KPU dan Bawaslu membutuhkan waktu untuk menyusun peraturan pelaksana. (Baca Juga: Menakar Tantangan Perbaikan Pelaksanaan Fungsi Legislasi)

“Untuk itu, tersisa satu tahun bagi DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan UU Pemilu, namun sampai sekarang pemerintah belum mengirimkan draf,” ujarnya.

Menurutnya, menumpuknya puluhan RPP yang diperintahkan UU tak juga diselesaikan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi di tahun kedua. Pemerintah cederung sibuk mempromosikan Indonesia sebagai produsen dan pasar terbesar produk halal. Ironisnya, hingga November 2016 sebagai batas akhir terbentuknya Badan Pengelola Jaminan Produk halal belum juga terdapat PP sebagai aturan pelaksana.

Tak hanya itu, keberadaan UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kuangan Haji pun tidak maksimal. Padahal RPP pun belum teralaksana seluruhnya, malahan UU tersebut ingin diubah lagi. “Saya gemes dengan banyak hal, karena pemerintah sibuk di ujung dan di hulu, semua diabaikan. Kembalilah ke istana Pak Presiden. Berhentilah ‘jadi walikota’. Pemilu masih lama tuan Presiden. Teken dan buatlah peraturan teknis negara ini. Ini ujung 2016 dan pemilu di tengah 2019. Jangan terlalu cepat berfikir pemilihan lagi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait