Kewenangannya Dikritik Ahli, Ketua KPPU Beri Penjelasan
Berita

Kewenangannya Dikritik Ahli, Ketua KPPU Beri Penjelasan

Persekongkolan kerap terjadi dengan melibatkan pihak lain di luar pelaku usaha.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: SGP
Gedung KPPU. Foto: SGP
Sidang lanjutan pengujian UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat akan berlangsung awal tahun 2017. Dalam proses hukum lanjutan itu nanti Mahkamah Konstitusi (MK) masih akan mendengarkan keterangan ahli.

Dalam sidang sebelumnya, Rabu (30/11), dua orang ahli yang dihadirkan pemohon, mengkritik model kewenangan penyelidikan, penyidikan, ‘penuntutan’, dan putusan di tangan satu lembaga: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Chairul Huda dan I Gde Pantja Astawa, kedua ahli yang dihadirkan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) menyampakan pandangan yang intinya mempersoalkan kewenangan tunggal di tangan KPPU, termasuk kewenangan Komisi ini membuat peraturan teknis. (Baca juga: Ahli Nilai KPPU Jalankan Fungsi Administratif Sekaligus Yustisial).

Kewenangan membuat peraturan teknis antara lain mengenai Pasal 22, bukan satu-satunya yang dipersoalkan BRIL. Perusahaan ini juga mengajukan pengujian atas Pasal 23, 24, 26 huruf c, d, h, dan I; pasal 41 ayat (1) dan ayat (2); serta Pasal 44 ayat (4) dan (5). BRIL merasa dirugikan akibat pasal-pasal itu dan berkaitan dengan putusan KPPU No. 12/KPPU-L/2015. (Baca juga: KPPU: Banyak Kebijakan Pemerintah Muluskan Monopoli).

Menjawab kritik itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf, mengatakan frasa “penyelidikan dan atau pemeriksaan”  yang dipersoalkan pemohon bukanlah sama dengan makna penyelidikan yang dijalankan kepolisian. Penyelidikan KPPU bukan dalam ranah pidana atau perdata, melainkan bersifat administratif untuk menemukan bukti-bukti yang cukup.

Menurut Syarkawi, ‘penyelidikan’ KPPU dilakukan dalam rangka menetapkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar adminsitrasi. PPU tidak mengurusi aspek pidana. “Pelaku usaha menganggap seolah-olah proses penyelidikan dilakukan dalam dua tahap, yakni penyelidikan administratif dan ada yang bersifat pidana. Nah ini hal yang terpisah,” tuturnya. (Baca juga: Soal Penyidik, Penyelidik, Penyidikan, dan Penyelidikan).

Tetapi, jika saat dilakukan penyelidikan administratif pelaku usaha tidak kooperatif, aspek pidana akan muncul. KPPU akan melanjutkan prose situ dengan membuat laporan tindak pidana ke Kepolisian. Di sinilah penyelidikan dan penyidikan menjadi kewenangan polisi. Sebaliknya, jika pelaku usaha kooperatif, KPPU tidak akan melanjutkan ke ranah pidana. (Baca juga: Mengintip Cara KPPU Bongkar Kasus Persaingan Usaha).

“Aspek pidana muncul kalau tidak kooperatif. Kalau kooperatif maka KPPU tidak akan melanjutkan ke tindak pidana, KPPU tidak boleh melakukan pemeriksaan administratif sekaligus pidana, tidak ada  KPPU melakukan pemeriksaan adminstratif, terus diperiksa lagi pidananya, kecuali memang ada unsur korupsi, itu kewenangan KPK dan Kepolisian nantinya,” pungkasnya.

Syarkawi juga menjelaskan frasa‘pihak lain’ dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 25 UU Antimonopoli. Pemohon menilai frasa ini multitafsir, sehingga membuka ruang lembaga tertentu bertindak sewenang-wenang. Bagi Pemohon, frasa “pihak lain” itu seharusnya dimaknai “pelaku usaha lain”.

Syarkawi menjelaskan persekongkolan yang terjadi bukan hanya melibatkan pelaku usaha saja, tetapi juga bisa pihak lain di luar pelaku usaha. “Misalnya individu, pemerintah, atau institusi tertentu di luar pemerintah dan pelaku usaha. Ini yang kadang-kadang terlibat persekongkolan, dan ini yang sering kita temukan di lapangan,” kata Syarkawi saat dihubungi hukumonline, Senin (05/12).

Salah satu contohnya adalah tender. Untuk menentukan pemenang tender, lanjutnya, tidak hanya dilakukan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain. Justru yang sangat menonjol dari proses tender adalah keberadaan pemerintah yang kerap memfasilitasi pelaku usaha untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan cara mendatangkan pelaku usaha lain untuk ikut dalam tender atau dengan kata lain menciptakan persaingan semu.

“Seolah-olah bersaing, padahal tidak karena pelaku usaha lain ikut dalam tender hanya sebagai pendamping. Itu yang sering kita temukan di lapangan,” tambahnya.

Selain kasus tender, KPPU juga pernah menemukan kasus yang melibatkan ‘pihak lain’ di luar pelaku usaha. Misalnya, bekas karyawan perusahaan membocorkan informasi dari perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya terkait adanya kartel. Orang ini bukanlah pelaku usaha tetapi ia ‘pihak lain’ yang ikut memfasilitasi proses persekongkolan.

‘Pihak lain’ selanjutnya yang dimaksud dalam frasa tersebut adalah kebijakan pemerintah. Kadang kala, kata Syarkawi, pemerintah sengaja membuat kebijakan untuk memberikan hak ekslusif kepada pelaku usaha tertentu. Ini termasuk ke dalam salah satu modus persekongkolan. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, Syarkawi menegaskan bahwa konstruksi Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang menyebutkan frasa ‘pihak lain’ jelas berbeda dengan pelaku usaha lain.

“Kalau ada ahli yang menyebutkan bahwa ‘pihak lain’ itu tidak boleh diterjemahkan bukan pelaku usaha, tapi fakta di lapangan persekongkolan justru terjadi bukan hanya pelaku usaha dengan pelaku usaha tetapi antara pelaku usaha dengan pihak lain yang bukan pelaku usaha,” jelasnya.

Syarkawi menambahkan berdasarkan perdebatan yang terjadi saat UU Antimonopoli ini disusun, para pembentuk UU memang sudah membedakan frasa ‘pihak lain’ dengan ‘pelaku usaha lain’. Karena itu, Syarkawi yakin bahwa KPPU bekerja dengan membuat terminologi yang berbeda antara’ pelaku usaha lain’ dengan ‘pihak lain’.
Tags:

Berita Terkait