Urus Perkara Terkait Lippo Group, Panitera PN Jakpus Dituntut 8 Tahun Bui
Berita

Urus Perkara Terkait Lippo Group, Panitera PN Jakpus Dituntut 8 Tahun Bui

Edy Nasution akan menyampaikan pembelaan pribadi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (7/9).
Terdakwa Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (7/9).
Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution dituntut dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp300 juta subsidair lima bulan kurungan. Penuntut umum KPK Dzakiyul Fikri meminta majelis hakim yang diketuai Sumpeno untuk menyatakan Edy terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah pihak.

"Menuntut majelis menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kesatu pertama dan Pasal 12 B UU Tipikor dalam dakwaan kedua," katanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/11).

Menurut Dzakiyul, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, Edy terbukti menerima hadiah uang sejumlah Rp2,3 miliar yang terdiri dari Rp1,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura, Rp100 juta, AS$50 ribu, dan Rp50 juta. Uang Rp1,5 miliar itu untuk pengurusan perubahan redaksional surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi  lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitite No.232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang yang dikuasi PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC).

Sementara, uang Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran (aanmaning) perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) PT MTP dengan Kwang Yang Motor Co Ltd (Kymco) melalui PN Jakarta Pusat sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) No.62 Tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013, ARB No.178 Tahun 2010. Penerimaan uang AS$50 ribu ditambah Rp50 juta untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meskipun telah melewati batas waktu dan membantu perkara yang masih dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat.

Dzakiyul mengungkapkan, uang-uang tersebut berasal dari Doddy Ariyanto Supeno yang diberikan secara bertahap atas arahan Staf Legal PT Artha Pratama Anugrah, Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Direktur PT Paramount Enterprise Internasional (PEI) Ervan Adi Nugroho, Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), Hery Soegiarto, dan mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.  

Sesuai fakta persidangan, Lippo Group sebagai holding company dengan beberapa perusahaan, diantaranya PT JBC, PT PEI, PT MTP, dan AAL. Perusahaan-perusahaan ini menghadapi permasalahan hukum pada peradilan tingkat pertama, diantaranya PN Jakarta Pusat dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). (Baca Juga: Panitera PN Jakpus Didakwa Urus Tiga Perkara Dibantu Nurhadi)

Dalam rangka pengurusan perkara-perkara terkait Lippo Group itu, Eddy meminta Wresty untuk berhubungan dengan Edy di PN Jakarta Pusat. Bahkan, sesuai bukti yang ditunjukan di persidangan, Hesti atas arahan Eddy membuat memo terkait pengurusan aanmaning PT MTP yang ditujukan kepada Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Sebab, Nurhadi dianggap sebagai ‘promotor’ dan dianggap dapat membantu agar putusan SIAC yang mengharuskan PT MTP membayar ganti rugi AS$11,1 juta tidak dapat dieksekusi.

Lalu, sesuai fakta hukum yang terungkap dari rangkaian alat bukti keterangan saksi, terdakwa, surat, serta petunjuk berupa data elektronik pesan BBM dan rekaman percakapan telepon, uang AS$50 ribu dab Rp50 juta itu diterima Edy untuk pengurusan PK perkara niaga PT AAL melawan First Media yang pendaftarannya sudah melewati batas waktu.

Dzakiyul melanjutkan, walau telah melebihi tenggat waktu pengajuan PK, Edy tetap menghendaki dan menyetujui pengiriman ulang putusan MA kepada PT AAL melalui kuasa hukum yang baru. "Karena adanya penerimaan uang AS$50 ribu yang diakui terdakwa, yang selanjutnya berkas perkara PT AAL dianggap terdakwa telah lengkap dan juga telah dihubungi melalui telepon oleh Nurhadi untuk segera dikirimkan pengajuan PK PT AAL ke MA," ujarnya.

Sama halnya dengan uang Rp50 juta. Penuntut umum Titto Jaelani mengatakan, meski uang Rp50 juta itu diakui sebagai hadiah perkawinan anak Edy, tetapi fakta persidangan menunjukan bahwa uang tersebut tidak ada kaitannya dengan kado pernikahan anak Edy. Melainkan sebagai hadiah untuk mempengaruhi agar Edy tetap bisa membantu perkara-perkara Lippo Group yang masih berproses di PN Jakarta Pusat.

Selain itu, sambung Titto, jumlah uang yang diberikan cukup besar dan diberikan secara sembunyi-sembunyi atau di tempat yang tidak diketahui umum, yakni di area parkir basement Hotel Acacia, Jakarta. Hal ini dikuatkan juga dengan komunikasi percakapan telepon dan BBM antara Edy dengan Hesti maupun Doddy yang tidak pernah membicarakan soal hadiah perkawinan. Terlebih lagi, penerimaan ini telah dikuatkan dengan adanya putusan perkara Doddy. (Baca Juga: Penyuap Panitera PN Jakpus Divonis 4 Tahun)

Kemudian, untuk penerimaan gratifikasi sejunlah Rp10,35 juta, AS$70 ribu, dan Sing$9852, menurut Titto, awalnya ditemukan petugas KPK saat penggeledahan di ruang kerja dan dompet Edy pada 20 April 2016. Di hadapan persidangan, Edy mengaku, uang AS$50 ribu yang merupakan bagian dari AS$70 ribu itu berasal dari kuasa hukum PT AAL.

Namun, selebihnya, untuk uang Rp10,35 juta, AS$20 ribu, dan Sibg$9852, Titto berpendapat, Edy tidak cukup membuktikan bahwa uang-uang tersebut berasal dari penghasilan yang sah. Apalagi, Edy tidak pernah melaporkan penerimaan-penerimaan itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Sebagaimana ketentuan UU Tipikor, Edy selaku penyelenggara negara wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya gratifikasi. Berdasarkan ketentuan UU Tipikor pula, pembuktian gratifikasi dengan nilai Rp10 juta atau lebih bukan sebagai uang suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

"Berdasarkan uraian di atas, kami menyimpulkan, uang sebesar Rp10,35 juta, uang dalam bentuk dollar Amerika Serikat sejumlah As$20 ribu, dan uang dalam bentuk dollar Singapura sejumlah Sing$9852 adalah diterima oleh terdakwa sebagai gratifikasi yang haus dianggap sebagai suap," terang Titto.

Dengan demikian, penuntut umum menilai semua unsur dalam dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua telah terpenuhi. Adapun hal-hal memberatkan, antara lain perbuatan Edy menciderai eksistensi lembaga peradilan dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Sementara, hal-hal meringankan, salah satunya, Edy mengakui menerima uang AS$50 ribu dan Rp50 juta terkait pengurusan PK PT AAL saat dilakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Atas tuntutan penuntut umum, pengacara Edy, Waldus Situmorang menyatakan akan mengajukan nota pembelaan (pledoi). "Setelah berkonsultasi dengan terdakwa, mengenai pembelaan, kami akan melakukan pembelaan melalui penasihat hukum dan terdakwa secara pribadi," tuturnya. Ketua majelis hakim Sumpeno memberikan waktu 10 hari bagi Edy dan pengacaranya untuk menyusun pembelaan. Sumpeno mengagendakan sidang pembacaan pledoi pada Rabu, 30 November 2016. (Baca Juga: Memo untuk “Sang Promotor”, Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group)
Tags:

Berita Terkait