Kewenangan Kemenkominfo Diperluas di UU ITE, Blokir Situs Dianggap Arogan
Berita

Kewenangan Kemenkominfo Diperluas di UU ITE, Blokir Situs Dianggap Arogan

Bakal menempuh langkah hukum terhadap pemblokiran kesebelas situs itu. DPR menilai langkah penutupan akses internet tindakan tepat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) kian menancapkan tajinya untuk melakukan pemblokiran terhadap situs yang dianggap menyebarkan kebencian. Setidaknya, hal itu dibuktikan dengan melakukan pemblokiran terhadap 11 situs yang dipandang menyebarkan informasi berbau SARA. Apalagi di kala situasi Pilkada serentak yang kian memanas, khususnya di DKI Jakarta.

Kewenangan Kemenkominfo diperluas dalam Pasal 40 UU tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) hasil revisi. Alasan pencegahan, Kemenkominfo dapat dengan mudah melakukan pemblokiran. Pemblokiran terhadap sejumlah situs pun menuai kritik dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Ketua Badan Harian ICJR Anggara Suwahju berpandangan, penutupan askes terhadap 11 situs melalui surat yang dikirimkan oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo kepada sejumlah internet service provider (ISP). Ia menolak cara pemblokiran yang dilakukan sewenang-wenang.

Kesebelas situs itu menurut Anggara, telah beroperasi sejak lama. Sekalipun dianggap melakukan penyebaran kebencian, namun bagi ICJR, semestinya pemerintah melakukan tindakan penegakan hukum terhadap operator-operator situs tersebut. Anggara menilai tanpa adanya tindakan penegakan hkum, upaya pemerintah menutup akses terhadap situs tak ubahnya perbuatan sia-sia. (Baca Juga: Penerapan ‘Right To Be Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan)

Bahkan hanya sebagai upaya mengarah pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Lembaga yang dipimpinnya sejak lama konsisten menyerukan pembahasan Revisi UU No.11 Taun 208 tentang ITE dilakukan terbuka antara pemerintah dan DPR. Namun sayangnya, pembahasan RUU itu justru dilakukan tetutup.

Selain itu, ICJR bersama sejumlah organisasi lainnya meminta agar proses pemblokiran dilakukan berdasarkan proses hukum yang adil, khususnya dalam penegakan hukum. Bahkan, sejumlah masukan terkait mekanisme pemblokiran dan penutupan akses. Sayangnya, DPR dan pemerintah justru memperluas kewenangan Kemenkominfo melakukan penutupan akses tehadpa situs aplikasi tanpa proses hukum yang adil. Sebaliknya, tanpa adanya tindakan penegakan hukum pidana.

Pasal 40 ayat (2) UU ITE hasil revisi menjadi kewenangan lebih bagi Kemenkominfo dalam memblokir situs yang dipandang menyebarkan SARA. Pasal 40 ayat (2a) menyebutkan, Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memilki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan”.

Sedangkan ayat (2b) menyebutkan, “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2a, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum”.

“Pasal 40 revisi UU ITE, dalam pandangan ICJR, adalah pelembagaan proses dan mekanisme blokir yang selama ini telah salah dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.(Baca Juga: 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil Revisi)

Terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanudin mengatakan Kemenkominfo memang memiliki kewajiban melakukan pemblokiran terhadap semua akses sepanjang melanggar aturan. Meski belum mengetahui detil 11 situs tersebut, namun bila melanggar aturan, maka penutupan akses situs dinilai tepat.

“Itu kewajiban pemerntah, maka wajib pemerintah menutup untuk kepentingan umum,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, negara mesti konsisten dengan peraturan perundangan yang berlaku. Makanya penyebaran informasi yang meresahkan masyarakat seperti pornografi, SARA, radikalisme dapat ditutup demi kepentingan umum yang lebih luas. “Siapapun, jujur saja pada UU tidak usah diotak-atik,” ujarnya.

Ajukan langkah hukum
Terhadap kebijakan penutupan akes situs secara arogan itu, ICJR bakal mengajukan langkah upaya hukum. Yakni antara lain menguji keputusan Kemenkominfo ke Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana diketahui, ICJR sempat menguji Peraturan Menteri (Permen) pemblokiran terhadap situs ke MA.

Menurut Anggara, tujuan pengujian keputusan penutupan situs agar ke depan dapat mencegah proses pemutusan akses ethadap situs. Atau aplikasi internet yang sewenang-wenang.(Baca Juga: DPR Setujui Revisi UU ITE Jadi UU)

“Terkait dengan proses blokir yang sewenang–wenang dan terus menerus terjadi, ICJR mengambil sikap untuk mempersiapkan langkah–langkah hukum untuk mencegah terjadinya kembali proses pemutusan akses terhadap situs/aplikasi internet yang sewenang–wenang,” ujarnya.

Sebelumnya, anggota Komisi III Muhammad Nasir Djamil mengkritik pemblokiran secara sepihak oleh Kemenkominfo. Menurutnya definisi penyebaran SARA perlu dilakukan dengan melibatkan kalangan ulama dan akademisi, tidak sepihak Kemenkominfo. Ia pun menyarankan terhadap 11 situs yang diblokir mengajukan keberatan ke Kemekominfo.
“Saran saya, kalau mereka keberatan dengan langkah kementerian tersebut, bisa mengajukan keberatan ke Kemenkominfo kenapa, ada apa, dan sebagainya,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, Kemenkominfo memblokir sebelas situs. Antara lain, lemahirengmedia.com,portalpiyungan.com,suara-islam.com,smstauhiid.comberitaislam24h.combersatupos.compos-metro.comjurnalmuslim.commedia-nkri.netlontaranews.comnusanews.com.

Tags:

Berita Terkait