Korban Gusuran Gugat UU Larangan Penggunaan Tanah Tanpa Izin
Berita

Korban Gusuran Gugat UU Larangan Penggunaan Tanah Tanpa Izin

Masih terlalu banyak menguraikan kasus konkrit.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Penggusuran warga Bukit Duri Jakarta Selatan. Foto: RES
Penggusuran warga Bukit Duri Jakarta Selatan. Foto: RES
Sejumlah korban penggusuran di Jakarta akhirnya mempersoalkan aturan larangan penggunaan tanah tanpa izin yang berhak (pemilik) lewat uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Rojiyanto, Mansur Daud P, dan Rando Tanadi.

Lewat Tim Kuasa Hukumnya, mereka memohon pengujian Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2) Perppu tersebut. Mereka merasa sangat dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran tidak mendapat ganti kerugian saat rumahnya digusur paksa oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. (Baca juga: Korban Penggusuran Gugat PT KAI).

Rojiyanto, warga Papango Jakarta Utara, misalnya, pernah mengalami penggusuran paksa yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Penggusuran tersebut Pemohon mengajukan gugatan ke pengadilan hingga sampai tingkat kasasi. Namun, Pemohon tetap kalah karena dalam putusannya disebutkan Perppu No. 51 Tahun 1960 tidak mewajibkan pemerintah daerah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.

Sementara Rando Tanadi, korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Pemohon, seorang pelajar dan akibat dari penggusuran ini Rando terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal. “Alasan kami mengajukan permohonan ini karena UU ini melanggar hak-hak konstitusional terutama korban penggusuran,” ujar salah satu kuasa hukum Para Pemohon, Alldo Fellix Januardy di sidang pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati di Gedung MK, Kamis (03/11).

Intinya, Pasal 2, Pasal 3 (1), (2), Pasal 4 tersebut melarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasa yang sah. Penguasa daerah berhak mengambil tindakan penyelesaian pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak yang ada di daerahnya dengan memperhatikan rencana peruntukkan dan penggunaan tanah termasuk perintah pengosongan tanah. (Baca juga: KPK Tanyakan Sanusi Soal Penggusuran Kalijodo Dibiayai Swasta).

Alldo menilai aturan ini sudah tidak relevan lagi karena diterbitkan dalam situasi negara dalam keadaan bahaya pada tahun 1960. Baginya, Perppu No. 51 Tahun 1960 hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara. Lagipula, beleid ini juga tidak sesuai lagi dengan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya yang sudah diratifikasi berdasarkan UU No. 11 Tahun 2005.

“Undang-undang ini seolah-olah memberikan wewenang pemerintah daerah untuk ‘menyerobot’ kewenangan peradilan karena setiap sengketa tanah seperti ini tidak melalui lembaga yudikatif terlebih dahulu, tetapi faktanya langsung dieksekusi oleh Pemprov,” kata dia dalam persidangan.   

Dalam penelitian kasus-kasus penggusuran paksa yang terjadi kerap melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rawan disertai tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap warga negara korban penggusuran paksa. Kalaupun ada proses relokasi, tetapi aturan ini mengabaikan prosedur relokasi warga negara berlandaskan prinsip-prinsip HAM. “Ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,” dalihnya.

Menurutnya, kepemilikan tanah oleh Para Pemohon yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama sebenarnya dilindungi beberapa pasal dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Salah satunya pasalnya disebutkan penelantaran tanah (oleh negara) dapat mengakibatkan hapusnya kepemilikan.

Ironisnya, kasus-kasus penggusuran paksa termasuk yang dialami Para Pemohon, pemerintah daerah sebagai pelaku penggusuran paksa juga tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria. Terlebih, Pasal 6 ayat (1), (2) Perppu 51 Tahun 1960 menerapkan sanksi pidana terhadap para Pemohon yang menjustifikasi kesewenang-wenangan pemerintah untuk merampas tanah warga tanpa perlu melalui proses pembuktian yang adil terlebih dahulu.

Karena itu, dia meminta MK menghapus keberlakuan pasal-pasal tersebut. “Pada pokoknya kami meminta dan memohon Majelis MK membatalkan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), (2), Pasal 4, dan Pasal 6 UU PRP No. 51 Tahun 1960 karena bertentangan dengan UUD 1945 Tahun 1945,” harapnya.  

Nasihat majelis
Menanggapi permohonan, Maria Farida Indrati mengingatkan Perppu yang diuji sudah menjadi UU No. 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua UU Darurat dan Semua Perppu yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi UU. “Jadi, langsung saja Anda menyebut UU nomor sekian dan tentang ini  karena Perpunya sudah ditetapkan sebagai UU No. 1 Tahun 1961,” ujar Maria.

Dia menilai fakta kasus penggusuran yang dipaparkan dalam permohonan lebih merupakan kasus konkrit. Dirinya belum melihat uraian kerugian konstitusional dan pertentangan pasal-pasal yang diuji dengan konstitusi. “Apakah pasal-pasal yang Anda mohonkan betul-betul menyalahi konstitusi? Sepertinya, permohonan ini menyangkut constitutional complaint. Kalau di sini kan, kita tidak ada constitutional complaint ya. Ini mesti diuraikan pertentangannya,” pintanya.

Bahkan, dia mempertanyakan apakah pasal-pasal yang diuji sudah tepat? “Kalau Anda memakai tanah tanpa izin yang berhak. Tentunya, kepemilikan tanah pasti ada yang berhak, apakah itu pemerintah atau perseorangan. Tetapi, dengan frasa ‘dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah’ pasti ini tidak ada pertentangan dengan konstitusi. Jadi, Anda harus meyakinkan Hakim bahwa pasal-pasal ini bertentangan dengan konstitusi.”

Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams menilai permohonan belum menguraikan bagaimana proses prapenggusuran, saat penggusuran, dan pascapenggusuran. Sepintas, kata dia, sepertinya permohonan ini juga belum menyinggung UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Ini kan terkait dengan permohonan ini bukan?”

“Banyak kasus yang merupakan implementasi norma yang disampaikan di sini. Namun, sayangnya kita belum mempunyai kewenangan terhadap constitutional complaint itu,” kata Wahiduddin menegaskan.
Tags:

Berita Terkait