Vonis Jessica, Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat
Berita

Vonis Jessica, Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat

Meski UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tak selamanya hakim tunduk pada keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim ‘menabrak’ nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan.

Oleh:
Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Jessica Kumala Wongso 20 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap sahabatnya Wayan Mirna Salihin. Foto: RES
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Jessica Kumala Wongso 20 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap sahabatnya Wayan Mirna Salihin. Foto: RES
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah menjatuhi hukuman 20 tahun penjara terhadap Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Kisworo menyatakan ada empat hal yang memberatkan Jessica.

Pertama, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan korban Wayan Mirna Salihin telah meninggal dunia. Kedua, perbuatan terdakwa adalah keji dan sadis tersebut dilakukan terhadap teman terdakwa sendiri. Ketiga, terdakwa tidak pernah merasa menyesal atas perbuatannya sendiri. Keempat, terdakwa tidak mengakui atas perbuatannya sendiri. Sementara, hal yang meringankan terdakwa masih berusia muda diharapkan masih bisa meperbaiki diri di masa depan.

Putusan hakim tersebut mengundang beragam tanggapan dari para ahli hukum. Mereka mempertanyakan independensi hakim yang berhubungan dengan rasa keadilan di masyarakat, mengingat kasus ini menjadi perhatian publik. Sebagian masyarakat ada yang meginginkan agar Jessica divonis seberat-beratnya, tapi ada juga yang berharap Jessica bebas karena tidak ada bukti kuat yang mengarahkan bahwa pelaku pembunuh Mirna adalah Jessica.        

Terlepas dari kasus pembunuhan Mirna, ada baiknya kita memahami soal independensi hakim dan rasa keadilan masyarakat. Jurnalis senior Hukumonline, Muhammad Yasin, dalam analisanya di rubrik klinik menjelaskan bahwa rumusan Pasal 24 ayat (1)Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (“UUD 1945”) adalah “Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Sedangkan, UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan ‘hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat’. Rumusan ini tidak mengalami perubahan dalam UU No.35 Tahun 1999.

Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan: “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.

Patut dicatat bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 muncul pada amandemen ketiga (2001). Setelah amandemen, UU Kekuasaan Kehakiman mengalami perubahan lagi, menjadi UU No. 4 Tahun 2004. Pasal 28 ayat (1) UU No. 8 Tahun 204 menyebutkan agar dalam menjatuhkan putusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Kemudian, pengaturan tentang kekuasaan kehakiman terbaru adalah UU No. 48 Tahun 2009. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan juga: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Mantan hakim agung, J. Johansyah, dalam buku “Independensi Hakim di Tengah Benturan Politik dan Kekuasaan”menggarisbawahi bahwa independensi dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu sengketa hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam Pasal konstitusi tersebut adalah ‘berdasarkan hukum dan keadilan’.

Pentingnya jaminan independensi kekuasaan kehakiman dalam konstitusi sebenarnya sudah lama didorong agar lebih kuat. Hal ini seperti dijabarkan dalam buku “Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Position Paper”, apalagi merujuk pada pengalaman selama ini kekuasaan sering mengintervensi hakim. Menjaga independensi hakim memang tidak mudah.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka, kata Bagir Manan dalam buku “Menegakkan Hukum, Suatu Pencarian”, diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Pengadilan atau hakim harus independen tidak hanya terhadap cabang kekuasaan lain, tetapi juga dengan pihak-pihak yang berperkara. (Baca Juga: Ternyata, Beginilah Intisari Pertimbangan Hakim atas Vonis Jessica)

Independensi hakim itu bisa bersifat normatif, bisa juga bersifat realita. Kedua independensi itu tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang membedakan independensi dalam arti sempit dan arti luas. Pada dasarnya, independensi kekuasaan kehakiman tak semata independensi kelembagaan, tetapi juga independensi personal hakim. Independensi hakim karena itu adalah kondisi di mana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan berdasarkan hukum.

Tentu saja, dalam memutus perkara, hakim harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Tetapi, dalam konteks Indonesia, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah corong kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks inilah, rumusan keharusan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus dibaca. Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Lagipula, penting diingat bahwa undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum. Kebiasaan dalam masyarakat juga merupakan sumber hukum. Dengan demikian, hakim bisa menggunakan kebiasaan sebagai rujukan.

Meskipun UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tak selamanya hakim tunduk pada keharusan itu. Bahkan, kadangkala hakim ‘menabrak’ nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat untuk tujuan memberikan keadilan. Misalnya, putusan MANo. 1048K/Pdt/2012 yang menegaskan hukum adat setempat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tidak bisa dipertahankan lagi.

Tags:

Berita Terkait