MK ‘Perlonggar’ Makna Perjanjian Perkawinan
Utama

MK ‘Perlonggar’ Makna Perjanjian Perkawinan

Meskipun sebagian besar permohonannya ditolak, pemohon merasa putusan ini sudah sesuai harapan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ike Farida (tengah) bersama pengacaranya di sidang MK. Foto: ASH
Ike Farida (tengah) bersama pengacaranya di sidang MK. Foto: ASH
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi sejumlah pasal UU No. 5 Tahun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan (UUP) yang dimohonkan pelaku kawin campur, Ike Farida. Mahkamah hanya mengabulkan uji materi Pasal  29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan. Sementara permohonan uji atas Pasal 21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UUP ditolak.

Mahkamah dalam putusannya bernomor bernomor 69/PUU-XIII/2015 ini memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), (4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait perjanjian perkawinan. Mahkamah memperluas makna perjanjian perkawinan yang pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan.

Dalam amarnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 29 ayat (1) UUP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Pasal 29 ayat (3) UUP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan’. Sedangkan, Pasal 29 ayat (4) UUP inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.’

Ike Farida, pelaku perkawinan campuran, memohon pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA terkait syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB yang hanya boleh dimiliki WNI dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan  harta bersama. Penyebabnya, WNI yang menikah dengan WNA tak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB karena terbentur aturan Perjanjian Perkawinan dan Harta Bersama.

Pasal 21 ayat (3) UUPA memberi hak kepada WNA mendapat HM karena warisan atau percampuran harta karena perkawinan. Namun, bagi WNI dalam perkawinan campuran dapat mempunyai HM “sejak diperolehnya hak” itu. Selanjutnya, HM itu harus dilepaskan (dijual kembali) dalam waktu satu tahun sejak diperolehnya HM itu.

Menurut Pemohon, siapapun WNI yang menikah dengan WNA selama mereka tidak punya perjanjian pemisahan harta tidak akan pernah bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Kalaupun ada WNI kawin campur memiliki perjanjian pemisahan harta, ia tetap tidak bisa membeli rumah karena ada kewajiban melepaskan hak tersebut dalam setahun.

Menurut Mahkamah, Pasal 29 UU Perkawinan hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan. Padahal, faktanya ada fenomena suami istri karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dengan akta notaris.

Menurut Mahkamah, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (1), frasa “...sejak perkawinan dilangsungkan” pada Pasal 29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” pada Pasal 29 ayat (4) UUP membatasi kebebasan dua orang individu kapan akan membuat ‘perjanjian’. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon.

“Dengan demikian, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) UU 1/1974 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan,” ujar Hakim Konstitusi Wahidudin Adams saat membacakan pertimbangan putusan.

Tekankan asas nasionalitas
Saat mempertimbangkan Pasal 21 ayat (1), (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA terkait syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB  yang hanya boleh dimiliki WNI, Mahkamah menegaskan UUPA menganut asas nasionalitas. Artinya, hanya WNI yang mempunyai hak milik atas tanah yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi (tanah), air, dan ruang angkasa yang tidak membedakan antara laki-laki dan wanita serta sesama warga negara.

Mahkamah mengingatkan asas nasionalitas termuat dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 9, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (1) UUPA. Pasal 9 UUPA, misalnya, memberi penegasan hanya WNI yang berhak memiliki tanah di Indonesia, sedangkan warga negara asing (WNA) atau badan usaha asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah secara, seperti hak pakai.

“Pemberlakuan asas nasionalitas ini sangat penting sebagai jaminan hak-hak WNI terhadap hal yang berkaitan dengan sistem pertanahan dan pembatas hak-hak WNA terhadap tanah di Indonesia,” lanjutnya.

Dasar pemikiran yang terkandung dalam UUPA ini dinilai masih tetap relevan dihubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini meski hubungan sudah bersifat global dan saling tergantung dan dalam kondisi kapital (modal) memegang peran yang dominan. “Ini secara otomatis mencegah penguasaan tanah oleh pihak asing pemilik kapital yang pada gilirannya dapat mengancam dan menggerogoti kedaulatan negara.”

Mengenai frasa “warga negara Indonesia” dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA dimaknai WNI tanpa terkecuali dengan segala status perkawinan baik WNI yang tidak kawin, WNI yang kawin dengan sesama WNI, dan WNI yang kawin dengan WNA, menurut Mahkamah justru akan mempersempit pengertian WNI seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

“Apabila konstruksi pemikiran Pemohon diikuti justru akan merugikan banyak pihak, yang dalam batas-batas tertentu termasuk Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA tidak beralasan menurut hukum.”

Usai persidangan, Ike Farida menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada MK. Baginya, meski sebagian besar ditolak, tetapi putusan ini sudah sesuai harapan Pemohon. Intinya, penormaan perjanjian kawin harus dibuat sebelum atau saat perkawinan inkonstitusional. “Pemaknaan WNI sesuai harapan juga, karena orang-orang seperti saya (pelaku kawin campur, red) termasuk WNI,” kata Ike di Gedung MK.

Dia menjelaskan putusan Pasal 29 UUP tidak hanya menyangkut pasangan perkawinan campuran, tetapi semua perkawinan biasa. “Pasangan nonkawin campur bisa ‘menikmati’ putusan ini. Jadi, setiap pasangan perkawinan kapan saja bisa membuat perjanjian kawin ketika dibutuhkan,” lanjutnya.

Menurutnya, implikasi positif putusan ini bagi para pelaku kawin campur bisa membeli hak atas tanah berupa HM dan HGB tanpa harus bercerai dulu dengan pasangannya. Sebab, selama ini “disiasati”, ketika WNI kawin campur hendak membeli rumah disarankan bercerai dulu, lalu membuat perjanjian perkawinan (pemisahan harta), kemudian menikah lagi. Atau dengan perjanjian nominee, artinya jual beli tanah atas nama orang lain.   

“Perjanjian Perkawinan dibuat di hadapan notaris, terus ke Catatan Sipil, dan Pengadilan Negeri,” katanya.
Tags:

Berita Terkait