7 Catatan FITRA untuk APBN 2017
Berita

7 Catatan FITRA untuk APBN 2017

Masyarakat sipil anggap APBN 2017 belum menjalankan amanat Nawacita.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang SB, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly membahas APBN di DPR. Foto: RES
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang SB, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly membahas APBN di DPR. Foto: RES
Pemerintah dan DPR sudah menyepakati postur Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2017. Dalam UU APBN 2017, anggaran belanja negara disepakati sebesar Rp2.080 triliun. Nilai ini naik sebesar Rp10 triliun dari APBN 2016 sebesar Rp2.070 triliun.

Postur APBN 2017 ini mendapat tanggapan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Menurut Fitra, APBN ketiga dalam pemerintahan Presiden Jokowi belum sepenuhnya menjanlankan amanat Nawacita, program yang digagas Presiden-Wakil Presiden. (Baca juga: Rincian Pemangkasan Anggaran Sesuai Instruksi Jokowi).

Sehubungan dengan itu, Fitra menyampaikan tujuh pandangan dan permasalahan dari APBN 2017. Pertama, target penerimaan pajak untuk APBN 2017 adalah sebesar Rp1.498 triliun. Nilai ini menurun jika dibandingkan APBN 2016 yang mematok target penerimaan pajak sebesar Rp1.539 triliun. Fitra menilai tidak ada terobosan dalam peningkatan pendapatan negara meskipun program tax amnesty telah berjalan.

Tax amnesty ternyata gagal menambal APBN. Ini semakin menegaskan bahwa tax amnesty hanya bahasa kampanye untuk karpet merah konglomerat,” kata Ketua Bidang Advokasi Fitra, Apung Widadi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (31/10).

Kedua, belanja Pemerintah sangat boros: mencapai Rp1.315 triliun. Belanja Kementerian lebih tinggi dibandingkan belanja dareah. Di mata Apung, ini  menyebabkan ketimpangan pusat dan daerah. Distribusi asimetris ini, lanjut Apung, adalah kebiasaan kabinet rente.

Ketiga, APBN masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan bukan kesejahteraan rakyat, yakni mandatory spanning dan peningkatan lapangan kerja. Apung mencontohkan Amerika, harusnya setiap rupiah dalam APBN juga diorientasikan untuk kepentingan peningkatan lapangan kerja. “Janji Jokowi dan Sri Mulyani tidak terbukti,” jelasnya.

Keempat, subsidi untuk masyarakat banyak dikurangi. Dalam APBN 2017, anggaran subsidi sebesar Rp174,9 triliun. Pada APBN 2016 dipatok sebesar Rp177,8 triliun. Menurut Apung, pengurangan subsidi ini bertujuan agar barang publik dapat dihargai sesuai dengan mekanisme pasar dan swasta menjadi pihak yang banyak diuntungkan. Apung melihat keberpihakan Pemerintah dalam APBN 2017 terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat berkurang.

Kelima, perhitungan utang luar negeri masih berdasarkan PDB, bukan berdasarkan devisa dan kemampuan APBN setiap tahunnya. Sehingga menyebabkan beban bunga utang hampir 25 persen dari APBN setiap tahunnya. “Negara digadaikan,” tegas Apung.

Keenam, anggaran untuk dana desa belum sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2015  tentang Perubahan Atas PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Berdasarkan aturan ini  10 persen APBN harus dialokasikan untuk dana desa. Dalam APBN 2017, anggaran dana desa adalah sebesar Rp60 triliun. (Baca juga: Pengalokasian, Penyaluran, dan Pengawasan Dana Desa).

Ketujuh, dilemma pengelolaan BUMN. PMN tanpa didorong IPO, dan menurunkan target PNBP sektor BUM yang hanya Rp40 triliun dalam APBN 2017.

Atas beberapa permsalahan dan kondisi terkini APBN 2017, Apung berpendapat bahwa lagi-lagi APBN diselamatkan oleh utang luar negeri tanpa diiringi dengan efisiensi belanja pemerintah. Rezim defisit gagal direvolusi mental oleh Jokowi. Kemudian, sebagian besar infrastruktur adalah untuk akselerasi ekonomi dan konglomerat, infrastruktur sosial seperti rumah, jalan, dan irigasi hanya 5 persen dari total belanja infrastruktur APBN 2017. “Kami akan menggalang dukungan merevolusi APBN dengan APBN alternatif versi masyarakat sipil,” ungkapnya.

Sementara itu Peneliti INDEF, Abdullah Rusli, mengatakan bahwa APBN 2017 dibuat ekspansif dengan defisit yang melebar. Selain itu, utang menjadi tidak efektif karena utang ditutup kembali dengan utang disertai dengan penerimaan pajak yang juga turun. “Tetapi penerimaan pajak yang turun, sepertinya pemerintah realistis,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait