Indonesia Ratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, Apa Pentingnya?
Berita

Indonesia Ratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, Apa Pentingnya?

Masih ada yang perlu diperjelas dalam peraturan teknis.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kapal yang melayani penumpang melewati rute Merak ke Bakauheni. Foto: MYS
Kapal yang melayani penumpang melewati rute Merak ke Bakauheni. Foto: MYS
Pemerintah dan DPR sepakat untuk meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritime 2006 (Maritime Labour Convention). Konvensi itu telah diratifikasi melalui UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR beberapa waktu lalu, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan ratifikasi itu untuk memberi perlindungan kepada pelaut dan awak kapal. Misalnya, perlindungan hukum mengenai upah, syarat kerja, waktu kerja dan istirahat, perawatan medik, jaminan kesehatan dan sosial.

Selain melindungi pekerja ratifikasi Konvensi itu berfungsi meningkatkan kemampuan industri pelayaran sehingga mampu bersaing di ranah internasional, serta meningkatkan koordinasi bidang maritim antar pemangku kepentingan seperti kementerian dan lembaga pemerintah. (Baca juga: Ini yang Harus Diketahui dalam Mendirikan Perusahaan Angkutan Laut).

"Tujuan diadopsinya Konvensi ini untuk memastikan perlindungan bagi hak-hak tenaga kerja pelaut di seluruh dunia dan memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi tenaga kerja pelaut,” kata Hanif.

Pada bagian penjelasan UU No. 15 Tahun 2016, pemerintah wajib menyusun pedoman yang dijadikan panduan bagi pemilik kapal serta awak kapal laut dan pelaut. Pedoman itu diantaranya mengenai perlindungan syarat dan kondisi kerja; perekrutan dan penempatan; pelatihan dan kompetensi kerja; dan penegakan hukum.

Sekretaris Utama BNP2TKI, Hermono, mengatakan setelah meratifikasi konvensi tersebut pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah. Aturan teknis itu dibutuhkan untuk menjalankan berbagai amanat yang tertuang dalam konvensi tersebut. “Pelaksanaan konvensi itu membutuhkan PP sebagai aturan operasional,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (09/11).

Hermono menjelaskan selama ini perlindungan terhadap pelaut dan awak kapal belum optimal. Salah satu sebab yakni minimnya aturan yang jelas mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab untuk menangani persoalan yang dihadapi pelaut dan awak kapal.

Praktik yang berjalan selama ini, perlindungan terhadap pelaut dan awak kapal Indonesia yang berada di luar negeri ditangani Kementerian Luar Negeri. BNP2TKI baru melakukan tindakan jika persoalan itu terjadi di wilayah Indonesia. “Ini yang perlu diperjelas, untuk menyelesaikan masalah yang dialami pelaut dan awak kapal ini siapa leading sector-nya?,” papar Hermono.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan peraturan teknis memang diperlukan, tapi yang paling penting pemerintah harus menyesuaikan segala peraturan terkait pelaut dan awak kapal agar sesuai amanat konvensi itu. Hak-hak fundamental pelaut dan awak kapal seperti upah layak dan perlindungan harus dijamin.

“Ratifikasi Konvensi ini merupakan langkah baru bagi pemerintah untuk harmonisasi kebijakan perlindungan dan penempatan pelaut dan awak kapal,” ujar Anis. (Baca juga: Pemerintah Investigasi Kasus Perbudakan ABK di Benjina).

Anis berpedapat sampai saat ini Indonesia belum punya standar perlindungan bagi pelaut dan awak kapal. Aturan tentang penempatan lebih banyak diterbitkan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sehingga dimensi perburuhannya minim. “Bagaimana mekanisme perlindungan? Lembaga mana yang memastikan hak-hak pelaut dan awak kapal terlindungi? Itu yang perlu diperjelas pemerintah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait