Advokat Usul Perlu ‘Upaya Paksa’ Laksanakan Putusan MK
Berita

Advokat Usul Perlu ‘Upaya Paksa’ Laksanakan Putusan MK

Majelis meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Persoalan “mandulnya” pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya dipersoalkan 26 advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI). Lewat uji materi ke MK, FAMI mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Spesifik, mereka mengajukan uji materiil Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan. Bagi Pemohon empat pasal tersebut terkait kewajiban untuk mematuhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Namun, dalam praktiknya tidak semua putusan MK ditaati/dilaksanakan pemangku kepentingan.

Kenyataan di lapangan masih banyak Putusan MK bersifat non-executable (tidak dapat dijalankan),” ujar salah satu pemohon, Saiful Anam dalam sidang perdana yang dipimpina Wahiddudin Adams di ruang sidang MK, Selasa (22/11) kemarin, seperti dikutip laman MK.

Pasal 10 ayat (1) UU MK menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Pasal 47 UU MK menyebutkan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”

Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan ”Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: l. Mematuhi Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”

Saiful menegaskan  fakta di lapangan Putusan MK banyak yang bersifat non-executable. Karena itu, bagi Pemohon tidak cukup apabila pelaksanaan putusan MK disandarkan atau menekankan pada asas self respect dankesadaran hukum para pihak manapun, seperti pemerintah, DPR, pejabat publik, perseorangan, badan hukum, dan pihak terkait.

“Setiap orang termasuk pejabat publik harus sadar, patuh, dan taat pada Putusan MK. Ketika ada pejabat yang secara terang-terangan membangkang, sesungguhnya pejabat publik tersebut tak layak mengemban jabatan, konsekuensinya harus diberhentikan dari jabatan publik,” kata dia.(Baca juga: 5 Nasihat Agar Advokat Terhindar dari Korupsi).

Dia mengingatkan sebuah putusan pengadilan termasuk putusan MK terikat asas res judicata pro veritate habetur. Artinya, apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. “Perlu upaya paksa dalam usaha melaksanakan Putusan MK yang mesti tercantum dalam pasal-pasal yang berkaitan kekuatan mengikat Putusan MK,” harapnya.

Karenanya, FAMI meminta agar ketiga pasal tersebut dimaknai inkonstitusional bersyarat dengan menambahkan frasa “dan atau serta harus dilaksanakan”. Khusus Pasal 7 ayat (2) huruf l UU Administrasi Pemerintahan dimaknai inkonstitusional bersyarat dengan menambahkan frasa “Mahkamah Konstitusi dan…

Nasihat Majelis
Menanggapi permohohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo mengkritisi jumlah pemohon yang sebagian besar tidak hadir dalam persidangan. Menurutnya, FAMI terdiri dari 26 advokat, namun yang hadir tak sampai sejumlah itu. “Ini bisa sebagai ketidakseriusan dalam permohonan ini. Karena Saudara tidak memakai kuasa hukum, sehingga semua Pemohon mesti hadir,” harapnya.

Meski begitu apabila semua pemohon tidak dapat hadir, Suhartoyo menyarankan agar permohonan diperbaiki sehingga tidak semua anggota FAMI menjadi pemohon prinsipal. “Ini bisa dibagi ada yang menjadi pemohon prinsipal dan ada menjadi kuasa hukum. Sehingga nanti tak semua mesti hadir dan cukup diwakilkan kuasa hukumnya,” sarannya.

Wahiduddin meminta Pemohon mempertajam legal standing-nya dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Misal FAMI ini apa, tujuannya apa. Kenapa bisa concerndalam hal seperti ini, kerugian yang dialami anggota FAMI itu bagaimana?” ujarnya mengingatkan.

Untuk diketahui, dalam praktik tidak semua putusan MK bisa dilaksanakan oleh pemangku kepentingan. Salah satu contoh konkrit, terbitnya putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan PK diajukan lebih dari sekali dengan membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak ditaati MA. Melalui terbitnya SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang tertanggal 31 Desember 2014 yang tetap membatasi permohonan PK hanya sekali. MA menganggap putusan MK itu dianggap putusan nonexecutable alias tidak bisa diimplementasikan dalam praktik.

Dalam suatu kesempatan, Ketua MK Arief Hidayat pernah menyatakan bahwa pelaksanaan setiap putusan MK tergantung dari kesadaran hukum stakeholders (pemangku kepentingan). Sebab, MK berdalih tidak memiliki lembaga eksekutor, seperti MA dan pengadilan di bawahnya. Misalnya, kalau MA menghukum hukuman mati seseorang, pelaksanaannya dilakukan Kejaksaan.
Tags:

Berita Terkait