Waspadai Modus Pungli dan Potensi Korupsi
Sikat Pungli:

Waspadai Modus Pungli dan Potensi Korupsi

Pungli terjadi saat adanya permintaan dari masyarakat yang dimanfaatkan oleh oknum pemilik kewenangan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tiap tahun, potensi terjadinya maladministrasi terus meningkat. Ombudsman RI mencatat, dari tiga perbuatan maladministrasi, tindakan penundaan berlarut-larut menempati urutan pertama. Pada tahun 2015 misalnya, tercatat sebanyak 1319 laporan tindakan berlarut-larut, sedangkan pada 2016 meningkat menjadi 2246 laporan atau meningkat 70,3 persen.

Sedangkan pada perbuatan maladministrasi tidak memberi pelayanan, tahun 2015 tercatat sebanyak 874 laporan dan meningkat pada 2016 menjadi 1052 laporan atau 15,2 persen. Untuk tindakan maladministrasi pungutan liar (pungli) dan suap, pada 2015 tercatat sebanyak 384 laporan yang masuk ke Ombudsman, dan pada 2016 meningkat menjadi 434 laporan atau 13 persen.

Anggota Ombudsman RI Adrianus Eliasta Meliala melihat, data ini semakin menegaskan bahwa tidak digunakannya kewenangan, digunakan secara berlebih, digunakan secara tidak proporsional, digunakan secara diskriminatif dan digunakan tidak pada tempatnya berujung pada tindakan maladministrasi. Kemudian, dari tindakan-tindakan tersebut menimbulkan tindakan lain yang berpotensi pada tindak pidana, seperti pungli hingga korupsi.

Pungli, lanjut Adrianus, dapat terjadi saat masyarakat meminta oknum yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya sesuai prosedur. Namun, permintaan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh oknum itu dan pada akhirnya terjadi pertemuan antara masyarakat dan sang oknum.

“Maka untuk kemudian memastikan hal itu (kewenangan) digunakan, terjadilah transaksi,” ujar Adrianus kepada hukumonline, Selasa (25/10).

Meski begitu, lanjut Adrianus, tidak seluruh situasi maladministrasi berujung pada pungli. Bagi masyarakat yang tak berhubungan langsung dengan oknum pelayanan publik, maka pungli dapat tak terjadi. Beda halnya dengan maladministrasi yang berujung pada gratifikasi hingga korupsi.

Gratifikasi, kata Adrianus, terjadi ketika situasi belum terdapat hubungan langsung, namun dapat diduga bahwa masyarakat tersebut kemudian memperoleh akses khusus dalam rangka penggunaan kewenangan. Sedangkan korupsi, terjadinya keuntungan di kedua belah pihak, masyarakat dan oknum kemudian dirugikannya negara dalam bentuk sejumlah uang.

“Kalau pungli kita berbicara mengenai situasi di mana masyarakat itu mengharapkan adanya kewenangan itu digunakan dan dalam rangka itu masyarakat lalu membayar,” ujarnya. (Baca Juga: Pendidikan Sektor “Ter-pungli”, Aplikasi Android Jadi Pilihan Solusi)

Biasanya, maladministrasi terjadi pada tahapan perbuatan kebijakan. Mulai dari tahapan formulasi, tahapan perencanaan, tahapan implementasi dan tahapan evaluasi. Pada tahapan formulasi, biasanya mengenai sesuatu berupa bahan kebijakan. Untuk tahapan ini, bukan pungli yang terjadi, tapi lebih ke korupsi dan gratifikasi.

“Seperti tadi, Anda nitip agenda buat saya dan saya sebagai policy maker membuat, jadi titip-titip harapan. Oleh karena itu bisa berupa dengan mengirimkan parsel dan lain-lain,” ujar Adrianus.

Pada tahap kedua, yakni perencanaan juga hampir sama dengan tahapan formulasi potensi yang dapat terjadi adalah gratifikasi dan korupsi. Sedangkan pada tahap ketiga, yakni implementasi, barulah tindakan pungli dapat terjadi. Biasanya, modus ini hanya melibatkan aktor yang memiliki kewenangan kecil atau terbatas pada kegiatan tersebut saja.

“Begini, dari program turun menjadi proyek, turun jadi kegiatan, di kegiatan lah yang ada pungli, bukan di program dan proyek, itu korupsi. Lebih (tataran) teknisnya, dan itu kan kecil,” kata Adrianus.

Hukumonline.com

Atas dasar itu, ia menyarankan, meskipun pungli marak terjadi, namun pemerintah seharusnya tidak hanya memfokuskan diri pada pungli saja. Tapi lebih menyeluruh, bahkan dari tahapan-tahapan awal sebelum kegiatan atau program tersebut dilaksanakan sehingga gratifikasi dan korupsi bisa juga terjaring. Meski begitu ia sadar, pungli tetap harus diberantas karena dampaknya yang dirasakan langsung masyarakat kecil.

“Janganlah semua perhatian, emosi, dan sekaligus perasaan kita dicurahkan pada pungli. Karena pungli lebih kepada gunung es yang kelihatan, yang sebetulnya yang lebih berbahaya, justru lebih besar, yang tak kelihatan, ya itu tadi, potensi maladministrasi yang kemudian berujung pada gratifikasi dan korupsi,” tuturnya. (Baca Juga: Jaksa Agung: Pelaku Pungli Bisa Dijerat UU Tipikor)

Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai banyak latar belakang yang menyebabkan terjadinya pungli. Pertama, karena faktor kesejahteraan yang biasanya pelakunya adalah pegawai rendahan. “Seperti minta uang rokok atau uang kopi, dan biaya-biaya di luar biaya resmi,” katanya saat dihubungi hukumonline, Rabu (2/11).

Menurut Ade, tak jarang pungli yang dilakukan para birokrasi itu terkait dengan korupsi yang lebih besar. Hal ini menjadi latar belakang pungli yang kedua. Biasanya, pungli dilakukan lantaran pegawai birokrasi tersebut harus menyetor ke atasannya. Simbosis mutualisme pun terjadi. Atasan memperoleh uang setor pungli. Sedangkan bawahan menyetor agar posisinya di birokrasi ‘aman’ dan bahkan memperoleh bonus seperti promosi.

“Kalau polanya beragam, minta tanda terima kasih, atau menaikkan dari tarif yang ada, atau mengada-ada biaya. Banyak cara digunakan birokrasi agar mendapatkan biaya tambahan dari masyarakat atau memperumit pelayanan. Itu beragam modus,” ujar Ade.

Misalnya di sektor pendidikan. Ade menyebut, ada beberapa lapisan terjadinya pungli di sektor ini. Pertama, pungli dilakukan oleh guru yang misalnya meminta uang rokok. Umumnya hal ini disebabkan faktor kesejahteraan atau pendapatan yang kecil. Kedua, modus dengan menambah biaya atau memunculkan biaya yang seharusnya tak ada oleh oknum kepala sekolah. Keserakahan menjadi alasan utama persoalan ini. Hal ini berujung adanya setoran dari kepala sekolah ke dinas. Dan terakhir, dinas yang menunggu upeti dari kepala-kepala sekolah.

Menurutnya, pemberantasan pungli yang tengah digalakkan pemerintah ini harus menyasar persoalan yang lebih besar, baik dari persoalan birokrasi maupun oknumnya. Penanganannya pun harus berjalan beriringan, tidak boleh parsial antara pegawai rendahan, oknum pejabat hingga latar belakang terjadinya pungli. (Baca Juga: Pungli Peradilan: “Belum Digoda, Malah Kami Digoda Duluan)

“Kalau cuma diatasi atau diubek-ubek birokrasinya, tanpa cek lagi latar belakang dan penyebab dilakukan pungli atau korupsi terutama dari atasan, sampai kapan pun akan tetap terjadi pungli,” tutup Ade.
Tags:

Berita Terkait