Ferdian Sutanto, Advokat Muda yang Termotivasi Pesan Orang Tua
After Office

Ferdian Sutanto, Advokat Muda yang Termotivasi Pesan Orang Tua

Memberikan advokasi secara cuma-cuma melahirkan rasa puas yang berbeda.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ferdian Sutanto. Foto: Koleksi Pribadi.
Ferdian Sutanto. Foto: Koleksi Pribadi.
Persaingan para pekerja hukum, khususnya advokat, semakin ketat. Mereka yang tak mampu mengikuti perkembangan di dunia advokat relatif akan tergilas zaman dan terpinggirkan. Tetapi peta persaingan tak membuat minat orang menjadi advokat berkurang. Apalagi mereka yang memasuki profesi ini dengan tekad dan motivasi yang kuat.

Ferdian Sutanto, bisa jadi termasuk advokat muda yang termotivasi oleh alasan-alasan yang kuat dan luhur. Baru diambil sumpah sebagai advokat pada 2014 lalu, nama Ferdian langsung tercatat sebagai salah seorang advokat yang mengangkat isu-isu publik ke dalam advokasinya.

Salah satunya membantu sejumlah pengendara ojek berbasis aplikasi, Go-Jek, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Konstitusi. Di PN Jakarta Pusat ia membantu para pengojek aplikasi mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit/CLS) kepada Pemerintah. Gugatan ini lebih dimaksudkan agar Pemerintah mengeluarkan aturan yang dapat menaungi para pengendara transportasi daring. (Baca juga: CLS, Jalur Perjuangan Pengemudi Transportasi Aplikasi).

Ferdian merasa tergerak membantu setelah para pengendara ojek berbasis aplikasi menjadi sasaran kemarahan pengemudia ojek biasa dan taksi. Demo besar-besaran di Jakarta menjadi puncak kemarahan terhadap ojek aplikasi. Bentrokan nyaris terjadi. Di banyak tempat kini terpampang larangan bagi ojek aplikasi mencari penumpang. “Kasihan, sama-sama cari makan masa harus ribut,” begitu kata Ferdi.

Ke Mahkamah Konstitusi, permohonan diajukan untuk mempersoalkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang ini dinilai menghambat dan merugikan para pengendara ojek berbasis aplikasi. Bersama sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Hukum Pengendara Online Nasional (Timah Panas) mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2009  tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). (Baca juga: Giliran Advokat Minta Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan).

Ferdi dkk memohon MK menguji Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ terhadap UUD 1945. Pasal itu menyebutkan ‘penyedia Jasa Angkutan Umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’. Permohonannya adalah agar perorangan dapat dimasukkan ke dalam kategori penyedia jasa angkutan umum.

“Ini persoalan hukum, harus mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam pengajuan uji materi itu, kami meminta MK memperluas perorangan masuk tafsir di UU tersebut. Supaya mereka terakomodir apakah terkait dengan Permen, karena yang jadi acuan Permen itu berbicara bahwa kita tidak bisa melangkai UU, betul memang, dan makanya UU kita uji, UU Lalu Lintas belum ada online,” papar pria kelahiran Juni 1987 itu.

Nama Ferdi juga termasuk dalam daftar advokat yang mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas terbitnya SEMA No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA ini dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). PN Jakarta Pusat akhirnya menyatakan gugatan Ferdi dkk salah alamat.

Ferdi juga mengajukan uji materi terhadap PP No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke MA pada Agustus tahun 2015 lalu. Latar belakang uji materi tersebut karena PP Wajib Lapor dinilai bertentangan dengan UU Profesi Advokat. Mahkamah Agung menyatakan permohonan Ferdi tidak dapat diterima alias N.O. “Persoalan diterima (permohonan/gugatan) atau tidak, itu soal belakang,” imbuhnya. (Baca juga: MA Nyatakan N.O Pengujian PP Wajib Lapor Pencucian Uang).

Hal paling berkesan bagi Ferdi adalah saat mengadvokasi sopir bajaj di Muara Baru Jakarta Utara. Larangan bajaj beroperasi pada malam hari untuk mengurangi tidak kriminalitas dinilai tidak masuk akal baginya. “Orang cari nafkah kok dilarang,” ujarnya dalam perbincangan dengan hukumonline.

Nasihat dan Advokat
Ferdi mengaku sangat termotivasi oleh pesan almarhum ayahnya. Sang ayah, ketika masih hidup, meminta anak sulungnya rajin membantu orang miskin dan orang kecil yang terhimpit masalah hukum. Nasihat itu diberikan ketika sang ayah dan ibu melihat pilihan Ferdi kuliah di fakultas hukum. “Pesan bokap, kalau ada orang enggak mampu, bantu. Pesan kehidupan ya jadi orang harus bener, melekat di pikiran,” cerita Ferdi saat mengenang sang ayah.

Tamat dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI 2 Tangerang pada 2005, Ferdi melanjutkan pendidikan ke hukum ke Universitas Mpu Tantular, Kedoya, Jakarta Barat. Studi hukumnya diselesaikan pada tahun 2010. Pada semester-semester akhir menjelang wisuda, pria kelahiran Jakarta ini mulai mengikuti kegiatan-kegiatan profesi advokat. Hal inilah yang kemudian membuat ia semakin mantap memilih advokat sebagai profesi ketika ia lulus kelak. Ternyata, di lapangan, untuk menjadi advokat tidaklah semudah yang dibayangkannya. Begitu lulus, ia tak langsung diterima magang. Sampai orang tuanya mempertanyakan.

“Sampai awalnya orang tua tanya kamu kerja apa, mana penghasilanmu. Ya namanya juga masih magang ‘kan, diterima aja udah syukur,” cerita Ferdi.

Pria 29 tahun ini akhirnya diterima di salah satu kantor advokat senior, Ira Zahara and Partners yang berkantor di Depok. Pemilik kantor hukum, Ira, ternyata adalah salah satu dosen di kampus Ferdi. Di sana, Ferdi digembleng dan mulai diajak menangani kasus-kasus yang bersentuhan langsung dengan rakyat kecil.

Ferdi juga bergabung dengan LBH Bela Negara yang dimiliki oleh Ira. Ferdi ingat sekali, saat pertama ia menangani kasus anak kecil yang ditabrak bus transjakarta hingga kakinya putus. Kejadiannya berlangsung 2009 silam. Ira mengajak Ferdi untuk mengambil perkara tersebut melawan Pemda Jakarta, memberikan semangat dan jangan menerima perkara hanya demi materi semata.

Setelah itu, Ferdi juga turun sebagai tim advokasi untuk membantu seorang lelaki yang terjerat utang piutang di daerah Bojong Gede, Bogor. Bagi Ferdi, memberikan advokasi secara gratis memberikan kepuasan yang berbeda. Pasalnya, tidak semua orang mampu menyewa pengacara untuk menyelesaikan perkara. Apalagi, kesan lawyer di mata masyarakat identik dengan ‘mahal’.

“Bukan materi, tapi kita punya kepuasan. Kemudian dari beberapa kasus itu kita belajar melihat sekeliling, mau cari pengacara, hire pengacara, terkesan mahal sementara kadang-kadang orang-orang tertentu mau pakai pengacara tidak bisa, akhirnya beberapa kasus yang datang kita bantu,” tuturnya.

Toh, tak semua perkara akan dia terima. Ferdi mengaku masih berpikir ulang untuk menerima teroris, korupsi, dan narkotika karena masalah ‘hati nurani’. Kalaupun bersedia hanya untuk orang yang dikenal dekat. “Ini soal pilihan sebagai advokat karena jadi advokat punya motivasi masing-masing”, ujarnya.  untuk cari uang juga, tapi enggak semata-mata buat cari uang doank, dan “Saya tertarik membantu orang-orang yang dizolimi,” sambungnya.

Dan sikap batin advokat muda ini sejalan dengan pesan orang tuanya: kalau kamu menjadi advokat, bantulah orang-orang kecil yang membutuhkan bantuanmu. Kata Ferdi, kepuasan membela orang kecil itu rasanya beda.
Tags:

Berita Terkait