Bolehkah BPSK Selesaikan Sengketa dengan Perjanjian Kontrak? Ini Penjelasannya
Berita

Bolehkah BPSK Selesaikan Sengketa dengan Perjanjian Kontrak? Ini Penjelasannya

Perjanjian atau kontrak berpotensi merugikan konsumen. Maka Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen mengatur tentang klausula baku.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Keberadaan perusahaan pembiayaan yang menyalurkan kredit kepada konsumen semakin menjamur di Indonesia. Namun seiring dengan banyaknya kontrak-kontrak kredit antara perusahaan finance dengan konsumen, potensi munculnya sengketa juga semakin banyak. Misalnya saja, bisa dilihat dari beberapa sengketa konsumen antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen yang tercatat di Mahkamah Agung (MA).

Dalam beberapa putusan MA ditingkat kasasi, mayoritas sengketa dimenangkan oleh perusahaan pembiayaan. Salah satu contoh kasusnya adalah PT Permodalan Nasional Madani (Persero) Cabang Pematang Siantar melawan Sapii Manurung. Atau perkaran antara PT Clipan Finance Indonesia Tbk. Cabang Medan melawan Supriadi.

Letak persoalannya adalah tentang kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dinilai oleh MA tidak bisa mengadili dan memutus perkara dengan perjanjian atau kontrak.

Salah satu pertimbangan majelis MA mengabulkan permohonan kasasi dua perusahaan pembiayaan tersebut adalah bahwa sengketa a quo pada dasarnya adalah sengketa ingkar janji (perdata murni) bukan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. Bahwa oleh karena merupakan sengketa ingkar janji maka sengketa a quo masuk dalam kewenangan Peradilan Umum dan bukan termasuk kewenangan BPSK untuk memeriksa dan memutus.

Lalu bagaimana sebenarnya posisi BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen? Apakah benar BPSK tidak bisa mengadili dan memutus perkara yang terikat kontrak? Begini penjelasannya.

Firman Turmantara Endipraja, Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan tak sepakat dengan pertimbangan MA. Menurut Firman, pertimbangan MA tidak berdasar mengingat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah amanat dari UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Baca Juga: Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan)

“(Pertimbangan) itu tidak berdasar. Beliau (Hakim MA) tidak cermat. Ini perlu diklarifikasi dan sangat menyesatkan dikeluarkan oleh sebuah institusi peradilan,” kata Firman kepada hukumonline, Jumat (30/10).

Bagi Firman, tugas dan wewenang BPSK sudah diatur tersendiri di dalam Pasal 52 UU Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 52 tersebut terdapat 13 tugas dan wewenang BPSK, salah satunya adalah pengawasan terhadap klausula baku yang tercantum di kontrak atau perjanjian. Semua sengketa konsumen baik disektor barang atau jasa , lanjut Firman, bisa ditangani oleh BPSK.

Lagipula, lanjutnya, perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam kontrak banyak melanggar Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen tentang klausula baku. Sehingga BPSK memiliki kewenangan untuk mengadili perkara yang terkait dengan kontrak.

Bagi Firman, secara umum hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha itu lebih banyak yang bersifat kontraktual sehingga sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha juga lebih banyak disebabkan oleh kontrak antara keduanya. Dalam perjanjian, bahkan irisan mana yang membedakan konflik kontraktual dengan konsumen ini nyaris tipis bedanya.

“Ini sangat berkaitan dengan perjanjian, jadi tidak bisa lepas masalah perlindungan konsumen berkaitan dengan buku II, tidak bisa dilepaskan, ini luar biasa,” ungkapnya. (Baca Juga: Dinamika Hubungan Hukum Produsen-Konsumen)

Sejauh ini, secara makro keberadaan BPSK sangat membantu proses peradilan. Jika sengketa sederhana seperti pengembalian uang dengan permen harus digugat ke peradilan umum, maka justru akan menumpuk perkara.

Selain itu, berdasarkan penemuan yang dilakukan oleh Firman, masih banyak klausula baku yang belum mematuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.1 Tahun 2013. POJK tersebut juga merujuk kepada Pasal 18 UU PK dan bisa diancam pidana.

“Coba cek pasal 18 UU dan pasal 22 POJK No 1 Tahun 2013, dan perjanjian baku yang tercantum di pasal 21 dan 22 POJK mengaoposi UU PK yang didalamnya jika tidak sesuai dengan pasal 18 bisa dikenakan pidana lima tahun penjara dan dicantumkan dalam Pasal 62 ayat (1) UU PK, ini sudah jelas, ini sangat meyesatkan pernyataan hakim,” imbuhnya.

Sementara itu Anggota BPSK DKI Jakarta Aman Sinaga berpendapat bahwa ia tak sepakat dengan pertimbangan MA. Menurutnya, jika MA menjadikan kontrak sebagai alasan bagi BPSK tidak bisa mengadili sengketa konsumen, maka hal tersebut akan melanggat Pasal 18 UU PK yang mengatur mengenai klausula baku.

“Di sana (pasal 18) ada soal klausula baku yang tidak boleh dimuat oleh pelaku usaha di dalam perjanjian. Tapi kalau MA menganggap ini konteks dari segi perdata ya ini enggak benar,” kata Aman. (Baca Juga: Tak Cuma Konsumen yang Rugi Karena Klausula Baku)

Aman mengingatkan bahwa Pasal 18 merupakan pasal intervensi terhadap pihak yang berkontrak. Jika hakim MA menyatakan bahwa BPSK tak berwenang, maka Aman menilai hakim belum memahami UU PK. Kehadiran Pasal 18 adalah untuk melindungi konsumen karena kontrak kerap dibuat jauh sebelum proses kontrak dan ada potensi penyalahgunaan oleh pelaku usaha. Maka, sengketa yang terikat kontrak masuk ke dalam ranah BPSK.

Akan berbeda halnya, lanjut Aman, jika di dalam kontrak terdapat klausula kesepakatan penyelesaian sengketa di lembaga peradilan lain. Dalam hal ini, BPSK tak bisa masuk mengingat adanya Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi “Penyelesaian  sengketa  konsumen  dapat  ditempuh  melalui  pengadilan  atau  diluar  pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”

Firman menambahkan, untuk meluruskan pemahaman tersebut para hakim perlu mendapatkan pendidikan mengenai perlindungan konsumen. Disamping itu, sosialisasi juga perlu diberikan kepada masyarakat agar lebih peduli dan memahami seluk beluk perlindungan konsumen.

“Setidaknya berikan Rp1000 per orang untuk sosialisasi UU PK ini. Sampai saat ini, budget untuk sosialisasi UU PK di dalam APBN ini tidak ada, padahal ini penting,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait