Untuk mengetahui bagaimana aparat penegak hukum bergerak melewati logika hukum positif itu, lebih baik membaca langsung dari guratan pena atau cerita para pelakunya langsung. Begitulah kira-kira semangat yang ingin ditunjukkan sebuah buku baru karya Yudi Kristiana, seorang jaksa.
Diterbitkan Thafa Media, Oktober 2016, ‘Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif’ adalah karya terbaru jaksa yang pernah bertugas di KPK (2011-awal 2016) itu. Buku ini memang benar-benar fresh. “Ya, ini yang terbaru,” kata Yudi saat bertemu hukumonline di sela-sela Seminar NasionalHukum Spiritual Pluralitik di Semarang, Jum’at (21/10). Di luar acara itulah buku karya Yudi ini diperjualbelikan.
Judul | Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perspektif Hukum Progresif |
Penulis | Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum. |
Cetakan pertama | Oktober 2016 |
Penerbit | Thafa Media, Yogyakarta |
Halaman | 157 + x |
Yudi bisa dibilang seorang jaksa yang berprestasi secara akademik. Pria kelahiran Karanganyar 15 Oktober 1971 itu lulus dari program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan predikat cumlaude. Di dunia tulis menulis, ini bukan karya pertama Yudi.
Salah satu ‘tradisi akademis’ yang tetap dipertahankan Yudi adalah meneruskan gagasan hukum progresifyang dilontarkan gurunya, Prof. Satjipto Rahardjo. Yudi menggunakan kacamata hukum progresif dalam beberapa karyanya seperti Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi (MTI, 2011); dan ‘Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif’. Kacamata demikian membawa para penstudi menganut prinsip yang sering disebut Prof. Tjip: ‘biarlah seribu bunga berkembang’ (hal. 2).
Yudi termasuk seorang murid Prof. Tjip yang gelisah. Masuk ke KPK, lembaga yang disegani dalam pemberantasan korupsi, tak membuat kegelisah Yudi hilang. Sebaliknya, makin menjadi-jadi. Karena meskipun sudah berada dalam institusi yang begitu disegani di negeri ini, tetap ada kekuatan kekuasaan yang ingin KPK lenyap; melihat KPK sebagai ancaman. Bagaimana mungkin seorang pemimpin negara ini yang mengklaim punya program pemberantasan korupsi, tetapi bersedia menjadi saksi yang meringankan bagi seorang terdakwa korupsi. Jika kita sudah permisif terhadap kasus korupsi, maka kita akan melihat sebuah kejahatan yang semakin sulit diberantas (hal. 28).
Sebagai seorang yang berasal dari korps adhyaksa, Yudi percaya ‘jaksa adalah figur penentu dalam penanganan perkara korupsi’. Karena itu, kehadiran jaksa yang berani membuat terobosan menjadi kunci keberhasilan dalam pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, kita butuh jaksa-jaksa yang berani membuat terobosan (hal. 23-24). Jaksa progresif adalah jaksa-jaksa yang menggunakan pendekatan hukum progresif.
Buku setebal 157 halaman ini sebenarnya berisi banyak hal seputar pemberantasan korupsi. Baik berupa problema perundang-undangan maupun praktik di lapangan, seperti bagaimana mengoptimalisasi pidana tambahan atau bagaimana lembaga-lembaga penunjang pemberantasan korupsi (semisal BPK, BPKP, PPATK, dan LPSK) berperan. Dan, masih banyak sisi lain yang coba dicatat Yudi berdasarkan pengalamannya, terutama saat bertugas jaksa di KPK.
Hasil ‘semedi’ yang ditulis berdasarkan pengalaman inilah yang pada akhirnya bisa memperkaya pengetahuan pembaca. Mungkin saja catatan Yudi ini bisa mengugah publik untuk ikut terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Minimal, seperti ditulis Yudi, ia bisa menyemai benih-benih hukum progresif. Dalam optik ini, hukum selalu berkembang dan terus berkembang (law in the making). Benih dalam persemaian itu bisa tumbuh jika semakin banyak orang yang membaca buku ini.
Selamat berselancar ke dalam hukum progresif!