Advokat: Berbeda dengan Suap, Pemberi Pungli Tak Bisa Dipidana
Berita

Advokat: Berbeda dengan Suap, Pemberi Pungli Tak Bisa Dipidana

Masyarakat yang mengalami pungli dipersilakan untuk melapor dengan bukti yang lengkap. Namun, jangan sampai jadi laporan palsu yang justru akan menyebabkan berurusan dengan hukum.

Oleh:
ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pungutan liar. HGW
Ilustrasi pungutan liar. HGW
Salah satu advokat Theodorus Yosep Parera menilai masyarakat yang memberikan sejumlah uang yang masuk kategori pungutan liar (pungli) kepada aparat negara tidak bisa dijerat secara pidana. Hal itu Yosep menanggapi pemasangan spanduk imbauan yang berisi "Pemberi dan Penerima Pungli Bisa Dipidana" di berbaga tempat.

"Aturan soal pungli sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor," ucap Yosep di Semarang, Senin (31/10).

Menurut dia, aturan tentang pungli terdapat pada Pasal 12 huruf e Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (Baca Juga: Perpres Saber Pungli Diteken, Inilah Struktur Organisasinya)

Yosep mengutip Pasal 12 huruf e, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri".

Ia menilai dari penjelasan Pasal 12 tersebut diketahui jika pungli berbeda dengan suap. Menurut dia, dalam pungli masyarakat yang memberikan uang berada dalam keadaan terpaksa karena memerlukan sesuatu yang harus segera diperolehnya.

Adapun dalam suap, ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. "Berbeda lagi dengan gratifikasi aturannya," ujarnya. (Baca Juga: 3 Saluran Bagi Masyarakat untuk Melaporkan Adanya Pungli)

Oleh karena itu, ia menyarankan spanduk imbauan semacam itu dipertimbangkan kembali. Sementara masyarakat yang mengalami pungli dipersilakan untuk melapor dengan bukti yang lengkap. Menurut dia, jangan sampai jadi laporan palsu yang justru akan menyebabkan berurusan dengan hukum.

Sebelumnya
,  Jaksa Agung Prasetyo mengatakan pungli dan suap merupakan dua hal berbeda. Ia menyebutkan, pungli itu adalah sepihak, biasanya para petugas atau penyelenggara pemerintahan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan meminta sesuatu yang berkaitan dengan kewenangannya. Karena itu, orang terpaksa memberikan karena kalau tidak diberikan uangnya tidak terlayani keperluannya.

Lain halnya dengan suap, menurut Prasetyo, kalau suap dua pihak saling bekerja sama dan berkonspirasi, ada yang memberi dan ada yang menerima untuk tujuan tertentu. Karenanya, Jaksa Agung menegaskan, pungli hanya yang menerima dan meminta uang serta memeras, dan hal ini cenderung terjadi di mana-mana.

“Ini yang harus diberantas,” ujarnya beberapa waktu lalu. (Baca Juga: Begini Isi Perpres Saber Pungli)

Namun mengenai konstruksi hukumnya, lanjut Prasetyo, pungli ini terkait dengan UU No. 20 Tahun 2001 Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khususnya Pasal 12 huruf e.

Pasal itu berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau oang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ancaman pidana minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Tags:

Berita Terkait