Ini Sanksi Bagi yang Membubarkan Ibadah Keagamaan Secara Paksa
Berita

Ini Sanksi Bagi yang Membubarkan Ibadah Keagamaan Secara Paksa

Merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Tempat ibadah. Foto: ilmupengetahuan.com
Tempat ibadah. Foto: ilmupengetahuan.com
Aksi kelompok intoleran terhadap minoritas masih saja terjadi. Toleransi yang sudah berjalan puluhan tahun silam sejak berdirinya Indonesia malah tercoreng dengan aksi sekelompok intoleran. Negara seolah tak hadir. Hukum seolah dikangkangi dengan aksi membubarkan kelompok minoritas yang hendak melaksanakan ibadah.

Pembubaran paksa kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga Institut Teknologi Bandung (ITB) mestinya tidak terjadi. Namun apalah daya, ibadah menyambut perayaan Natal bagi umat kristiani mesti terciderai akibat ulah sekelompok yang menamakan Pembela Ahlus Sunnah (PAS).

Anggota Komisi III Masinton Pasaribu menilai pembubaran paksa kegiatan ibadah tersebut bentuk tragedi intoleransi. Sebab, nilai-nilai sakral kegiatan peribadatan suatu agama tidak lagi dihargai dan dihormati. Negara sesuai konstitusi mesti hadir memberikan rasa aman dan nyaman warganya dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.Negara pun tak boleh abai ketika terdapat warga negaranya dihambat oleh pihak lain dalam menjalankan ibadahnya. (Baca Juga: Profesi Hukum Kurang Jalankan Nilai-Nilai Agama)

“Aparatur negara tidak boleh kalah dan tunduk pada tekanan sekelompok massa dengan cara semena-mena menghentikan prosesi ibadah keagamaan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 22 ayat (1), menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu,”. Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Menurut Masinton, Polri mesti bertindak tegas. Sebab, perbuatan merintangi kegiatan peribadatan suatu agama merupakan perbuatan tindak pidana. Aturan tersebut diatur dalam Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 175 KUHP menyatakan, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi agama, Sodik Mudjahid, berpandangan melaksanakan ajaran agama sesuai keyakinan dijamin oleh konstitusi. Bahkan melaksanakan ibadah sesuai kekyakinan menjadi hak asasi manusia yang paling mendasar. Oleh sebab itu, negara sekalipun tak berhak mencegah orang yang hendak melaksanakan ibadah. (Baca Juga: Mengapa Berkampanye di Tempat Ibadah Dilarang? Ini Penjelasan Hukumnya)

Menurutnya, antar pemeluk agama dan setiap warga negara mesti saling menghormati dan menghargai kepercayaan masing-masing. Selain itu pelaksanaan ibadah pun tetap berpegang pada ketentuan  perundang-undangan yang berlaku. Sebab, mencegah orang yang akan melaksanakan ibadah merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.
“Kita harus mendidik dengan serius soal toleransi dan menentang keras segala bentuk intoleransi,” ujarnya Komplek Gedung Parlemen, Rabu (7/12).

Terpisah, Ketua Setara Institute Herdardi mengatakan aksi pembubaran ibadah oleh kelompok intoleran dipandang pelanggaran hak asasi manusia. Bahka menjadi ancaman serius bagi kemajemukan Indonesia. Ia menilai Polres Kota Bandung mestinya menjadi garda terdepan sebagai representasi negara dan bertanggungjawab atas pembiaran tersebut.

“Polisi bukan hanya membiarkan aksi kelompok intoleran tetapi juga aktif dan memprakarsai pembubaran dengan alasan yang tidak masuk akal,” katanya.

Menurutnya, cara kerja polisi menangani kasus-kasus serupa tak pernah berubah. Malahan polisi cenderung memaksa kelompok minoritas yang menjadi korban agar mengikuti kehendak kelompok intoleran. “Kapolri Jenderal Tito Karnavian harus membehentikan Kapolrestabes Bandung dan mengevaluasi Kapolda Jabar yang juga gagal melindungi warga negara,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait