Menyelami Pemikiran Prof. Esmi Warassih
Utama

Menyelami Pemikiran Prof. Esmi Warassih

Selama 40 tahun berkiprah di dunia hukum, Esmi Warassih, ikut berperan mengembangkan, merawat, dan melanjutkan hukum yang membebaskan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Prof. Esmi Warassih menyerahkan nasi tumpeng kepada salah seorang muridnya Martha Pigome, dosen Uswim Nabire Papua, di Semarang, Jum'at (21/10). Foto: MYS
Prof. Esmi Warassih menyerahkan nasi tumpeng kepada salah seorang muridnya Martha Pigome, dosen Uswim Nabire Papua, di Semarang, Jum'at (21/10). Foto: MYS
Nasi tumpeng dibagikan kepada satu per satu muridnya. Lagu selamat ulang tahun mengiringi. Hari itu, Jum’at 21 Oktober 2016, Esmi Warassih memang sedang berulang tahun. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, itu didaulat untuk memotong tumpeng sebelum acara Seminar Nasional Hukum Spiritual Pluralistik dilanjutkan.

Esmi Warassih adalah seorang murid sekaligus asisten penggagas hukum progresif, Satjipto Rahardjo. Ia tak hanya dianggap mewarisi pemikiran dan mengikuti pergulatan pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo; tetapi juga mengembangkan pemikiran tentang hukum spiritual pluralistik. (Baca: Maestro Hukum Progresif Itu Telah Tiada). 

Tentu bukan nasi tumpeng saja yang membuat hari itu spesial bagi Prof. Esmi. Seminar nasional selama ini dua hari itu justru sengaja digelar murid-muridnya sebagai ‘hadiah’ kepada sang guru. Sejumlah muridnya dari berbagai perguruan tinggi, dari Aceh sampai Papua, hadir di perhelatan itu. Mereka mencoba membahas perkembangan pemikiran Prof. Esmi Warassih selama pengabdiannya di bidang hukum.

Apa arti 40 tahun berkiprah di dunia hukum bagi Esmi Warassih? Dalam sebuah perbincangan dengan hukumonline, Prof. Esmi menyebut bagaimana murid-muridnya datang meminta agar dibuatkan sebuah acara memperingati 40 tahun pengabdian di bidang hukum. “Saya juga sempat tanya buat apa? Saya bilang saya belum berbuat apa-apa, belum berprestasi apa-apa,” ujarnya merendah.

Tetapi para mahasiswa berusaha meyakinkan bahwa selama 40 tahun pengabdian di bidang hukum Prof. Esmi sudah melakukan banyak hal, menyampaikan pandangan-pandangan tentang hukum. Pandangan-pandangan itulah yang disebut mahasiswanya sebagai hukum spiritual pluralis.

Spiritual Pluralis
Di mata murid-muridnya, Esmi Warassih mengembangkan hukum spiritual pluralis dengan menggunakan lensa kontemplasi. Itu antara lain bisa dilihat dari tulisannya berjudul ‘Ilmu Hukum Kontemplatif (Surgawi dan Manusiawi) yang termuat dalam buku Penelitian Hukum Interdisipliner, Sebuah Pengantar Menuju Socio-Legal. Buku itu diterbitkan murid-muridnya yang membentuk sebuah kelompok diskusi bernama Kedhewa (Kelompok Diskusi Hukum Esmi Warassih).

Esmi Warassih menyatakan hukum dalam perkembangannya haruslah terbuka terhadap segala perubahan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yang dinamis. Ia mengembangkan hukum kontemplatif yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual pluralis. Oleh karena hukum lahir dan berkembang di masyarakat yang dinamis, maka ilmu hukum seharusnya juga membuka diri terhadap ilmu sosial, bahkan mungkin ilmu eksakta.

Dalam setiap wejangan hukumnya, Esmi Warassih sering mencerminkan nilai-nilai keluhuran yang hadir sebagai hasil kontemplasi antara pengalaman hidup dan pengalaman agama. Pengalaman hidup yang beragam dan dinamis ikut membentuk pemikiran Esmi. Lahir di Solo, 21 Oktober 1951, Esmi kecil sudah pindah bersama keluarganya ke Manado. Memasuki sekolah dasar, keluarganya justru berpindah ke Malang. Begitu kelas 3 dan 4, ia pindah ke Cirebon. Di kelas 5 SD, ia pindah ke Semarang, hingga merampungkan sekolah menengah atas.

Pengalaman hidup berpindah-pindah itu mengajarkan satu hal, bahwa kita di Indonesia ini begitu plural. Bukan saja dalam arti agama, tetapi juga daerah, wilayah, budaya, dan kondisi sosial ekonomi. Menikah dengan, H. Abdullah Sodiq, seorang pria yang berasal dari keluarga pesantren juga turut mempengaruhi pandangan Esmi. “Kami sering berdiskusi,” kenang Prof. Esmi.

Kali lain, ketika mengajar di Universitas Brawijaya Malang, Esmi sering ikut berdiskusi dengan teman-teman berlatar belakang ilmu lain di luar hukum. “Saya senang karena diskusinya ternyata filsafat banget,” ujarnya kepada hukumonline dalam perbincangan ditemani teh manis di lantai enam kampus Pascasarjana Undip, Pleburan, Semarang.

Jarot Jati BS, murid Prof. Esmi yang juga Ketua Panitia Seminar Nasional Hukum Spiritual Pluralistik, menulis hukum spiritual pluralis memiliki dua segi. Segi pertama, hukum yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Segi kedua, hukum yang bersegikan nilai budaya. Segi hukum yang berlandaskan nilai spiritual dalam pemikiran Esmi erat hubungannya dengan konsep keyakinan. Segi budaya dalam pemikiran Esmi banyak dipengaruhi penjelajahannya pada budaya hukum. Ia telah berkunjung ke banyak komunitas masyarakat tradisional. Di sana ia menemukan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya, yang punya keterikatan kuat dengan alam ciptaan Tuhan.

Kalangan hukum perlu belajar dari masyarakat tradisional yang hidupnya begitu spiritual pluralistik. “Kita perlu belajar bagaimana mereka memperlakukan air, memperlakukan pohon, da memperlakukan tetangga,” kata ibu dua anak ini.

Hukum untuk Manusia
Esmi Warassih dikenal sebagai murid dan asisten Prof. Satjipto Rahardjo. Begitu lulus pada 1975 dari Fakultas Hukum Undip, ia diminta mengabdi. Setahun kemudian statusnya berubah menjadi pengajar tetap. Suatu hari, Esmi menjadi salah seorang pembicara seminar memperingati Hari Ibu. Moderatornya Prof. Satjipto. Saat memberikan pengantar untuk acara itulah, Prof. Tjip memperkenalkan Esmi Warassih sebagai asistennya. “Saya kaget,” kata Prof. Esmi kepada hukumonline.

Prof. Tjip dikenal sebagai penggagas hukum progresif. Asumsi dasar gagasan ini adalah hukum untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melaikan selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making). Tetapi pada hakikatnya hukum itu dibuat untuk membebaskan manusia.

Esmi Warassih mengajukan pertanyaan lebih lanjut atas gagasan itu: manusianya seperti apa? Pendalaman mengenai manusia itulah yang mengantarkan Esmi ke filsafat kemanusiaan, dan mempelajari hati manusia dari pandangan al-Ghazali dan ajaran agama (Islam). Apakah kalau hati manusia diisi yang jelek-jelek maka tampilannya juga akan jelek; sebaliknya jika diisi dengan yang baik-baik maka tampilan luarnya akan baik? Ketika Esmi Warassih ‘menggeser’ asumsi hukum untuk membebaskan manusia itu kepada anasir manusianya, maka jawabannya harus dikembalikan kepada Yang Menjadikan Manusia.

Manusia adalah yang membuat, menjalankan dan menegakkan hukum. Hukum itu dibuat untuk membebaskan manusia. Jika ada hukum yang tidak berjiwa ‘membebaskan’, maka hukum itulah yang harus diubah. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan bisa saja punya rumusan yang indah dan bagus sebagai teks, tetapi ia dijalankan oleh manusia. Aparat penegak hukum hakikatnya tahu peraturan, namun pelanggaran hukum bisa saja dilakukan aparat penegak hukum. Karena itu melihat hukum tak hanya melihat peraturan yang dogmatik. Hukum harus dilihat juga dalam bentuk perilaku di masyarakat.

“Saya merasa bahwa memahami hukum itu tak bisa disederhanakan, atau tidak sesederhana yang orang pikirkan. Seolah-olah kalau sudah tahu peraturan berarti sudah mengerti hukum,” ujarnya. “Belajar hukum itu harus total, total sebagai manusia,” sambung akademisi yang pernah berguru kepada ahli pidana Prof. Sudarto itu.

Untuk memahami pemikiran Prof. Esmi secara utuh tentu tak bisa dilakukan hanya dengan melihat bagaimana murid menggambar gurunya. Pandangannya bisa dilihat dalam beberapa karya yang tersebar baik karya sendiri maupun bersama dengan orang lain. Misalnya, Hukum dalam Perspektif Sosial  (1981), Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis (2005, 2014), Negara Hukum yang Berkadilan (Bagir Manan, 2011), Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia (2012), dan Monograf Ilmu Hukum (2014).

Prof. Suteki, pengajar Fakultas Hukum Undip, secara berkelakar menyebut hanya Prof. Esmi yang bisa menafsirkan bagaimana pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan hukumnya selama ini. Rektor Universitas Diponegoro, Yos Johan Utama percaya, di tengah globalisasi yang tak mungkin dihindari, cara berhukum yang spiritual pluralis-lah yang akan bertahan. “Yang akan unggul adalah yang bernilai spiritual,” katanya saat membuka seminar tribute to Prof. Esmi Warassih itu.
Tags:

Berita Terkait