Ini 9 Arah Reformasi Pajak di Tahun 2017
Berita

Ini 9 Arah Reformasi Pajak di Tahun 2017

Salah satunya adalah perlunya penguatan lembaga otoritas administrasi pajak yang lebih otonom.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Program pengampunan pajak (tax amnesty) periode II masih tersisa satu bulan lagi. Program ini diharapkan dapat menjadi titik awal perbaikan sistem perpajakan atau reformasi pajak di Indonesia. Lalu bagaimanakan arah reformasi pajak di Indonesia sebaiknya dilakukan?

Pengamat Pajak Darussalam mengatakan bahwa setidaknya ada sembilan arah reformasi pajak yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, reformasi pajak harus dilakukan dengan konsisten dan diperjuangkan dalam bentuk revisi UU KUP, UU PPH, dan UU PPN. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem pemajakan yang berkepastian hukum dan berkeadilan.

Selain itu, desain bangun ketiga UU tersebut harus mampu mewujudkan sistem pajak Indonesia yang sesuai dengan persfektif ekonomi nasional, sesuai dengan perkembangan zaman, lebih efisien, sederhana, mudah dipahami masyarakat, serta berbiaya rendah baik dalam administrasi pemungutan maupun dalam memenuhi kewajibannya.

Kedua, reformasi pajak membutuhkan transformasi kelembagaan. Penguatan lembaga otoritas administrasi pajak yang lebih otonom dirasa mendesak untuk dilakukan dalam rangka pemungutan pajak yang lebih efisien dan efektif. Akan tetapi, hal ini juga perlu diimbangi dengann proses perumusan kebijakan pajak yang makin transparan, partisipatif, dan reliable.

Ketiga, penghormatan terhadap hak-hak wajib pajak. Penghomatan ini tidak hanya tercantum dalam terminology wajib pajak menjadi pembayar pajak saja, namun menjamin adanya hak-hak wajib pajak yang mendasar. “Seperti hak untuk didengar, kerahasiaan, hak mendapatkan penjelasan mengenai kewajiban perpajakannya, dan sebagainya,” kata Darussalam, Kamis (24/11).

Selain itu, lanjut Darussalam, perlindungan hak-hak wajib pajak juga dapat diwadahi oleh peran aktif lembaga tax ambudsman atau dalam konteks Indonesia berupa Komite Perpajakan. (Baca Juga: Memprihatinkan!! Kepatuhan Pajak Advokat, Notaris dan Kurator Rendah)

Keempat, dalam konteks globalisasi setiap Negara perlu untuk membentuk daya saingnya. Perebutan arus modal global modal menjadi penting karena investasi berperan positif dalam mendorong perekonomian domestik. Salah satu daya saing yang dapat dicapai melalui sistem pajak.

Wacana mengenai penurunan tarif PPh Badan, upaya merevisi rezin insentif pajak, serta mendirikan offshore financial center. Menurut Darussalam, ketiga hal tersebut pada dasarnya adalah baik, namun pemerintah tetap harus mempertimbangkan dampak terhadap penerimaan, efektivitasnya dalam menarik investasi, serta implikasinya pada praktif profit shifting.

Kelima, penggunaan indikator selain penerimaan sebagai kinerja otoritas pajak. Dalam rangka menjamin pelayanan, efektivitas penegakan hukum serta di sisi lain penghormatan wajib pajak, ada baiknya pengukuran kinerja juga menggunakan indikator-indikator di luar penerimaan, misalnya kualitas pemeriksaan, waktu penyelesaian sengketa, rasio SPT yang dilaporkan, dan lain sebagainya. (Baca Juga: UMKM di Jakarta Jadi Target Program Pengampunan Pajak Jilid II)

Keenam, mengantisipasi kebocoran pajak yang diakibatkan dari offshore tax evasion dan juga profit shifting. Pemerintah perlu melakukan telaah atas apa yang menjadi rekomendasi global seperti EOCD atau G20 BEPS Action Plan, dan sejauh mana hal tersebut sesuai dengan situasi di Indonesia.

“Terobosan dalam mengurangi praktik perencanaan pajak yang agresif juga perlu untuk dipertimbangkan, semisal kebijakan alternative minimum tax,” ujarnya.

Ketujuh, akses terhadap data dan informasi mendesak untuk dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Dalam hal ini, akses data perbankan menjadi salah satu elemen yang paling krusial dan seharusnya tidak dibatasi oleh prasyarat-prasyarat tertentu, semisal hanya dimungkinkan dalam tahap tertentu maupun harus melalui permintaan Menteri Keuangan. Akses perbankan di level domestik tersebut juga sangat dibutuhkan dalam era pertukaran informasi secara otomatis.

Kedelapan, pembenahan sistem pajak di Indonesia kerap melupakan dua prasyarat mendasar yaitu edukasi perpajakan dan aktivitas riset mengenai pajak. Padahal, lanjut Darussalam, keduanya merupakan awal dari perumusan kebijakan yang lebih kredibel serta dapat menjamin administrasi perpajakan yang lebih baik. Pemerintah perlu membuka kerjasama dengan pihak akademisi untuk mencetak lebih banyak ahli pajak.

Kesembilan,perubahan lanskap pajak yang semakin cepat berpotensi meningkatkan jumlah sengketa pajak di kemudian hari. Hal ini tentu perlu diwaspadai terlebih dengan adanya fakta bahwa setiap tahunnya terdapat 12.000 berkas banding dan gugatan baru di pengadilan pajak serta rasio jumlah putusan terhadap jumlah berkas yang rata-rata sekitar 42 persen saja. (Baca Juga: Notaris Dicap “Malas” Ikut Tax Amnesty, PP INI Beri 5 Masukan untuk Menkeu)

“Jika tidak ada suatu upaya pembenahan baik diproses pemeriksaan dan keberatan, penguatan kapasitas pengadilan pajak, ataupun dibukanya ruang untuk diadakannya alternative dispute resolution, maka dalam beberapa waktu ke depan akan terjadi ledakan sengketa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait