Pungli Peradilan: “Belum Digoda, Malah Kami yang Digoda Duluan”
Sikat Pungli:

Pungli Peradilan: “Belum Digoda, Malah Kami yang Digoda Duluan”

Menyusul blusukan Ombdusman RI ke sejumlah pengadilan dan menemukan kondisi maraknya pungli di pengadilan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pungli: HGW
Ilustrasi Pungli: HGW
Ombdusman RI melakukan blusukan ke sejumlah pengadilan negeri yang tersebar di pulau Jawa. Dari blusukan yang dilakukan secara diam-diam itu, ternyata ada oknum aparatur pengadilan ‘menggoda’ awak Ombudsman yang sengaja menyamar sebagai pengguna layanan (mystery shopper). Kira-kira, bagaimana ya goda-menggoda yang dilakukan sang oknum tersebut?

Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meilala mengatakan bahwa sejatinya blusukan yang dilakukan mystery shopper Ombudsman hanya sebatas ingin menjajal apakah pengadilan telah taat pada prosedur (SOP). Dari puluhan awak mystery shopper yang dikerahkan, Adrianus berharap, sejumlah pengadilan yang dikunjungi telah taat terhadap prosedur yang ditetapkan. Namun apa yang terjadi, saat Ombudsman baru mau ‘menggoda’, malah aparatur pengadilan yang ‘menggoda’ terlebih dulu.

“Kami datang ke sana (pengadilan), kami harapkan mereka semua taat. Baru kami coba goda, ckck…ya udah lah…gitu. Belum menggoda, kami yang sudah digoda gitu loh,” kata Adrianus saat diwawancara hukumonline di kantornya akhir Oktober lalu. (Baca Juga: Pendidikan Sektor “Ter-pungli”, Aplikasi Android Jadi Pilihan Solusi)

Dalam temuannya, Ombdusman mencatat bahwa persoalan pelayanan publik yang melingkupi lembaga peradilan sebenarnya bukan hal baru. Tahun 2014 misalnya, Ombudsman setidaknya menerima aduan masyarakat menyoal dugaan maladministrasi di institusi penegak hukum ini sebanyak 234 laporan. Jumlah itu pun terus meningkat pada tahun 2015 dengan jumlah 296 laporan.

Kecenderungan peningkatan jumlah laporan terus terjadi sampai awal tahun 2016 kemarin. Per April yang lalu, misalnya, aduan masyarakat di sektor peradilan yang masuk kantong pengaduan Ombudsman telah mencapai 116 laporan. Jumlah itu diprediksi akan terus bertambah sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo yang membentuk tim Satgas Pemberantasan Pungli (Saber Pungli) beberapa waktu lalu.

“Jadi pada bulan April itu (2016), kami rilis hasil blusukan kami yang meliputi 8 pengadilan negeri. Kami kerahkan 30 asisten untuk ‘ngeroyok’ ini pengadilan, mulai dari Surabaya hingga Bogor,” katanya menjelaskan.

Dikatakan Adrianus, pungli yang terjadi di pengadilan sebetulnya merupakan bagian kecil dari siklus tindakan maladministrasi dari sebuah pelayanan kepada masyarakat. Buktinya, bentuk maladministrasi yang dilaporkan masyarakat kebanyakan seperti pelayanan berlarut terkait pengiriman berkas perkara, keterlambatan pemberian salinan putusan, ketidakjelasan informasi jadwal sidang, hingga pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.

Dalam laporannya kepada Mahkamah Agung (MA), Ombdusman sebetulnya berharap agar MA tidak mencopot oknum aparatur peradilan yang memungut pungli secara langsung kepada masyarakat. Sayangnya, MA nyatanya mencopot dan memberhentikan mereka setelah melihat laporan dari Ombdusman.

Harapan Ombudsman agar MA tak mencopot para pelaku tersebut bukan berarti oknum tersebut tidak pantas diberikan sanksi, melainkan Ombudsman berharap MA bisa menyentuh oknum dengan jabatan yang lebih tinggi yang mungkin belum tersentuh selama ini. (Baca Juga: 3 Saluran Bagi Masyarakat untuk Melaporkan Adanya Pungli)

“Ada 8 orang, padahal orang bawah, yang (level) Kasi, pangkat-pangkat rendah yang sudah mau pensiun juga, dicopot-copotin semua. Padahal itu ga ada gunanya, itu hanya puncak gunung es. Dan, mereka memang hanya mampu ngajak, misalnya kita mau daftar perceraian, ‘saya percepat dek’, hanya begitu, hanya mempercepat atau hanya nanti saya ketikin, jadi memang hanya level-level kerek. Yang saya yakin, pada bentuk yang lain, yang lebih tinggi, misalnya putusan hakim, itu ada lagi orang yang main dan bayarannya juga beda. Jadi, kapan yang ini disentuh. Mystery shopper yang ini, ga mampu mencegah ini, susah kan,” tutur Adrianus.

Dimintai tanggapannya, Juru Bicara MA, Suhadi mengatakan bahwa MA telah meneruskan rekomendasi Ombudsman terkait hasil penelusuran mystery shopper tersebut. Ia juga membenarkan bahwa sebagian dari oknum yang dilaporkan itu juga telah dijatuhkan hukuman oleh Badan Pengawas (Bawas) MA seperti pencopotan dan pemberhentian sesuai dengan kesalahan masing-masing.

“Sudah dipecat itu, itu sudah diberhentikan oleh MA. PN Jaksel, Bogor, Bandung, itu sudah diberhentikan oleh MA. Di Bandung itu, Panmud (panitera muda) Perdata sudah dilepas jabatannya, yang lain dipecat tergantung kepada kesalahannya,” ujar Suhadi melalui sambungan telepon, Rabu (2/11).

Dikatakan Suhadi, Bawas MA tidak bisa mengambil peran secara lebih proaktif sebagaimana disebut oleh Ombudsman. Sebab, tugas Bawas MA pada intinya melakukan pengawasan ketika ada laporan yang masuk kemudian mengejar orang yang bersangkutan dan apabila terbukti bersalah sifatnya merekomendasikan hasil pemeriksaan tersebut.

“Tidak boleh sembarangan. Kejadiannya misalnya di Jakarta Selatan yang dipecat ketuanya, itu ada korelasi atau tidak? Itukan juga jebakan yang dilakukan oleh Ombudsman. Seseorang atau beberapa orang sembunyikan kamera, orang terpancing ya seperti itu. Jadi bukan kejadian sebenarnya. Dan itu pun sudah diberhentikan,” jelas Suhadi.

Buat Posko Anti Pungli
Direktur LBH Bogor, Zentoni mengusulkan agar dibentuk posko pengaduan pungli di setiap pengadilan, baik pada pengadilan negeri hingga pengadilan agama atau tata usaha negara. Tak perlu besar, cukup diberikan ruangan sebesar 2X3 meter persegi dengan lima awak tim yang berjaga-jaga di sekitar pengadilan. Dengan begitu, ia yakin praktik pungli tidak lagi ditemui di pengadilan.

“Menurut saya, Saber Pungli itu harus di seluruh pengadilan, harus ada. Mau pengadilan agama atau apapun, harus ada saber pungli yang siap ‘menerkam’. Kalau tidak ada, ya akhirnya cuma ‘hangat-hangat tai ayam’ aja,” kata Zentoni kepada hukumonline. (Baca Juga: KPK: Praktik Pungli Karena Lemahnya Pengawasan)

Setahu Zentoni, ia masih sering menemukan oknum aparatur pengadilan yang meminta uang tambahan kepada advokat atau asisten advokat yang berperkara di pengadilan. Bentuknya beragam, mulai dari meminta uang tambahan untuk mengurus salinan putusan hingga saat mendaftar surat kuasa ke pengadilan. Oleh karena sedari awal ia tegas menolak dan tidak mau membayar pungli, akhirnya ia dikenal sebagai advokat yang tidak bisa diajak main-main soal itu.

Namun, dari cerita asisten advokat di LBH Bogor, Zentoni mendapati oknum aparatur pengadilan seperti panitera masih kerap mencoba meminta uang pungli. Besarnya bergantung dari ‘jasa’ apa yang diminta. Misalnya, untuk mendaftarkan surat kuasa cukup merogoh Rp100 ribu sementara untuk salinan putusan berkisar mulai dari Rp1 juta hingga Rp5 juta tergantung nego-nego yang dilakukan. Tarif itu mungkin tidak berlaku di kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya.

“Setelah ada saber pungli, mereka hanya sebatas hati-hati saja, tidak vulgar. Hanya itu aja, tidak ada impact-nya. Kita usul ke MA sih bikin itu ruangan 2x3 isi 5 orang yang mondar-mandir dan disiapkan alat sadap. Karena transaksi dilakukan tidak cuma di pengadilan bisa di kafe atau apa. Saran saya juga, itu pos 24 jam meski pengadiilan itu sampai jam 5, tapi ada saja yang lembur atau gimana, wah itu pada takut, harus ekstrim,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait