Eks Ketua Komisi II DPR Ungkap Alasan Setujui Anggaran Multi Years E-KTP
Berita

Eks Ketua Komisi II DPR Ungkap Alasan Setujui Anggaran Multi Years E-KTP

Ada sejumlah hal yang meyakinkan Komisi II kala itu. Bahkan, Mendagri disebut berani mundur jika proyek e-KTP tidak selesai.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Chairuman Harahap, bekas Ketua Komisi II DPR diperiksa sebagai saksi sekaligus untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka mantan DirjenKependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dalam kasus dugaan korupsi, pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik yang diduga merugikan negera mencapai Rp 2 triliun.
Chairuman Harahap, bekas Ketua Komisi II DPR diperiksa sebagai saksi sekaligus untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka mantan DirjenKependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dalam kasus dugaan korupsi, pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik yang diduga merugikan negera mencapai Rp 2 triliun.
KPK memeriksa sejumlah saksi untuk mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman, tersangka kasus korupsi proyek pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP elektronik atau e-KTP) tahun anggaran 2011-2012.

Salah satunya adalah anggota mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar periode 2009-2014, Chairumah Harahap. Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, Chairuman diperiksa terkait anggaran dan pembahasan di DPR. “Apakah mendukung keputusan multi years untuk proyek ini,” katanya, Senin (7/11).

Dan, memang Chairuman pun mengaku ditanyakan penyidik seputar proses penganggaran e-KTP. Pasalnya, ketika itu, Chairuman menjabat Ketua Komisi II DPR. "Jadi, penganggarannya itu sesuai dengan yang diajukan oleh Kementerian (Dalam Negeri) dan kita membahasnya dengan baik," ujarnya usai menjalani pemeriksaan di KPK.

Chairuman menjelaskan, Komisi II mengambil kebijakan politik untuk kepentingan bangsa, yaitu agar administrasi kependudukan di negara ini menjadi lebih baik. Dari pengalaman-pengalaman terdahulu, Komisi II berharap dengan adanya e-KTP, bisa diperoleh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akuntabel dan tidak ada lagi yang dimanipulasi.

Menurutnya, jumlah anggaran e-KTP yang disetujui kala itu sekitar Rp5,9 triliun yang dibagi ke dalam dua tahun. Ia beralasan, DPR menyetujui anggaran multi years (tahun jamak) karena proyek e-KTP memang harus diselesaikan. Bahkan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ketika itu, sempat berjanji akan mundur jika proyek tidak selesai.

Hal itulah, sambung Chairuman, yang membuat Komisi II yakin bahwa sistem administrasi kependukan akan menjadi lebih baik dengan adanya e-KTP. Selain berhasil meyakinkan Komisi II, Chairuman menyebutkan, penyampaian program e-KTP ini juga mampu meyakinkan Menteri Keuangan yang kala itu dijabat Agus Martowardojo.

"Tentu karena Menteri Keuangan diyakinkan bahwa ini bisa untuk dilaksanakan. Sama juga dengan DPR, kok bisa, karena kita diyakinkan bahwa proyek ini bisa kita lakukan. Bahwa kita membutuhkan suatu sistem yang baik, sehingga administrasi kependudukan kita menjadi suatu dasar dari pada administrasi pemerintahan kita," terangnya.(Baca Juga: Agus Martowardojo Bantah Terima Gratifikasi Anggaran E-KTP)

Namun, belakangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan sejumlah penyimpangan dan kerugian negara sebesar Rp2 triliun dalam proyek multi years e-KTP. KPK juga telah menetapkan dua orang tersangka, yakni Irman selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Chairuman mengaku, tidak mengetahui dari segi apa BPKP bisa menilai ada kerugian negara sebesar Rp2 triliun. Sebab, selama menjalankan fungsi pengawasannya dengan melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah, Komisi II selalu mendapatkan laporan bahwa pelaksanaan proyek e-KTP terlaksana dengan baik.

Ia juga tidak mengetahui jika ternyata ada sejumlah pihak yang diduga melakukan penyimpangan dalam proyek e-KTP. Oleh karena itu, Chairuman meminta KPK untuk mengusut tuntas siapa-siapa saja pihak yang bertanggung jawab. Tentu, harus dilihat pula dari mana asal-muasal kerugian negara tersebut.

“Apakah dari segi pelaksanannya, misalnya ada yang tidak selesai, tidak sesuai dengan spesifikasi teknisnya, atau tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Kan itu yang harus dilihat. Sejauh mana, kerugian itu dihitung dari mananya. Kalau memang kerugian negaranya karena aspek pelaksanaan, tentu (dilihat) dari pelaksanaan,” tuturnya.

Kemudian, lanjut Chairuman, jika ada penggelembungan harga (mark up), tentu yang membuat mark up lah yang harus bertanggung jawab secara pidana. Siapa saja yang membuat mark up itu, lalu bagaimana cara dia membuat mark up, harus diteliti dengan baik. “Siapa itu. Kan ada mekanismenya untuk penetapan harga itu,” imbuhnya.

Chairuman sendiri menegaskan dirinya tidak pernah ikut-ikutan dalam pertemuan yang disebut-sebut oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Ia juga enggan menuding adanya keterlibatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam pengaturan proyek e-KTP sebagaimana digadang-gadang oleh Nazaruddin.

Walau begitu, ia berpendapat, sekecil apapun informasi pasti akan ditelusuri oleh penyidik KPK. “Tidak mungkin tidak diusut. Soal benar,tidak benarnya, kan itu dalam penyidikannya, karenamemang penyidikan itu membuat terang perkaranya dan menemukan tersangkanya. Jadi,biarlah KPK yang menindaklanjutinya,” katanya.

Lebih lanjut, Chairuman menyatakan, apa yang disampaikan Nazaruddin bisa jadi cuma pendapat. KPKtentu akan menelusuri sejauh mana keterlibatannya. Sejauh manapula ada pengaturan. Apabila benar ada pengaturan, hal itu bisa diselidiki, mulai dari siapa yang “memainkan”, siapa yang melakukan pertemuan, dimana, dan apa pemufakatannya.

“Ini (dikonfirmasi) kepadabukti-buktiyang ada. Misalnya, kalau dibilang ada pertemuan, pertemuannya dimana. Kan begitu. Ini mengusut biasa saja. Jangan terus kitamenuding. Itulah makanya, kitatidak menjadikan pembuktian terbalik, supayajangan semena-mena. Tidak bisakitamenuduh orang saja, terus suruh orang itu membuktikan,” ujarnya.

Selain Chairuman, KPK juga memeriksa Rudiyanto, Direktur Utama PT Biro Klasifikasi Indonesia yang juga mantan Vice President Strategic Business Unit Rekayasa dan Transportasi PT Sucofindo, Direktur Utama PT Sandipala Artha Putra Paulus Tannos, Lina Rawung (swasta), Direktur Utama PT Polyartha Provitama Ferry Haryanto, Annabella M Kalumata (karyawan PT Polyartha), Dian Farizka (PNS), dan sejumlah saksi lainnya.

Dari sejumlah saksi itu, tiga orang tidak hadir memenuhi panggilan penyidik KPK. Ketiganya adalah Paulus, Lina, dan Dian. Yuyuk mengungkapkan, Paulus dan Lina memberikan keterangan tidak dapat hadir karena ada keperluan. Sementara, Dian, belum diperoleh konfirmasi atas ketidakhadirannya.

Sebelumnya, KPK juga pernah memeriksa Agus Martowardojo, Mendagri Gamawan Fauzi, dan Nazaruddin. Untuk diketahui, dua tersangka dalam kasus ini, Irman dan Sugiharto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Baca Juga: Nazaruddin: KPK Sudah Tetapkan Tersangka Baru E-KTP)

Kasus ini disebut-sebut melibatkan sejumlah pihak. Sebagaimana dikutip dari Antara, Nazaruddin melalui pengacaranya Elza Syarif pernah mengatakan bahwa proyek E-KTP, dikendalikan ketua Fraksi Partai Golkar di DPR yaitu Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.

Dalam dokumen yang dibawa Elza tampak bagan yang menunjukkan hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi proyek KTP elektronik. Pihak-pihak yang tampak dalam dokumen Elza, yaitu Andi Narogong dan Nazaruddin dalam kotak berjudul "Pelaksana" dengan anak panah ke kotak berjudul "Boss Proyek e-KTP" yang berisi nama Novanto dan Anas Urbaningrum.

Kotak bagan "Boss Proyek e-KTP" itu lalu menunjukkan panah ke tiga kotak bagan. Kotak pertama berjudul "Ketua/Wakil Banggar yang Terlibat Menerima Dana" berisi nama (1) Mathias Mekeng AS$500 ribu, (2) Olly Dondo Kambe AS$ 1juta, dan (3) Mirwan Amir AS$500 ribu.

Kotak kedua berjudul "Ketua/Wakil Ketua Komisi II DPR RI yang Terlibat Menerima Dana" berisi nama (1) Haeruman Harahap AS$500 ribu, (2) Ganjar Pranowo AS$500 ribu, dan (3) Arief Wibowo AS$500 ribu. Terakhir, kotak ketiga tanpa judul berisi nama (1) Mendagri (Gamawan/Anas), (2) Sekjen (Dian Anggraeni), (3) PPK (Sugiarto), dan (4) Ketua Panitia Lelang (Drajat Wisnu S).

Pemenang pengadaan E-KTP adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput yang mengelola dana APBN senilai Rp6 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.

Pembagian tugasnya adalah PT PNRI mencetak blangko E-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkan keras AFIS, PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala Arthaputra (SAP) mencetak blanko E-KTP dan personalisasi dari PNRI.

PT Quadra disebut Nazar dimasukkan menjadi salah satu peserta konsorsium pelaksana pengadaan sebab perusahaan itu milik teman Irman dan sebelum proyek e-KTP dijalankan Irman punya permasalahan dengan Badan Pemeriksa Keuangan. PT Quadra membereskan permasalahan tersebut dengan membayar jasa senilai Rp2 miliar, maka teman Kemendagri pun memasukkan PT Quadra sebagai salah satu peserta konsorsium. (Baca Juga: Korupsi E-KTP, Mantan Mendagri Gamawan: Saya Terima Uang? Buktikan Saja!)
Tags:

Berita Terkait