Temuan Dokumen Lippo di Rumah Nurhadi: Minta Hakim "Friendly" Hingga Tolak PK
Berita

Temuan Dokumen Lippo di Rumah Nurhadi: Minta Hakim "Friendly" Hingga Tolak PK

Nurhadi justru mempertanyakan dari mana dokumen-dokumen itu berasal.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat dengan terdakwa Edy Nasution di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/10).
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat dengan terdakwa Edy Nasution di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (26/10).
Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dzakiyul Fikri mengonfrimasi sejumlah barang bukti dokumen yang disita penyidik dari kediaman mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Pasalnya, banyak dokumen yang berkaitan dengan perkara Lippo Group. Bahkan, ada sejumlah dokumen dalam kondisi sobek dan basah saat ditemukan penyidik.

Dokumen-dokumen itu pun telah ditunjukan kepada Nurhadi saat proses penyidikan. Dzakiyul mengungkapkan, salah satunya adalah barang bukti satu lembar print out tertulis "pointer" yang mencantumkan adanya gugatan PT Mustika terhadap perusahaan yang disingkat DV terkait pekerjaan pengadaan barang. Gugatan PT Mustika, disebut dalam dokumen, bertujuan menarik First Media (grup Lippo) agar ikut bertanggung jawab.

Kemudian, di bagian lain dokumen yang tertulis "status", First Media disebut telah mendaftar dan mengajukan kasasi. Termuat juga keterangan bahwa berkas kasasi sudah dikirimkan ke MA pada 30 Januari 2016. Selain tulisan-tulisan itu, dokumen tersebut memuat pula satu klausul di bagian "bantuan yang diperlukan", yakni memohon petunjuk, hakim majelis yang friendly.

Menurut Dzakiyul, masih ada barang bukti lainnya dengan format serupa. "Ada juga perkara Astro ajukan PK, nota penetapan non eksekutorial yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Bantuan yang diperlukan 'tolak PK'. Ada juga PK eksekuator sela kompetensi putusan SIAC (Singapore International Arbitration Centre). Berkaitan dengan perkara Astro dan First Media. Bantuan yang diperlukan 'tolak PK'," katanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (26/10). (Baca Juga: Memo untuk ‘Sang Promotor’, Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group)

Sebagaimana diketahui, buntut dari sengketa Astro dan pihak Lippo Group, pada 2008, Astro Group mengajukan permohonan arbitrase terhadap PT Ayunda Prima Mitra (dahulu grup Lippo), First Media, dan PT Direct Vision atau DV (dahulu sahamnya dimiliki First Media melalui PT Ayunda) di SIAC. Hingga akhirnya terbit beberapa putusan dari SIAC yang diantaranya memerintahkan pembayaran kepada Astro.

Putusan-putusan itu didaftarkan di PN Jakarta Pusat agar dapat dieksekusi di Indonesia. Namun, pada 11 September 2012, PN Jakarta Pusat telah mengeluarkan penetapan yang isinya menyatakan putusan SIAC tidak dapat dilaksanakan (non eksekuator) di Indonesia. Atas penetapan itu, Astro mengajukan kasasi ke MA, tetapi pada 26 Maret 2013, MA menolak kasasi yang diajukan Astro. Sengketa itu pun masih berlanjut.

Atas penemuan dokumen-dokumen perkara Lippo Group yang disampaikan Dzakiyul, Nurhadi yang menjadi saksi dalam sidang perkara suap mantan PN Jakarta Pusat Edy Nasution, justru mempertanyakan dari mana asal dokumen-dokumen tersebut. Nurhadi mengaku hanya mengetahui dua dokumen, yaitu dokumen putusan Bank Danamon dan PT Kymco. Kedua dokumen itu ia temukan tersimpan dalam dua map coklat di rumahnya, sehari sebelum penggeledahan KPK pada 19 April 2016.

"Jadi, saya tidak pernah menerima dokumen-dokumen lain, selain yang dua itu, satunya Bank Danamon dan satunya yang saya baca (atasnya ada tulisan Kymco). Tidak ada nama pengirim dan penerima. Itu ada di lantai dua, di tempat biasanya surat-surat undangan, dan lain-lain. Saya lihat sambil jalan, saya masuk kamar, karena itu perkara, langsung saya sobek. Sama dengan yang Bank Danamon," ujarnya.

Selanjutnya, Nurhadi mengaku, membuang sobekan dokumen-dokumen itu ke tempat sampah di kamarnya. Ia menjelaskan, sobekan-sobekan dokumen itu menjadi basah karena terkena tumpahan air dalam botol-botol mineral yang dibuangnya ke tempat sampah. Namun, jawaban Nurhadi ini justru memunculkan pertanyaan baru dari Dzakiyul. Sebab, sobekan dokumen yang basah itu bukan ditemukan di tempat sampah, melainkan disembunyikan di dalam baju istri Nurhadi, Tin Zuraida, saat berpindah dari kamar satu ke kamar lainnya. (Baca Juga: “Jurus” Bungkam Istri Nurhadi Saat Ditanya Soal Penggeledahan)

Menjawab pertanyaan Dzakiyul, Nurhadi berdalih jika dokumen yang basah itu berasal dari tempat sampah di kamar mandi. Nurhadi menceritakan, saat pintu rumahnya diketuk penyidik tengah malam, ia sedang sakit buang-buang air. Tin pun juga buang air setelah Nurhadi. Tin melihat sobekan-sobekan dokumen di tempat sampah kamar mandi. "Dia tanya, 'Lho, Pa ini apa?'. Itu fotocopy putusan Danamon saya sobek-sobek. Spontan, karena ini antara sadar atau tidak, dua genggam kalau tidak salah, Nyonya saya membawa. Saya tidak mengerti dimasukan di baju atau apa, tapi itu dibawa," kisahnya.

Terkait dengan permintaan-permintaan bantuan yang tertera dalam dokumen, seperti "hakim friendly" dan "tolak PK", Nurhadi menegaskan sama sekali tidak tahu. Ia merasa tidak pernah menerima dan membaca dokumen tersebut. Ia tidak tahu dari mana asal dokumen-dokumen itu. Nurhadi menyatakan dirinya tidak punya kapasitas untuk menunjuk hakim/majelis, apalagi mencampuri urusan perkara.

Nurhadi juga membantah pernah membantu pengurusan perkara terkait Lippo Group, yaitu penundaan teguran (aanmaning) perkara niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Kwang Yang Motor Co Ltd (Kymco) dan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) melawan First Media. Begitu pula dengan perkara sengketa tanah anak usaha PT Paramount Enterprise Internasional (PEI), PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC).

Sesuai dakwaan penuntut umum, perkara-perkara tersebut dibantu pengurusannya di tingkat PN Jakarta Pusat oleh Edy Nasution. Di tingkat MA, Lippo Group disebut berhubungan dengan Nurhadi. Adapun pihak yang disebut berhubungan dengan Nurhadi adalah Eddy Sindoro selaku Presiden Komisaris yang membawahi sejumlah anak perusahaan, PT JBC, PT PEI, PT MTP dan AAL. Bahkan, Nurhadi disebut pernah menelepon Edy meminta percepatan pengiriman berkas ke MA.

Walau membantah membantu pengurusan perkara-perkara tersebut, Nurhadi mengaku berteman dengan Eddy. Nurhadi sudah mengenal Eddy sejak SMU. Selaku teman, Nurhadi pernah juga mendengar keluh kesah Eddy mengenai perkara Kymco. Namun, ia tidak pernah menggubris semua hal yang berkaitan dengan perkara. Ia hanya mengaku pernah satu kali menghubungi Edy Nasution melalui telepon, meminta percepatan pengiriman berkas terkait Eddy ke MA. (Baca Juga: Merangkai Kepingan ‘Puzzle’ Nurhadi, Bos Paramount dan Lippo Group)

"Akan tetapi, saya tidak menyebut suatu case yang khusus. Cuma, itu kok punyanya Pak Eddy (Sindoro) belum dikirim-kirim dari PN ke MA. (Mengapa harus menghubungi Edy?) Coba dipahami betul terkait tugas fungsi saya. Salah satunya fungsi saya itu, pembinaan administrasi peradilan. Itu berlaku untuk semua lingkungan (peradilan). Ada juga fungsi pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dalam pelaksanaan tugas," terangnya.

Nurhadi menerangkan, pelayanan prima ini sejalan dengan azas sederhana, cepat, dan biaya ringan. "Maka, jangankan itu teman, orang lain saja, ada keluhan, pencari keadilan, dan itu sering di berbagai daerah pada saat kami melakukan pembinaan. Jadi, semata-mata motivasinya untuk memberikan pelayanan yang baik. Kecuali, saya memerintahkan perkara nomor sekian tolong ditahan, itu akan ada hak orang lain yang dirugikan. Tapi, kalau (ini) kami mendorong dalam rangka dan sejalan juga dengan azas peradilan," tuturnya. 
Tags:

Berita Terkait