Uti Possidetis Juris, Prinsip yang Digunakan Indonesia untuk “Menjaga” Papua
Berita

Uti Possidetis Juris, Prinsip yang Digunakan Indonesia untuk “Menjaga” Papua

Selain itu, right to self determination (hak menentukan nasib sendiri) hanya boleh dilakukan sekali dan untuk selamanya.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Suasana Kuliah Umum yang disampaikan oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa Yuri O Thamrin di Kampus Pascasarjana Universitas Indonesia,  Jakarta, Rabu (18/10).
Suasana Kuliah Umum yang disampaikan oleh Dubes RI untuk Kerajaan Belgia, Luxemburg dan Uni Eropa Yuri O Thamrin di Kampus Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (18/10).
Isu Papua kerap menjadi persoalan tersendiri bagi para duta besar Republik Indonesia di luar negeri, terutama mereka yang ditugaskan di negara-negara barat. Tuduhan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, hingga yang lebih ekstrem, desakan Papua merdeka sering terdengar dari sana. Nah, di sinilah dituntut kelihaian para duta besar untuk ‘menjaga’ Papua dari rongrongan pihak asing. 

Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Kerjaan Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Yuri O Thamrin mengaku sudah memegang ‘amunisi’ berupa prinsip hukum internasional ketika harus berhadapan dengan isu Papua.

“Saya selalu berpegang pada prinsip Uti Possidetis Juris,” ujarnya dalam Kuliah Umum yang disampaikan di Kampus Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Rabu (19/10). (Baca Juga: Problem Diplomatik dan Pelanggaran HAM di Papua).

Yuri menjelaskan bahwa prinsip Uti Possidetis Juris ini digunakan untuk menentukan batas wilayah sebuah negara yang sebelumnya dijajah. Yakni, batas wilayahnya mengikuti batas wilayah ketika negara tersebut masih dijajah. Artinya, untuk konteks Indonesia, batas wilayahnya mengikuti batas wilayah ketika masih berstatus Hindia Belanda.
Dengan logika semacam ini, lanjutnya, maka Papua yang dahulu berada dibawah jajahan Belanda (dan wilayah Hindia Belanda), maka sudah sepatutnya Papua menjadi bagian dari Indonesia ketika deklarasi kemerdakaan disampaikan. (Baca Juga: Penyebab Terorisme di Eropa, dari Bullying Hingga Salah Ngaji).

Yuri mengungkapkan prinsip Uti Possidetis Juris ini sudah menjadi dasar argumen sejak para founding fathers mempersiapkan kemerdekaan. Kala itu, ia menjelaskan terjadi perdebatan antara Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta. “Yamin bilang bahwa batas wilayah Indonesia itu sampai ke wilayah Thailand sekarang karena mengikuti bekas wilayah Majapahit,” tuturnya.

Sedangkan Muhammad Hatta, jelasnya, berprinsip bahwa wilayah Indonesia yang akan merdeka tidak akan seluas itu. Wakil Presiden Indonesia pertama ini menggunakan prinsip Uti Possidetis Juris tersebut sebagai salah satu alas argumennya. “Hatta bilang tidak, wilayah kita mengikuti bekasi wilayah (Hindia,-red) Belanda,” ujarnya. (Baca Juga: Ini Lawyer yang “Berbahaya” Menurut Dubes RI untuk Uni Eropa).

Self Determination
Selain itu, Yuri mengaku juga kerap meluruskan pemahaman mengenai desakan right to self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri) yang sering disampaikan untuk isu Papua di luar negeri. Hak untuk menentukan nasib sendiri memang diatur di dalam sejumlah konvensi atau perjanjian hukum internasional.

Namun, lanjut Yuri, pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri ini hanya bisa dilakukan sekali dan untuk selamanya. Ini mengacu kepada kebiasaan hukum internasional. “Self determination kita itu sudah selesai, pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Itu sekali dan untuk selamanya. Negara yang sudah berdiri nggak bisa dipecah lagi,” jelasnya. (Baca Juga: 8 Isu Ini Dinilai Belum Jadi Prioritas Jokowi-JK).

Oleh karena itu, Yuri yakin bahwa berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, rongrongan pihak asing atas isu Papua bisa diatasi. Apalagi, di forum internasional, Indonesia memiliki banyak teman. Ini berbeda dengan delegasi negara Vanuatu yang sering mengangkat isu Papua di forum internasional. “Delegasi Vanuatu itu kalau reses nggak ada teman. Dia hanya duduk di pojokan sendiri,” ujarnya.

Meski begitu, Yuri mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus terus menjaga situasi dan keamanaan di Papua agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. 

Sementara itu, dalam artikel yang diterbitkan situs Free West Papua, Politisi asal Papua Nugini Powes Parkop punya pendapat berbeda. Ia menuturkan bahwa self determination bisa saja kembali dilakukan pasca deklarasi kemerdekaan, bila memang terbukti ada diskriminasi dan penindasan terhadap sekelompok masyarakat. (Baca Juga: Anggota Brimob Penembak Warga Papua Terancam Pidana).

Dua negara, Bangladesh dan Eritrea, sudah terbukti memperoleh keuntungan ini. Bangladesh “berpisah” dari Pakistan, setelah sebelumnya Pakistan merdeka dari India.  “Pemisahan diri Bangladesh dari (Pakistan Barat) mengilustrasikan kemungkinan adanya self determination dalam situasi setelah post colonial,” sebutnya.
Tags:

Berita Terkait