Tak Ada Konsep Penyidikan Pidana Terbaik yang Berlaku untuk Semua
Berita

Tak Ada Konsep Penyidikan Pidana Terbaik yang Berlaku untuk Semua

Membangun semangat kerjasama antar lembaga penegak hukum sangat penting.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Suasana kuliah umum Chris Stone di kampus UI Salemba, Rabu (09/11). Foto: EDWIN
Suasana kuliah umum Chris Stone di kampus UI Salemba, Rabu (09/11). Foto: EDWIN
Apakah ada sistem peradilan pidana yang paling ideal? Bagaimana konsep penyidikan paling ideal dalam sistem peradilan pidana? Jawaban atas pertanyaan ini ternyata tak mudah. Setidaknya begitulah yang terekam dalam kuliah umum ahli sistem peradilan pidana asal Amerika Serikat, Christopher Stone di kampus Universitas Indonesia, Salemba Jakarta, Rabu (09/11).

Acara ini digelar Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Yayasan Tifa; dihadiri sejumlah akademisi dan praktisi hukum.

Christopher Stone, Presiden Open Society Foundation, mengatakan tidak ada konsep terbaik yang berlaku untuk semua negara. Masing-masing konsep punya kelebihan dan kekurangan. Profesor dalam Praktik Sistem Peradilan Pidana itu menjelaskan empat sudut pandang umum untuk memahami sistem peradilan; dan tiga isu utama dalam pembahasan konsep ideal sistem peradilan pidana. (Baca juga: Seandainya Sistem Peradilan Pidana Itu Perusahaan Privat).

Pertama, Stone menekankan pentingnya untuk memperjelas kembali makna keadilan. Bagi Stone, keadilan adalah hal yang seringkali dilupakan sebagai esensi penegakan hukum. Dengan beragam teori keadilan yang umum diketahui, Stone memilih makna keadilan sebagai terpenuhinya kebutuhan para pencari keadilan secara seimbang ketimbang sekadar dimaknai sebagai pelaksanaan kebiijakan publik yang dibuat Pemerintah untuk menjaga ketertiban.

Kedua, perlu dipastikan hukum haruslah dapat bekerja di masyarakat karena keberadaannya yang memang dihormati. Hukum bukan sekadar produk parlemen dalam bentuk undang-undang tertulis atau pun putusan hakim di pengadilan.  Hanya dengan adanya penghormatan pada hukum oleh masyarakat maka hukum dapat ditegakkan. Oleh karena itu hukum harus memperhatikan aspek sosial dalam pembuatannya. (Baca juga: Kitab-Kitab tentang Hukum yang Membebaskan).

Ketiga, Chris Stone –begitu namanya sering disingkat-- meyakinkan tidak ada masyarakat hukum yang sepenuhnya ideal dalam semua aspek penegakan keadilan sehingga dapat dijadikan contoh mutlak. Contoh yang dianggap baik dari sistem peradilan di tempat lain dapat menjadi inspirasi untuk diadaptasi namun pada akhirnya sistem terbaik harus digali dan ditemukan dari keunikan masing-masing wilayah dalam pengalaman sejarahnya.

Keempat, yang terpenting dari semua upaya perbaikan kualitas sistem peradilan adalah keberlanjutannya. Perubahan sosial yang terus terjadi membutuhkan reformasi berkelanjutan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan para pencari keadilan yang juga terus berubah.

Tiga Isu Utama
Isu pertama yang dipaparkan Stone adalah pembagian peran lembaga Kepolisian dan Kejaksaan. Mengambil contoh dari negara maju Jerman dan Prancis, Stone menyatakan kerja Kepolisian berada di bawah lembaga Kejaksaan, Inggris yang pernah menggabungkan peran penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan dalam satu lembaga Kepolisian, Stone meyakinkan bahwa yang terpenting perbaikan sistem peradilan harus fokus pada memilih cara yang paling efektif sebagai tujuan, bukan pembagian kelembagaannya.

Isu kedua adalah keberadaan pendampingan hukum dalam penyidikan tersangka. Di berbagai negara metode penyidikan selalu menggunakan kekerasan dengan beragam variasinya. Keberadaan advokat yang disediakan untuk mendampingi tersangka menjadi perhatian untuk mengurangi cara-cara kekerasan yang sering dilakukan Kepolisian untuk mempercepat penyidikan, namun justru sering memaksa orang tidak bersalah untuk diadili. Pendampingan hukum yang memadai sejak awal tahapan sistem peradilan pidana merupakan cara untuk memastikan keadilan ditegakkan. (Baca juga: Inilah Poin-Poin Kontrak Bantuan Hukum 2015).

Isu terakhir yang diajukan Stone adalah perlunya keberanian untuk melakukan eksperimen skala lokal dalam inovasi perbaikan proses penyidikan tanpa perlu menunggu keberadaan undang-undang yang mengatur dalam skala nasional. Menurutnya cara ini lebih baik ketimbang membuat aturan secara top down yang justru belum teruji efektifitasnya.

Stone menyebut contoh di China dimana pada beberapa wilayah kepolisian mencoba merekam jalannya penyidikan walaupun belum ada hukum yang mengaturnya. Hasilnya, tingkat kekerasan penyidik China yang sangat tinggi mulai menurun. Setelah terbukti efektif barulah  ketentuan ini diundangkan. Dengan demikian, Stone mendorong berbagai upaya eksperimen ini dilakukan secara berani oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Dalam kuliah umum bertajuk The Ideal Concept of Investigation in Criminal Justice System itu Stone terus terang mengakui belum mengetahui pengalaman yang dimiliki oleh sistem peradlian pidana Indonesia dan mendorong seluruh pihak yang terlibat dalam sistem peradilan agar mengambil inspirasi pengalaman negara lain dengan tetap menemukan formulasi yang sejalan dengan karakter masyarakat di Indonesia.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, menilai koordinasi penyidik Polisi dan Jaksa penuntut umum masih belumberjalan baik dalam menyusun berkas perkara. Hubungan kedua lembaga penegak hukum masih belum terbangun, terutama untuk menyusun berkas perkara sebaik mungkin dalam upaya mengajukan tuntutan penegakan keadilan di pengadilan.

Komisioner KPK Laode M.Syarief mengatakan kesamaan kewenangan penyidikan hingga penuntutan atas kasus korupsi antara polisi dan jaksa sering memunculkan sikap saling menunggu dalam memulai pengusutan suatu dugaan kasus korupsi.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ninik Rahayu, mengungkapkan keluhan masyarakat terhadap kepolisian atau tahap penyidikan masih banyak. Standarisasi yang ditentukan KUHAP masih sering diabaikan.
Tags:

Berita Terkait