Paradigma Preventif Justice di RUU Antiterorisme Sesuai RKUHP
Berita

Paradigma Preventif Justice di RUU Antiterorisme Sesuai RKUHP

Diperkuatnya fungsi kelembagaan dan masyarakat sipil dalam mencegah tindak pidana terorisme.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES
Revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) memuat paradigma preventif justice. Hal itu diutarakan Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme, Hanafi Rais dalam diskusi “Preventif Justice dalam Revisi UU Pemberantasan Terorisme” di Jakarta, Selasa (6/12).

Menurutnya, paradigma preventif justice terdapat dalam Pasal 43 A ayat (1). Pasal itu berbunyi, “dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama enam bulan.”

Meski begitu, Hanafi mengatakan, konsep preventif justice di Indonesia kerap dipraktikkan oleh aparat penegak hukum di lapangan. Misalnya, kasus dugaan tindak kekerasan aparat yang sampai menghilangkan nyawa pada kasus Siyono ataupun beberapa kasus salah tangkap yang mengakibatkan timbulnya stigma negatif masyarakat terhadap korban salah tangkap aparat.

“Undang-Undang seharusnya mencantumkan fungsi kelembagaan dalam upaya pencegahan,” kata politikus dari Partai Amanat Nasional ini. (Baca Juga: Ini Catatan Penting Revisi UU Pemberantasan Terorisme)

Hanafi mengatakan, fungsi kelembagaan yang dimaksud adalah pihak-pihak seperti organisasi keagamaan, pendidikan, komunikasi dan informasi, keuangan, pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan daerah. Harapannya, fungsi pencegahan bisa berjalan baik melalui keterlibatan masyarakat sipil. “Perlu dipertegas kelembagaan yang terlibat, tidak hanya TNI dan Polri,” ujarnya.

Terkait kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme, Hanafi mengatakan bahwa, perlu ada penambahan lebih rinci terkait pencegahan dengan early warning system, termasuk ranah online pada Pasal 23 ayat (3) RUU tersebut. Meski begitu, ia mewanti-wanti agar pencegahan tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan warga-warga lainnya. Sedangkan terkait perumusan bab khusus mengenai perbantuan TNI kepada Polri dalam penanggulangan terorisme, Hanafi mengusulkan agar didiskusikan lagi.

Di tempat yang sama, Anggota Pansus RUU Antiterorisme, Arsul Sani mengingatkan bahwa paradigma preventif justice berpotensi timbulnya penyalahgunaan wewenang yang signifikan. Untuk itu, paradigma ini perlu dilakukan melalui secara hati-hati. “Terutama dalam hal penggunaan upaya paksa,” katanya. (Baca Juga: Revisi UU Terorisme Perlu Perkuat Pemenuhan Hak-hak Korban)

Menurut politikus PPP ini, paradigma preventif justice sebenarnya terdapat dalam RUU KUHP yang tengah dibahas DPR. Misalnya pada Buku I RKUHP memuat beberapa ketentuan terkait pencegahan terjadinya tindak pidana, khususnya pada pasal-pasal permufakatan jahat (Pasal 15), persiapan (Pasal 17) dan percobaan (Pasal 20). Sedangkan pengaturan terkait tindak pidana terorisme sendiri dalam RKUHP diatur dalam Pasal 249, Pasal 250 dan Pasal 251 RKUHP.
Pasal 249
“Setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas umum atau fasilitas internasional, dipidana karena melakukan terorisme dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Pasal 250
“Setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk melakukan terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun”.
Pasal 251
“Permufakatan jahat, persiapan, atau percobaan dan pembantuan melakukan terorisme sebagai dimaksud dalam Pasal 249 dan Pasal 250, dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 dan Pasal 250.”

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius berharap agar RUU dapat segera dirampungkan sehingga pola penindakan terorisme dapat berjalan lebih progresif. "Apabila UU Tindak Pidana Terorisme itu diperkuat, maka akan menjadi ruang yang cukup dan memberikan peluang bagi penindakan terorisme," ujarnya. (Baca Juga: Saran Busyro Muqoddas untuk Revisi UU Terorisme)

Menurutnya, jika penindakan terorisme masih mengadopsi UU yang lama dirasa cukup berat. Atas dasar itu, kebutuhan untuk merevisi UU tersebut telah sangat mendesak. "Mengingat ancaman terorisme di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin banyak. Kebutuhan Indonesia untuk merevisi undang-undang tersebut sangat mendesak," tutupnya.
Tags:

Berita Terkait