Ada WNI yang Minta PK Perdata Boleh Berkali-Kali
Utama

Ada WNI yang Minta PK Perdata Boleh Berkali-Kali

Majelis hakim meminta pemohon mengelaborasi kerugian konstitusional dan legal standing.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Ketentuan pengajuan peninjauan kembali (PK) kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, seorang warga negara Indonesia bernama Abd. Rahman C. DG Tompo, mengajukan uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 1945. Substansi yang dipersoalkan adalah pengajuan PK hanya boleh diajukan sekali. Aturan ini pun dikukuhkan melalui SEMANo. 7 Tahun 2014.

Sebenarnya, dalam perkara pidana pun demikian. Pasal 268 ayat (3) KUHAP hanya memperbolehkan pengajuan PK satu kali. Namun, norma ini dibatalkan melalui putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. Putusan ini membawa implikasi PK dapat diajukan berkali-kali. Namun, pembatalan tersebut hanya perkara pidana. Sementara perkara perdata seperti kasus yang dialami Pemohon tidak terjangkau sama sekali oleh putusan MK tersebut. (Baca juga: Chairul Huda: Kembalikan PK Sesuai Ruh KUHAP).

“SEMA No. 7 Tahun 2014 tidak memperkenankan pengajuan PK lebih dari sekali khusus untuk perkara perdata. Karena itu, Pemohon terhalang mengajukan PK lebih dari sekali dalam perkara perdata meski terdapat keadaan baru (novum) demi keadilan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Saharudin Daming dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Rabu (7/12) kemarin.

Pasal 66 ayat (1) UU MA menyebutkan Permohonan PK dapat diajukan hanya 1 kali. Sedangkan, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan PK. (Baca juga: Alasan Peninjauan Kembali Boleh Berkali-Kali).

Dia menceritakan perkara sengketa tanah kliennya dikalahkan di tingkat peninjauan kembali (PK). Alhasil, kliennya harus merelakan tanah miliknya direbut orang lain melalui putusan PK ini. "Klien kami ingin menuntut keadilan, karena  kalau melalui MA sudah selesai dan tidak ada harapan," tuturnya.

Saharudin menilai ada inkonsistensi antara norma Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. “Ketidakkonsistenan tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil,” sebutnya.

Ia berargumentasi permohonan PK pada dasarnya tidak dimaksudkan mempertentangkan putusan MK dengan hukum. Sebab, upaya hukum permohonan PK yang kedua dengan penuh kesantunan karena telah terjadi suatu kekeliruan atau kekhilafan nyata dalam putusan yang sebelumnya.

Dia mengakui dua pasal yang dimohonkan pengujian sudah pernah diputus melalui putusan MK No. 16/PUU-VIII/2010 dan putusan MK No. 64/PUU-VIII/2010. Hanya saja, kedua putusan ini tidak mendasarkan batu uji Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945, dimana materi pokoknya berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencari dan mendapatkan keadilan. “Permohonan ini menggunakan batu uji Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, sehingga permohonan ini tidak nebis in idem,” dalihnya. (Baca juga: Pemerintah Dalilkan Nebis in Idem dalam Pengujian UU Tipikor).

Dalam permohonanya, dia meminta kedua pasal itu dinyatakan inkonstitusionalsepanjang dimaknai permohonan PK dapat diajukan lebih dari satu kali dalam perkara pidana, perkara perdata, ataupun perkara lainnya. “Menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai ke kuatan hukum mengikat, kecuali pengajuan permohonan PK lebih satu kali dalam perkara pidana, perdata ataupun perkara lain,” sebutnya dalam petitum permohonan.

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel Maria Farida Indrati menilai permohonan ini nampaknya menyangkut kasus konkrit yang bukan kewenangan MK. Namun, apabila kasus konkrit yang dialami Pemohon dihubungkan dengan rumusan pasal bisa menjadi kewenangan MK.

“Permohonan ini belum menjelaskan dimana letak kerugian konstitusional atas berlakunya dua pasal tersebut? Ini perlu dielaborasi lagi bagian legal standing-nya untuk menggambarkan terlanggarnya hak konstitusional Pemohon,” saran Maria.

Anggota Majelis Panel, Suhartoyo mengingatkan SEMA No. 7 Tahun 2014 sebenarnya tersirat membolehkan pengajuan PK bisa lebih sekali baik perkara pidana maupun perdata apabila ada dua putusan yang saling bertentangan. Ini sesuai bunyi Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985. “Ini bisa didalami lagi dalam permohonan Saudara,” ujar Suhartoyo mengingatkan. (Baca juga: Ketua MK: Norma yang Terhapus Berlaku untuk Norma Lain).

Namun, apabila Pemohon tetap pada permohonannya, Majelis meminta agar posita permohonan menguraikan bahwa MA hingga saat ini belum bersikap tentang pengajuan PK lebih dari sekali dalam perkara perdata dan perkara lainnya. “MA masih keukeuh bahwa PK satu kali dan dikaitkan uraian SEMA No. 7 Tahun 2014. Ini perlu dielaborasi lagi agar bisa memperkuat permohonan Saudara,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait