Sayang, tujuan mulia pendidikan tampaknya sangat sulit dirasakan oleh anak-anak yang berada di sudut-sudut negeri ini. Memang, upaya-upaya pemerintah untuk membangun sekolah negeri bertaraf nasional hingga internasional sangat didukung. Akan tetapi euforia standar tersebut harusnya tidak mengabaikan pemerataan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Hak mendapatkan pendidikan bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satunya yang dialami TK terpadu yang berada di Desa Tenjolaya, Ciwidey, Bandung, Jawa Barat. Tak muluk-muluk, TK bernama Rosella yang pada awalnya gratis itu dibangun pada 9 Februari 2009 silam. Kisah ini bermula dari gagasan seorang ibu yang sudah lama tinggal di sana. Ibu Didoh, namanya.
Dia bersama salah satu warga yaitu Pak Hadi membangun TK Rosella berawal dari sebuah rumah sederhana milik kerabatnya untuk dimanfaatkan dengan baik. Amanah ini dipegang terus oleh keduanya. Salah satu tujuan dibangunnya TK agar anak-anak berusia bawah lima tahun (balita) yang tinggal di sekitar wilayah itu dapat dengan mudah mengenyam dunia pendidikan.
Hingga pada akhirnya, TK Rosella terlahir dan tak perlu biaya alias gratis bagi masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya di sana. Alasannya sederhana, akan semakin memberatkan masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani jika harus berbayar. Namun, biaya gratis ini tak selalu berujung baik.
Dari hasil evaluasi, gratis itu membuat orang tidak merasa terikat dan bahkan menjadikan sesuatu yang tak bernilai. Melihat gelagat adanya kecenderungan untuk bersekolah dengan “suka-suka”, dan dengan melihat tingkat kemampuan para orangtua, maka TK gratis ini menjadi tidak gratis sepenuhnya, tetapi akhirnya tiap murid dikenakan biaya Rp20 ribu per bulan.
Dalam perjalanannya menularkan dunia pendidikan, beragam tantangan kerap ditemui TK Rosella. Sejumlah penolakan dari warga setempat mulai riuh. Alasan penolakan karena metode dan pola didik yang diterapkan bebeda dengan TK pada umumnya. Selain itu, kata salah satu guru yang bernama Nur Hasanah, kendala lainnya kepercayaan yang minim dari masyarakat sekitar. Masyarakat menganggap guru-guru TK Rosella masih rendah tingkat pendidikannya sehingga cibiran dan sikap meragukan kerap datang.
“Waktu itu ada tiga TK yang diundang oleh kelurahan dan diantaranya TK Rosella untuk mengikuti perlombaan yang diadakan oleh kelurahan. Dikarenakan memang TK Rosella tidak menerapkan dengan berpakaian seragam sekolah pada umumnya, datang dengan menggunakan sandal jepit serta baju yang bisa dipakai sehari-hari sehingga sempat mendapat kejadian yang kurang mengenakan, di antaranya cibiran dari orang tua TK lain yang mengatakan murid dari TK Rosella adalah TK yang kumuh dan tak tau aturan, sampai ada satu anak yang menangis dan meminta pulang dikarenakan malu diledek oleh anak-anak dari TK yang lainnya,” kenang Nur Hasanah.
TK Rosella menerapkan metode belajar melalui pendekatan “Sentra” dan “Fitrah” dengan guru yang bertugas sebagai pembimbing. Metode ini dianggap berhasil bagi perkembangan otak balita dan memiliki wawasan baik terhadap lingkungan. Ada tiga Sentra yang diterapkan TK Rosella, yakni Sentra Kreasi, Sentra Eksplorasi dan Sentra Rancang Bangun.
Metode tersebut didesain kondisional sehingga memungkinkan guru memilih tempat yang sesuai dengan keperluan anak. Seperti menerapkan Cerdas Berbahasa Indonesia dengan metode Fonik (CBIF) dan belajar Al Quran dengan metode Iqro. Metode yang diajarkan TK Rosella ini menularkan kebaikan bagi sekolah lain. Bahkan, banyak sekolah lain menganggap metode yang diterapkan TK Rosella sebagai panutan. Padahal, sekolah lain tersebut keberadaannya telah sesuai aturan perundang-undangan. Tidak seperti TK Rosella yang ‘terganjal’ masalah status hukum.
Status sekolah ini dinilai belum jelas, karena bukan dalam bentuk yayasan atau bentuk lainnya. Para guru pun mencari jalan keluar dari persoalan ini. Namun sayangnya, rencana membuat yayasan “berjalan di tempat” lantaran menunggu aturan baru dari pemerintah. Seiring dengan itu, TK Rosella hingga kini masih berpegang pada izin operasional yang diberikan dinas pendidikan setempat atas bantuan bupati.
"Maka harapan besar terhadap PAUD pun sementara rupanya harus disimpan sambil terus berusaha. Tetapi dengan niat iklas dan baik dan juga keyakinan bahwa Allah pasti akan memberi jalan pada kebaikan, maka sejauh ini setelah kira-kira dua tahun yang lalu, TK ini dapat tetap berjalan dikarenakan sudah mendapat surat izin operasional dari Disdikbud atas bantuan dari Bupati,” cerita salah satu guru.
Para pengajar di TK Rosella memang tak banyak. Mereka adalah Nur Hasanah, Almaida Salsabila Andini, Iip Latifah dan Wanto Wahyudi. Keempatnya memiliki harapan besar terhadap sekolah ini. Gaji yang diperoleh para pengajar ini hanya sebesar Rp500 ribu per bulan. Meski begitu, kecintaan mereka terhadap sekolah ini sungguh besar.
Keempat guru ini berharap agar TK Rosella tetap ada dan terus berdiri. Sehingga, cita-cita awal pendirian untuk meningkatkan dan mencerdaskan anak-anak di Desa Tenjolaya terus berkobar. Dengan begitu, anak-anak tersebut dapat bersaing dengan masyarakat lain di kota-kota besar nantinya. Kebanggaan para guru kepada anak didiknya terus dikumandangkan. Bahkan, lulusan TK Rosella selalu memperoleh peringkat tiga besar saat di tingkat SD maupun SMP.
Berprestasi tidak lah harus mahal. Jangan persulit anak-anak ini untuk menjadi yang terbaik demi membangun bangsa dan negara Indonesia...