11 Catatan Kritis Pengusaha untuk Revisi UU Antimonopoli
Utama

11 Catatan Kritis Pengusaha untuk Revisi UU Antimonopoli

Dalam proses pembahasan di Parlemen sebaiknya kalangan pengusaha dilibatkan.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Pemerintah dan Komisi VI DPR sudah sepakat untuk melakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1999  tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Draf RUU Antimonopoli sudah masuk ke Badan Legislasi DPR (Baleg). Jika disetujui sebagai usul inisiatif DPR, RUU akan segera dibahas parlemen dan Pemerintah.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selaku pihak yang berkepentingan atas RUU ini sudah menyampaikan bagian-bagian mana dari UU Antimonopoli yang perlu direvisi dan apa saja yang perlu ditambahkan. Para pemangku kepentingan juga mulai merespons draf perubahan itu, antara lain Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Dalam jumpa pers yang digelar Rabu (23/11), Apindo membeberkan sebelas masukan terhadap RUU Antimonopoli. Ketua Tim Ahli DPN Apindo, Sutrisno Iwantono, mengatakan Apindo meminta DPR dan Pemerintah melibatkan pengusaha saat pembahasan RUU Antimonopoli. Hingga kini, kata dia, Apindo belum dimintai masukan secara resmi.

“Mengingatkan DPR untuk mensinergikan pembahasan RUU Antimonopoli kepada pelaku usaha. Bukan hanya RUU Antimonopoli saja, tapi seluruh Undang-Undang yang menyangkut pelaku usaha, melibatkan pelaku usaha,” kata Iwan. (Baca: Revisi UU Antimonopoli Akomodasi Konsep Justice Collaborator).

Khusus untuk revisi UU Antimonopoli ada 11 masukan Apindo. Pertama,  tentang dasar-dasar filosofi UU Persaingan Usaha. Menurut Iwan, azas dan tujuan UU Persaingan Usaha bukanlah menghukum atau mematikan dunia usaha, tetapi menciptakan iklim fair play dalam berbisnis. Hukum persaingan usaha merupakan instrumen ekonomi yang digunakan untuk memastikan bahwa persaingan antar pelaku usaha berlangsung dengan sehat, adil, dan hasilnya dapat terukur berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama rakyat kecil.

Kedua, mengenai substansi dan struktur. Apindo setuju UU Antimonopoli direvisi karena harus disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan politik negara. Namun, revisi harus dilakukan komprehensif terutama mengenai struktur, kelembagaan KPPU, hukum acara, kewenangan, perekrutan anggota KPPU, tolok ukur pembuktian, sanksi dan denda, kode etik dan pengawasan serta muatan-muatan baru yang diperlukan agar kepentingan umum dapat dikedepankan. “Dan bukan semata-mata untuk menambah kewenangan KPPU,” tegas Iwan.

Ketiga, tentang pengertian praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Menurut Apindo, pengertian praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat harus dibuat lebih jelas agar tidak menimbulkan pasal karet. Definisi ‘monopoli dan persaingan usaha tidak sehat’ dalam UU Antimonopoli saat ini dianggap masih kabur. Tidak ada tolok ukur yang jelas dan tegas sehingga pengertian tersebut menjadi pasal karet.

Keempat, mengenai kelembagaan KPPU. Bagi Apindo, kelembagaan KPPU saat ini dinilai bersifat super power. Jika KPPU merasa bak macan ompong, kiranya perlu dikaji lebih jauh sistem kelembagaan KPPU secara menyeluruh. (Baca juga: Revisi UU Antimonopoli, Pengusaha Usulkan Dewan Pengawas KPPU).

Termasuk mengkaji ulang apakah model adopsi UU Antimonopoli yaitu integrated model ( KPPU bertindak sekaligus sebagai pelapor, pemeriksa (penyidik), penuntut (jaksa), dan pemutus) masih relevan atau tidak di Indonesia. “Kami mengusulkan KPPU punya fungsi sebagai pelapor, pemeriksa, penuntut. Sedangkan fungsi hakim harus dipisahkan dan berada di dalam sistem peradilan biasa atau ada hakim khusus semacam pengadilan Tipikor dan KPK,” tambahnya.

Kelima, tentang definisi atau batasan ‘terlapor’. Dalam UU Antimonopoli definisi terlapor hanyalah pelaku usaha. Dalam draft amandemen, terlapor adalah pelaku usaha dan pihak lain. Unsur ‘pihak lain’ ini bisa menjadi pasal karet yang akan menyasar siapa saja.

Keenam, tentang denda dan hukuman. Dalam rancangan RUU Antimonopoli denda hukuman akan ditingkatkan dari Rp25 miliar menjadi 30 persen dari omset. Menurut Apindo, hal ini berpotensi mengganggu iklim usaha dan demotivated investor sehingga berakibat kontraproduktif bagi ekonomi nasional. Putaran omzet yang tinggi tidak otomatis menghasilkan keuntungan yang tinggi, pengenaan denda berdasarkan omzet bisa membuat pelaku usaha gulung tikar.

“Kami berpendapat denda dan penalti seharusnya dihitung berdasarkan illegal profit, yaitu keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha dari perilaku tidak sehat,” urainya.

Ketujuh, tentang keharusan membayar denda atau penalti di depan. Jika terlapor melakukan keberatan atau banding harus terlebih dahulu menyetor denda sebesar 10 persen di muka. Apindo menilai ketentuan ini menyulitkan ketika terlapor dinyatakan tidak bersalah, bagaimana cara menarik kembali uang yang sudah terlanjur masuk ke kas negara. Pidana denda hingga Rp2 triliun atau penjara selama-lamanya dua tahun hanya akan membuat trauma pelaku usaha dan malas berinvestasi.

Kedelapan, tentang notifikasi merger atau akuisisi. Dalam revisi UU Antimonopoli mengarah kepada pre merger notification. Apindo menilai perlu ada ketentuan teknis yang sederhana dan jangan sampai menghambat kegiatan usaha atau membatalkan niat merger. Notifikasi dalam bentuk pembelian aset akan menimbulkan komplikasi baru sebab perusahaan yang akan membeli aset apapun harus melapor ke KPPU. Aturan ini bisa kontraproduktif terhadap proses pembangunan ekonomi.

Kesembilan, tentang kode etik dan Dewan Pengawas. Apindo berpendapat perlu ada kode etik dan Dewan Pengawas KPPU yang merupakan lembaga terpisah dan bukan bersifat adhoc. Ini diperlukan untuk mengawasi agar tidak terjadi abuse of power.

Sepuluh, mengenai extra territory law enforcement. Usulan penambahan kewenangan KPPU untuk melakukan tindakan hukum kepada perusahaan asing yang berada di luar wilayah Indonesia perlu dipertimbangkan secara sangat hati-hati. Hal ini tercantum di dalam pengertian pelaku usaha dalam draft amandemen bahwa KPPU dapat menjangkau pelaku usaha yang berada di luar wilayah Indonesia. Pasalnya, setiap penerapan hukum yang bersigat extra territory, harus diawali dengan perjanjian dalam bentuk treaty antar negara. Syarat utama yang harus dilakukan adalah harmonisasi penerapan hukum persaingan antar negara yang sifatnya adalah resiprokal. (Baca juga: Kedepankan Asas Resiprokal dalam Kerjasama Perbankan ASEAN).

“Karena bersifat resiprocity, maka perlu dikaji manfaat dan kerugiannya bagi kepentingan nasional. Karena kemungkinan besar akan lebih banyak perusahaan Indonesia yang ditindak oleh otoritas persiangan usaha di negara lain,” tutur Iwan.

Sebelas, tentang penafsiran dan pengaturan lebih lanjut pasal-pasal UU. Di dalam draft revisi UU Antimonopoli, terdapat banyak sekali pasal-pasal yang menyatakan “ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini ditentukan oleh KPPU.” (Baca juga: Akademisi ‘Melarang’ KPPU Menafsirkan UU).

Apindo menilai tidak lazim sebab aturan lebih lanjut tentang UU lazimnya adalah bentuk Peraturan Pemerintah. Menyerahkan kewenangan tersebut kepada KPPU akan menimbulkan persoalan conflict of interest, dan memberikan kewenangan berlebih hak monopoli tafsir atas Undang-Undang kepada KPPU. “Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam implementasinya,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait