Ini Catatan Kritis ICW Terhadap 2 Tahun Kinerja Jaksa Agung
Berita

Ini Catatan Kritis ICW Terhadap 2 Tahun Kinerja Jaksa Agung

ICW menyebutkan sejumlah kasus korupsi yang dihentikan penanganannya oleh Kejaksaaan ternyata melibatkan berbagai politisi dari partai koalisi pemerintah.

Oleh:
CR21/ANT
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
Jaksa Agung HM Prasetyo. Foto: RES
LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan catatan kritis atas kinerja Kejaksaan Agung. Kali ini, sorotan tajam kembali ditujukan pada sosok Jaksa Agung H.M Prasetyo. Tidak tanggung-tanggung, ICW menyatakan Jaksa Agung telah gagal dan harus segera diganti. Dalam rilisnya atas evaluasi dua tahun kinerja Jaksa Agung (November 2014-November 2016), ICW menyatakan tidak ada alasan yang masuk akal bagi Presiden untuk mempertahankan H. M Prasety sebagai Jaksa Agung.

Tepat setahun yang lalu, ICW telah mengajukan tuntutan yang sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sejak awal pengangkatannya, H.M Prasetyo telah menerima mosi tidak percaya dari berbagai kalangan aktivis oegiat antikorupsi. Hal utama yang menjadi alasan adalah latar belakang Prasetyo sebagai politisi partai politik (parpol).

Alasan tersebut kembali dikemukakan ICW sebagai salah satu parameter evaluasi dua tahun kinerja Kejaksaan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung H.M Prasetyo. Terdapat sejumlah indikasi adanya loyalitas ganda terhadap kepentingan partai politik, di mana pilah-pilih penanganan kasus korupsi justru lebih menguntungkan partai politik. (Baca Juga: Kinerja Dibanding-bandingkan dengan KPK, Ini Curhat Kajati Jawa Barat)

ICW menyebutkan sejumlah kasus korupsi yang dihentikan penanganannya oleh Kejaksaaan ternyata melibatkan berbagai politisi dari partai koalisi pemerintah termasuk parpol asal H.M Prasetyo. Salah satunya kasus dugaan korupsi Bupati Bone yang juga menjabat sebagai Ketua DPW Partai Nasdem. Juga penerbitan SP3 dalam kasus dugaan korupsi Bupati Bantul yang berasal dari PDIP.

Secara khusus staff divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Ardila Caesar, mempertanyakan kasus Gubernur Sumatera Utara yang dijerat atas korupsi dana bansos karena telah mengangkat Wakil Gubernur saat itu dari Partai Nasdem ke kursi Gubernur. Sementara, ada upaya suap yang dilakukan oleh Sekjen partai Nasdem saat itu Rio Capella kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk mengamankan penyidikan oleh Kejaksaan.

Catatan lain yang diberikan oleh ICW adalah tuntutan Jaksa untuk koruptor masih sangat ringan jika dibandingkan dengan kerugian Negara yang ditimbulkan. Sekitar 332 perkara yang ditangani Kejaksaan dalam kurun November 2016-November 2016 telah diputus pengadilan. Namun, 231 terdakwa dituntut ringan di bawah 4 tahun penjara. Mayoritas terdakwa tindak pidana korupsi dituntut ringan dibawah 4 tahun penjara. Atau dalam hitungan rata-rata tuntutan pidana pada koruptor sepanjang periode tahun kedua Jaksa Agung hanya 3 tahun 4 bulan penjara.

ICW menilai disparitas antara tuntutan pidana yang diajukan Kejaksaan dengan kerugian Negara yang dirimbulkan begitu jauh. “Idealnya penuntutan terdakwa pidana korupsi mempertimbangkan bobot kesalahan terdakwa serta kerugian yang dialami Negara,” kata Ardila. (Baca Juga: Ingin Jadi Jaksa? Ini 5 Hal Yang Wajib Dimiliki Mahasiswa Hukum)

NoPerkaraKerugian NegaraTerdakwaTuntutan
154/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.PstRp 39.723.165.000,00Anis Alwainy2 tahun
22830K/Pid.Sus/2015Rp 34.933.800.000,00Hariyono4 tahun
301/Pid.Sus.-TPK/2016/PN.KpgRp 14.387.927,52Andi Sianto4 tahun
4173/Pid.Sus-TPK/2015/PN.BdgRp 27.000.000,00Rosidin2 tahun
5126/Pid.Sus-TPK/2015/PN.BdgRp 7.300.000.000,00Alex Tahsin Ibrahim2 tahun
6151/PID.SUS-TPK/2015/PN.BdgRp 1.300.000.000,00Nunung Budiana2 tahun 4 bulan
747/PID.SUS-TPK/2015/PN.PlkRp 679.711.566,00Suder Samsid2 tahun 6 bulan
815/Pid.Sus-TPK/2015/PN TteRp 4.000.000.000,00Abdurahman Hoda2 tahun 6 bulan
Sumber: rilis ICW 17 November 2016

Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung bahkan hanya menuntut 18 bulan penjara pada kasus korupsi proyek Pembangunan tiga Puskesmas dan RSUD Tangerang Selatan yang merugikan keuangan Negara Rp 9,6 miliar. Begitu pula tuntutan ringan 18 bulan penjara pada kasus korupsi pembebasan lahan proyek PLTU di Indramayu padahal kerugian Negara begitu besar.

Aktor kasus korupsi yang ditangkap oleh Kejaksaan pun kebanyakan bukanlah pelaku dari pejabat strategis. Hal ini menimbulkan prasangka bahwa terjadi kompromi untuk membebaskan pelaku dari kalangan pejabat kelas kakap.

Di samping itu, dalam bidang reformasi birokrasi Jaksa Agung juga tidak berhasil membuat masyarakat dapat memiliki akses informasi yang mudah dalam setiap perkara yang tengah ditangani Kejaksaan. Kejakasaan Agung sendiri hingga kini belum memiliki sistem database maupun mekanisme rilis publik dalam setiap penanganan perkara. (Baca Juga: HUT Adhyaksa ke-56, Ini Penilaian Koalisi Pemantau Peradilan)

Wana Alamsyah, staf divisi investigasi ICW mencontohkan, pada 2015 ICW sampai harus meminta bantuan mediasi Komisi Informasi Pusat (KIP) karena terjadi sengketa dengan Kejaksaan hanya untuk memperoleh data perkara-perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung. Sementara ketika ICW meminta data yang sama dari perkara di KPK justru sangatlah mudah diberikan. “Padahal, transparansi adalah salah satu isu yang menjadi indokator reformasi peradilan,” kata Wana.

Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga Negara juga menunjukkan di tahun 2016 terjadi ‘penurunan kelas’ di mana Kejaksaan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian menjadi Wajar Dengan Pengecualian. Secara Akuntabilitas kinerja, Kemenpan RB melansir bahwa Kejaksaan Agung adalah lembaga di posisi terbawah, yaitu peringkat 86 dengan skor 50,2 dengan peringkat CC dari keseluruhan Kementerian/Lembaga Negara yang ada di Indonesia.

Pembinaan Jaksa yang menuai ketidakpuasan dari para Jaksa sendiri menambah daftar panjang rapor merah Jaksa Agung. Rekrutmen, pendidikan, mutasi, dan promosi Jaksa belum berjalan dengan baik. Merit system belum diprioritaskan sebagai program yang dibangun dalam birokrasi Kejaksaan.

Selama menjabat bahkan Jaksa Agung telah digugat ke Pengadilan TUN dari dua orang Jaksa atas mutasi dan pencopotan yang mereka alami. H.M Prasetyo juga tidak segera mengisi posisi Wakil Jaksa Agung sejak Januari 2016 untuk membantunya berperan menangani reformasi birokrasi di Kejaksaan.

Enggan Menanggapi
Sementara itu, Jaksa Agung H.M Prasetyo enggan menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai kinerjanya selama dua tahun terakhir tidak memuaskan. "Saya tidak harus menanggapi panjang lebar, saya hanya prihatin. ICW tidak tahu atau tidak mau tahu apa yang telah dilakukan dan yang sedang kita lakukan dan sudah kita lakukan," katanya.

Ia menambahkan, ICW tidak tahu dinamika penegakan hukum sekarang seperti apa karena itu kejaksaan tidak akan terpengaruh dengan penilaian dan pernyataan seperti itu. Mungkin teman-teman ICW juga lupa, bahwa penegakan hukum itu tidak harus selalu represif atau penindakan tapi juga preventif. Itu yang kita lakukan, katanya.
Terkait dengan tudingan adanya intervensi politik di dalam penanganan kasus dugaan tindak korupsi oleh ICW, Prasetyo membantah siapa yang intervensi politik dan tidak ada uruskan dengan politik.

"Gak ada seperti itu, jangan menuduh tanpa dilandasi dengan bukti-bukti. Kita semuanya berjalan atas bukti, semuanya kita jalankan dengan ketentuan yang ada. Nilai apapun silakan, itu hak mereka menilai," paparnya.

Tags:

Berita Terkait